Emosi Pecah di Millerntor

Foto: FC St. Pauli

Ini cerita saya dari keberhasilan St. Pauli meraih tiket promosi ke Bundesliga.

Jackson Irvine berjalan ke arah mixed zone sambil menutup wajahnya dengan jersei. Saya memanggil namanya, tapi ia tidak memedulikan. Ia tetap berjalan menuju ruang ganti. Namun, sebelum sampai, langkahnya terhenti. Irvine membungkukan badannya, tangisnya pecah.

Irvine tidak pernah melewatkan panggilan wartawan, bahkan ketika St. Pauli kalah pada laga derbi sekalipun. Saya acap mencegatnya di lorong menuju ruang ganti setelah ia melakukan wawancara dengan televisi, dan ia tetap berhenti, meladeni pertanyaan saya yang terkadang tak berkaitan dengan St. Pauli.

Namun, kali itu, saya bisa mengerti. Tak ada orang yang lebih layak menangis kencang sore itu selain Irvine. Ia tak hanya kapten tim, ia adalah orang yang benar-benar merepresentasikan klub. Irvine tinggal di distrik St. Pauli. Ia bergaul dengan fans. Ia nongkrong di kafe, bar, nonton konser, berpesta di lingkungan St. Pauli. Ia memahami apa yang klub ingin sampaikan, menerjemahkannya kepada publik dengan caranya sendiri.

Irvine tahu betapa berartinya naik ke Bundesliga buat St. Pauli. Buat suporter yang selama lebih dari satu dekade menantikannya–melihat klub naik-turun di papan klasemen 2. Bundesliga. Ia paham betul pula apa artinya gagal. “Dua tahun lalu, saya berada di momen, dengan perasaan berbeda,” ucapnya.

Momen yang ia maksud adalah momen saat St. Pauli kalah dari Schalke, pada pekan 33 musim 2021/22. Kekalahan yang memupus harapan St. Pauli naik tingkat dan sebaliknya: membuat Schalke naik ke Bundesliga. Kekalahan itu tak bisa Irvine lupakan. Karenanya, ketika musim ini ia akhirnya berhasil meraih tiket promosi pada pekan 33, ia tak bisa menahan haru.

Irvine pada akhirnya keluar dari ruang ganti, meladeni wawancara saya dan wartawan lain. “Saya belum pernah merasakan perasaan seperti ini,” katanya. Saya bisa melihat dari wajah dan tangisnya, ini memang spesial. “Saya menghitung dan menantikan momen di hari ini tiba,” tambahnya sambil menangis.

Irvine bilang bahwa sejak hari pertama musim ini, ketika tim baru berkumpul, target promosi memang sudah dipasang. Namun, seiring berjalannya musim dengan St. Pauli yang terus berada di papan atas klasemen pun, para pemain tak ingin membicarakannya. Mereka menantikannya dan lebih memilih mengekspresikan betapa mereka menginginkan ini di atas lapangan.

Irvine paham betul bagaimana kemenangan akan membuat orang-orang yang ia lihat di jalan, di lingkungan tempat tinggalnya, tersenyum. Bahwa kemenangan terkadang tak hanya berarti tiga poin, tapi juga berarti pekan tersebut akan terasa lebih menyenangkan untuk dilalui. Pria Australia ini adalah kapten yang akan menyelipkan kekecewaan dan permintaan maaf pada suporter saat wawancara selepas tim kalah, juga rasa terima kasih seusai tim menang.

***

Dapo Afolayan datang ke Hamburg musim dingin tahun lalu. Sebelum itu, kariernya berkubang di klub-klub semenjana Inggris: Oldham Athletic, Mansfield Town, sampai kemudian Bolton. Ia memang pernah berseragam West Ham, tapi tak pernah benar-benar mendapat kesempatan di tim utama. Namun, pada hari yang sama dengan tangisan Irvine itu, ia mencetak dua gol yang jadi penentu keberhasilan St. Pauli ke Bundesliga. “Saya bermain dari Sunday League, hanya di akhir pekan, sampai kini berhasil promosi ke Bundesliga,” katanya.

Fabian Hürzeler baru berusia 29 tahun ketika ditunjuk jadi pelatih St. Pauli. Namun, dalam satu setengah tahun, atau pada musim penuh pertamanya, ia mampu membawa tim naik tingkat. Tak cuma itu, di bawah racikannya St. Pauli menjelma menjadi tim yang kuat di atas lapangan: Permainan atraktif, sulit dibobol, punya variasi bola mati yang sungguh mematikan, variasi taktik yang modern serta amat beragam.

Saya bisa menyebut pemain-pemain lain: Naik turunnya karier Marcel Hartel di klub Bundesliga dan 2. Bundesliga sebelum akhirnya menjelma top-skorer klub musim ini, Eric Smith sang playmaker yang saya percaya jika usianya lebih muda lima tahun akan main untuk klub Pep Guardiola, Hauke Wahl yang saya rasa adalah Mats Hummels-nya 2. Bundesliga, sampai Jojo Eggestein eks-wonderkid FM yang akhirnya menemukan rumah di Hamburg.

Tim ini, dilihat dari segi teknis dan apa yang mereka tunjukkan di lapangan, adalah tim terbaik yang pernah St. Pauli miliki. Setidaknya begitu ucap salah seorang rekan wartawan yang sudah berpuluh tahun menyaksikan klub ini berlaga. Karenanya, promosi adalah hasil sepadan.

***

Pada Minggu siang itu, saya melihat keberhasilan dan perayaan dengan mata kepala saya sendiri. Saat peluit akhir pertandingan vs Osnabrück berbunyi, saya melihat puluhan ribu orang tumpah ruang di lapangan: Bernyanyi, berjoget, menyalakan kembang api, suar, dan minum-minum bersama. Merayakan sesuatu yang sudah lama sekali tak dirayakan.

Saya menjabat tangan, kemudian memeluk seorang rekan, Tim, yang juga seorang penulis St. Pauli. Matanya berkaca-kaca. Saya tahu betul betapa berartinya promosi ini buatnya, karena dalam beberapa pekan terakhir kami selalu berbincang tentang momen ini. Berbincang perihal betapa berartinya promosi buatnya, buat orang-orang yang mendukung klub.

Di luar sana, tak hanya di Hamburg– bahkan di seluruh penjuru dunia–orang-orang yang memiliki St. Pauli di hatinya, turut merayakan. Orang-orang yang memilih untuk mendukung klub ini dengan alasan mereka masing-masing: Sejalan dengan ideologi dan visi klub, suka dengan Jackson Irvine, mengagumi logo tengkorak, dll.

St. Pauli, yang saya tahu, memang menawarkan keberagaman dan keterbukaan. Saya tau ada kritik atau ketidaksukaan terhadap klub di luar sana, tapi tak sulit menemukan suporter yang memiliki pandangan berbeda terhadap sesuatu—tak semua yang ditawarkan klub mesti ditelan mentah-mentah.

Saya sepakat dengan apa yang dituliskan Sebastian Stafford-Bloor di The Athletic, bahwa St. Pauli bukanlah gereja: Klub tidak memberlakukan sistem kepercayaan dari atas. “Saya tidak akan mendikte sudut pandang terhadap berbagai isu. Orang-orang harus mengembangkan ide mereka sendiri,” begitu ucap Presiden Klub, Oke Gottlich, dalam tulisan yang sama.

***

Saya bertanya kepada Jackson Irvine apakah ia akan membuat tato baru setelah keberhasilan promosi ini–sesuatu yang saya tanyakan dua pekan sebelum hari minggu itu, tapi saat itu ia enggan menjawab. Kali ini, dengan lantang ia bilang, “Oh, tentu saja. Ini akan menjadi satu yang sangat spesial, tapi mungkin tidak malam ini ketika saya akan sangat mabuk,” katanya.

Pesta St. Pauli pada hari Minggu itu, berakhir pada Senin dini hari. Sepanjang malam suar dan kembang api menyala di Hamburg. Utamanya warna merah. Orang-orang tumpah ruah tak hanya di atas lapangan Millerntor, tapi juga di jalan-jalan. Saya mengingat perkataan Gottlich kepada saya satu pekan sebelum hari itu tiba, “Semua yang terjadi di musim ini adalah momen yang sangat spesial buat St. Pauli.” Momen spesial memang harusnya dirayakan dengan spesial.

***

Saya baru rutin duduk di tribune media dan menulis tentang St. Pauli sejak satu setengah tahun terakhir. Sebelumnya saya beberapa kali datang sebagai penonton. Datang ke Millerntor selalu spesial buat saya. Saya tak pernah merasa asing di sana. Ketika kemudian saya diterima baik oleh klub, mengenal banyak orang-pemain, staf, penjaga keamanan–di sana, mendapat teman, saya merasa ini adalah klub yang tepat untuk saya tulis.

St. Pauli, sebagai daerah, juga memiliki tempat khusus buat saya: tempat saya bekerja hanya selemparan batu dari Millerntor, club favorit saya berada di distrik yang sama, beberapa bar yang saban malam saya sambangi juga berada di wilayah tersebut. St. Pauli seperti rumah kedua. Karenanya, keberhasilan ini juga terasa spesial buat saya. Dan salah satu cara saya merayakannya adalah dengan menulis tulisan ini.