Epidemi Rasialisme di Spanyol

Ilustrasi: Arif Utama.

Akar masalah rasialisme di sepak bola Spanyol begitu dalam. Ia mengopek-ngopek borok yang sudah kadung ada sejak lama dalam masyarakat Spanyol.

Di Semenanjung Iberia, para keturunan Afrika hidup bagai sufi. Mereka selalu memberi, meski tahu timbal baliknya adalah caci maki, atau bahkan mati.

Orang-orang Afrika datang menginjakkan kaki di wilayah cikal bakal Spanyol pada Abad 8. Mereka datang bersama rombongan pasukan Islam pimpinan Tariq Ibnu Ziyad yang membawa misi menaklukkan seluruh semenanjung. Kerajaan Visigothic yang berkuasa saat itu melawan balik habis-habisan selama 700 tahun, hingga akhirnya berhasil mengusir kekuasaan Islam.

Namun, koloni Afrika banyak yang tak ikut pulang. Mereka membaur dengan orang-orang kulit putih dan hidup menjadi bagian sejarah perubahan dari kerajaan hingga republik. Keturunan Afrika menganggap Spanyol seperti tanah airnya. Penerimaan yang berbalas kontribusi tak sedikit dari keturunan Afrika untuk peradaban Spanyol membentang dari ilmu alam, teknik, hingga sastra.

Sayang, 1.500 tahun berselang, nasib orang Afrika di tanah Spanyol layaknya musuh. Jejak peradaban dan ilmu pengetahuan buah karya orang kulit hitam ternistakan. Para keturunan yang mengadu nasib diinjak dalam kebencian rasial.


Masuk abad ke-20, Spanyol adalah magnet bagi para pengadu harap dari berbagai penjuru bumi. Jumlah imigran telah mencapai 1,5 persen dari populasi tahun 1998, dan kian melonjak menjadi 15,23 persen pada 2020. Modernitas Negeri Matador seperti menawarkan jalan terang bagi buruh kasar sampai pekerja kreatif dan olahragawan yang datang dari belahan bumi selatan hingga tetangga sesama negara Eropa.

Tahun 2018 menjadi tahun dengan jumlah kedatangan imigran tertinggi bagi Spanyol. Dari hampir 6 juta kedatangan, seorang pemuda Prancis keturunan Guyana bernama Mouctar Diakhaby menjejakkan kaki di Spanyol pada bulan Juni.

Ia datang berbekal bakat sepak bola. Tubuh jangkung membuatnya andal bermain sebagai bek dan etos kerja membawanya menembus Tim Prancis U-21. Penampilan apik di Olympique Lyon membuat Valencia rela merogoh kocek 15 juta Euro untuk memboyong Diakhaby.

“Saya ingin membuat Valencia kompetitif di Liga Champions,” katanya. Perlahan, ucapan dan kerja keras membawa Diakhaby menggapai tempat utama di lini belakang Valencia. Ia mulai digadang menggantikan nama mentereng macam eks bek Valencia, Ezequiel Garay; Gabriel Paulista; bahkan senior Prancis-nya, Eliaquim Mangala. Musim 2018/19, ia tampil 22 kali. Musim berikutnya, ia kembali jadi pilihan utama di lini belakang.

Semua berjalan tampak baik hingga tahun ketiganya di Valencia. Jornada 29, 4 April 2021, Valencia menjalani pertandingan tandang melawan Cadiz ke stadion Ramon de Carranza. Pertandingan nyaris berhenti akibat keributan pada menit 29. Diakhaby meluapkan amarah terhadap bek Cadiz, Juan Cala, sampai-sampai ia melangkah keluar lapangan dan diikuti hampir seluruh anggota tim.

Diakhaby disebut berang dengan umpatan Cala yang bernada rasialis. “Dasar orang hitam menyebalkan,” kata kapten Valencia, Jose Gaya, mengungkap ucapan Cala kepada rekan satu timnya.

Diakhaby kecewa berat. “Kelakuannya tidak bisa ditolerir, saya tidak bisa menerimanya. Kalian bisa lihat dari reaksi saya,” kata Diakhaby. Cala menampik tudingan yang mengarah padanya, tetapi publik terlanjur berbondong-bondong mengutuknya.

Sepekan berselang, investigasi otoritas La Liga menyebut tak ada tindakan rasialisme terhadap Diakhaby. La Liga mengaku sudah mengecek rekaman dari puluhan kamera dan mengajak ahli bahasa untuk ikut menganalisis. Manajemen Valencia memuji upaya investigasi La Liga, tapi tak mengubah sikap dan terus membela Diakhaby. “Kami menginginkan ada perubahan sikap dan reaksi terhadap insiden serius semacam itu,” tegas manajemen Valencia.


Kasus rasialisme seperti yang menimpa Diakhaby memang seperti bagian tak terpisahkan di sepak bola Spanyol. “Sepak bola adalah cerminan dari masyarakat,” ucap akademisi University of Barcelona Dr. Carles Vinas, mencatat perilaku rasialis yang jamak di Spanyol. Setiap sikap rasialis yang ditunjukkan pemain hingga suporter Spanyol seperti bawaan lahir dari jiwa masyarakat yang memendam kebencian terhadap sang liyan.

Antumi Toasije, dalam tulisannya The Africanity of Spain mengatakan bahwa Spanyol masa lampau adalah masyarakat multikultural yang damai. Semangat keberagaman mendadak hilang memasuki abad 20 ketika Spanyol memasuki periode pembentukan republik, terlebih di tengah pergaulan Uni Eropa.

Serangan Spanyol ke Maroko utara dalam Perang Rif menjadi awal munculnya bibit-bibit kebencian terhadap orang keturunan Afrika. “Kekalahan Abd El-Krim (pimpinan militer Maroko) pada tahun 1926 secara perlahan memudarkan identitas African-Spanish dari diskursus publik,” tambah Toasije.

Pada pembentukan republik kedua, tokoh-tokoh kulit hitam sempat tergabung dalam gerakan nasionalis Spanyol. Bergabungnya mereka ke kelompok sayap kanan membuat kelompok kulit hitam mendapat pengakuan dari rezim penguasa. Pada masa pemerintahan diktator Francisco Franco, ia masih menyebut the moors (orang berkulit gelap) sebagai saudara.

Marjinalisasi kulit hitam mulai terjadi seiring menguatnya sentimen yang ikut menjangkiti Spanyol. Pada era pemerintahan Felipe Gonzales di awal 90an, pemerintah Spanyol mulai mewacanakan pelarangan imigrasi bagi negara tertentu. Wacana itu mengkristal jadi aturan di rezim Jose Maria Aznar yang resmi menerapkan hukum pidana bagi imigran gelap lewat kebijakan Seville Someit 2002.

Wacana pelabelan imigran sebagai kriminal melahirkan perilaku diskriminatif oleh sesama warga. Kebanyakan dari mereka adalah generasi ketiga dari periode kedatangan imigran awal 1900-an dan telah mendapat pekerjaan yang mapan. Atas dasar perilaku warga kulit putih, kelompok emansipasi kulit hitam muncul. Setidaknya, 150 organisasi advokat hak kulit hitam muncul di Spanyol guna memperjuangkan kesetaraan dan melawan rasialisme.

Thomas N'Kono. Foto: Wikimedia Commons.


Sebagai ruang hidup yang begitu penting bagi orang Spanyol, sepak bola tak pelak kecipratan laku rasialis. Para suporter telah lama punya kebiasaan memaki pemain kulit hitam di kubu lawan.

Namun, aksi konyol semacam itu tak banyak terungkap. Pemain sepak bola kulit hitam saat itu masih cukup pemaaf karena masih mendapat elu dukungan yang datang dari suporter sendiri. “Mereka mungkin akan meminta tanda tangan si pemain di luar lapangan,” ujar Thomas N’Kono, mantan kiper RCD Espanyol pada tahun 1980-an.

Rasialisme di lapangan sepak bola Spanyol baru terasa mengkhawatirkan memasuki milenium baru. Saat menjamu Inggris di Stadion Santiago Bernabeu pada 2004, 60 ribu suporter Spanyol meneriakkan chant rasis kepada Ashley Cole dan Shaun Wright-Phillips. Isu ini sempat memicu ketegangan diplomatik antara kedua negara, kemudian berujung hukuman FIFA terhadap federasi sepak bola Spanyol dengan denda 480 ribu euro.

Belum genap setahun, Pelatih Spanyol Luís Aragonés menyebut Thierry Henry dengan “...That black piece of s--t! Kamu lebih baik dari dia!” pada sesi latihan sebelum pertandingan melawan Prancis. Ketika itu, Aragones mengucapkannya kepada Jose Antonio Reyes, rekan setim Henry di Arsenal.

Aragones bermaksud menyemangati Reyes dan mengingatkannya bahwa ia lebih baik daripada Henry, tetapi dengan cara yang salah. Namun, ia hanya mendapat denda 3.000 euro akibat sikapnya dan tidak dipecat. Pada 2008, Aragones membawa Spanyol menjuarai Piala Eropa.

Padahal, sepak bola Spanyol jelas punya karat. Laporan European Monitoring Centre of Racism and Xenophobia menyebut Spanyol dan Italia sebagai negara dengan situs suporter yang punya potensi rasialisme tertinggi. 5 dari 12 situs di Spanyol memiliki tendensi rasialisme, dua di antaranya bersifat laten dan satu terstruktur.

Angka ini berbeda signifikan dengan negara-negara tetangga. Di Inggris, “hanya” 4 dari 101 situs yang memiliki kecenderungan rasialisme laten. Jerman, yang memiliki catatan hitam perihal diskriminasi dan genosida rasial, rupanya juga berusaha keras membuka lembar baru. Terdapat 15 dari 146 situs suporter yang punya nada-nada rasialisme ambigu dan laten.

Namun, sanksi tak menghentikan rasialisme. La Liga kembali kebakaran jenggot saat suporter Villarreal melempar pisang ke arah Dani Alves yang tengah bersiap menendang sepak pojok. Alves merespons santai dengan memakan pisang itu, tapi dunia sepak bola yang tengah memulai kesadaran untuk menyingkirkan rasialisme berang bukan kepalang.

Otoritas liga hingga polisi langsung kelimpungan mengusut kasus Alves. Si norak pelempar pisang bernama David Campaya Lleo ditangkap polisi dan mendapat hukuman larangan hadir di stadion seumur hidup. Villarreal dikenai denda 12 ribu euro karena tak becus mendidik suporternya.

Namun, publik tak puas dengan apa yang dilakukan otoritas Spanyol. Kasus Villarreal bisa jadi dipengaruhi oleh reputasi Alves dan Barcelona sebagai klub besar. “Dani Alves adalah figur dunia. Rekan satu tim seperti Neymar Jr. ikut membelanya, begitu pula para fans. Namun, bagi klub di liga yang lebih rendah, jauh dari ulasan media dan dukungan fans global, tak ada respons yang signifikan,” sanggah Vinas.

Misalnya ketika wasit kelahiran Ethiopia, Asnake Wolde mendapat teriakan “you f---ing n----er!” saat memimpin pertandingan kelas regional antara Ribadedeva dan Nalon, Januari 2018. Otoritas setempat berjanji bakal mengusutnya, tetapi berakhir tanpa hasil. “Masih banyak hinaan yang lebih buruk dari itu selama 10 tahun saya menjadi wasit di Spanyol,” ujar Wolde.

Jefferson Lerma. Foto: Wikimedia Commons.


Penegak hukum, baik polisi maupun federasi sepak bola Spanyol, jadi akar masalah selain budaya sebagai dua pilar yang melanggengkan rasialisme. La Liga kerap gagap merespons aksi dugaan rasialisme, ditambah ketiadaan aturan yang tegas.

Federasi sepak bola Spanyol mengaku sudah cukup serius menangani isu SARA. Mereka mengaku menjadi pendukung kampanye anti-rasialisme UEFA dan menurunkannya dalam berbagai lapis aturan seperti denda berkisar 18 ribu-90 ribu euro.

Meski begitu, cara pandang federasi masih selip. “Saya pikir tidak banyak kasus rasialisme di sepak bola. Kalau banyak yang melaporkan, itu akan jadi masalah. Namun, tak banyak yang melaporkan,” ujar perwakilan Federasi kepada Bleacher Report. Federasi juga dengan enaknya menganggap rasialisme sebagai “pandangan subjektif”.

Nalar itulah yang membuat federasi kerap tak mampu benar-benar merampungkan setiap laporan yang muncul. Jangankan kasus Diakhaby. Ketika gelandang Levante, Jefferson Lerma, mendapat makian rasialis dari Iago Aspas pada 2018, La Liga menutup proses investigasi karena mereka tak punya cukup bukti.

Kalau sudah begini, ada jalan terjal yang masih harus dihadapi sepak bola Spanyol (dan dunia sepak bola pada umumnya) untuk memberangus rasialisme.