Eropa di Tangan Mourinho

Foto: Instagram @officialasroma

Setelah Liga Champions dan Liga Europa, kini Mourinho mengangkat trofi Conference League.

Meski tak berambisi menjadikan semua bangsa muridnya, Jose Mourinho merengkuh Eropa dengan kedua tangannya.

Sepak bola Italia terpana ketika Mourinho ditunjuk sebagai pelatih AS Roma menjelang musim 2021/22. Tuah Mourinho dianggap sudah redup. Ia memang berulang kali menciptakan kejutan dengan kepelatihannya. Namun, itu semua cerita lama. Toh, kepemimpinannya di Tottenham Hotspur dari 2019 hingga 2021 tak membuahkan satu gelar juara pun.

Hampir seluruh perkataan Mourinho mengisyaratkan bahwa ia tidak pernah mengekor legenda mana pun. Benar bahwa Louis van Gaal membantunya mengambil sejumlah keputusan krusial, termasuk ketika ia mengambil tawaran melatih Benfica. Namun, bantuan tersebut hanya berhenti sampai di situ. 

Bahkan ketika publik sepak bola paham bahwa Barcelona adalah tempat yang membentuknya dari penerjemah menjadi salah satu pelatih tersukses di dunia, Mourinho menahan diri dengan tetap menyiratkan bahwa guru terbaik yang ia miliki adalah dirinya sendiri.

Watak tersebut dan kesempatan yang belum terbuka-terbuka amat membuat Mourinho bertualang di klub-klub kecil pada awal kepelatihannya. Kenyataannya, keberhasilan Mourinho menaklukkan Eropa pada 2004 dengan 'si mungil' Porto tak hanya memampukannya menginterupsi kisah rivalitas Manchester United-Arsenal dalam Battle of Old Trafford, tetapi juga melayakkannya mengeklaim diri sebagai pengelana yang memenangi sayembara adu pedang.

Mempersembahkan enam gelar juara hanya dalam dua tahun bersama Porto membukakan pintu-pintu baru bagi Mourinho. Tempat pertama yang dipilihnya adalah Chelsea. Memang, Mourinho gagal mempersembahkan titel Eropa di sana. Akan tetapi, itu sama sekali tak meruntuhkan statusnya sebagai The Special One. Mourinho sukses mengantar The Blues menjadi kampiun Premier League dua kali. Total enam gelar diraihnya selama tiga tahun. 

Pada 2008, Mourinho hijrah ke Giuseppe Meazza. Sepak bola Italia dikejutkan dengan Mourinho yang begitu ngotot mendatangkan Diego Milito dari Genoa menjelang musim 2009/10. Tentu saja ada banyak pihak yang mempertanyakan transfer tersebut karena saat itu Milito sudah berusia 30 tahun.

Seharusnya sudah tak ada tempat baginya di tim yang memasuki musim dengan kegelisahan karena hanya mampu mengamankan gelar juara liga 2008/09 dan Piala Super Italia pada 2008. Ini tim ambisius, semestinya datangkanlah darah muda yang menggelora, begitu pikir orang-orang saat itu. Jangan lupakan pula kesediaan Mourinho untuk menukar Zlatan Ibrahimovic dengan Samuel Eto’o dari Barcelona. Masalahnya, saat itu Ibrahimovic digadang-gadangkan sebagai striker kelas kakap.

Dengan pemain-pemain macam itu Inter asuhan Mourinho menghancurkan hegemoni Barcelona di semifinal Liga Champions. Datang dengan formasi 4-2-3-1, Mourinho menugaskan timnya untuk memperkuat sisi kanan pertahanan. 

Keputusan itu dapat diterima karena Dani Alves dan Lionel Messi acap mengkreasikan serangan dari sisi tersebut. Goran Pandev, Esteban Cambiasso, dan Javier Zanetti mendapat tugas meredam kecepatan Dani Alves di sisi luar ketika Lionel Messi melepas tusukan ke dalam.

Mourinho jeli memanfaatkan kelemahan Maxwell dalam bertahan dan menginstruksikan Milito untuk melepas serangan dari sayap kanan. Persoalan lain di kubu Pep Guardiola, Ibrahimovic bermain dalam posisi statis sehingga alur serangan Barcelona lebih mudah dibaca Inter.

Bahkan insiden kartu merah Thiago Motta dan kekalahan di leg kedua tak mampu menahan langkah Inter ke final. Apa boleh buat, Inter sudah mengantongi tiga gol di duel pertama. Barcelona meninggalkan rumah mereka dengan kepala tertunduk. Victor Valdes menyebut Inter tidak bermain sebagai pesepak bola, melainkan prajurit Mourinho. “Ini bukan pertandingan, bukan sepak bola. Yang terjadi barusan adalah pertumpahan darah,” ucap Valdes.

Kemenangan ini begitu penting bagi pertualangan sepak bola Mourinho. Keberhasilan menggenggam tiket ke Madrid untuk saat itu membuktikan bahwa keputusan Barcelona menyempurnakan sepak bola 4-3-3 dalam tradisi Michels-Cruyff dengan memberi sentuhan geometris Catalunya ibarat cinta bertepuk sebelah tangan. Bukan Barcelonanya Guardiola yang dikenang menjelang pesta di Madrid, melainkan sepak bola ala Mourinho, sepak bola yang acap menjadi bahan tertawaan dunia.

Semua orang yang mengenal Mourinho di Barcelona menyebutnya sebagai sosok brilian, tekun, berkomitmen tinggi, genius, dan cermat mengelola emosi pemain. Akan tetapi, tak satu orang pun di sana yang menyebut permainannya sebagai anak kandung sepak bola Barcelona. 

Sepak bola Mourinho dikenal sebagai pintu yang menyediakan jalan keluar untuk menghentikan serangan dan memukul lawan dengan serangan balik tak terduga. Bahkan sebelum final Liga Champions 2009/10, Van Gaal menyebut gaya bermainnya lebih menyerang, sedangkan Mourinho sangat bertahan.

Kata-kata “E ora insieme coroniamo il sogno" yang berarti “Sekarang, bersama kita wujudkan mimpi’ membentang di spanduk tifosi Inter dalam final di Madrid. Adalah Bayern Muenchen yang kala itu menjadi lawan Inter memperebutkan takhta Eropa. Bayern dan Inter sama-sama mengejar treble. Inter berambisi menjadi tim Italia pertama yang bisa mengawinkan gelar bergengsi domestik dan Eropa dalam satu musim.

Di pihak lain, Bayern datang sambil menenteng harapan menuntaskan dahaga gelar Eropa selama sembilan tahun. Van Gaal menjadi komando tepi lapangan Bayern dalam misi ini. Sayangnya, skuad Bavaria tampil tanpa Franck Ribery.

****

Kendati Van Gaal duduk tenang di bench, Mourinho tetap berdiri di dekat garis lapangan hampir sepanjang laga. Sorot matanya terlihat amat intens mengekor jalannya pertandingan. Ekspresinya nyaris tak pernah datar. Saat peluang yang kebanyakan berasal dari serangan balik tak mampu dimaksimalkan oleh anak-anak asuhnya, ia tanpa ragu mengekspresikan kekecewaannya.

Terkadang ia berteriak, terkadang ia membuat gerakan seperti menendang bola, terkadang kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Bahkan dari pinggir lapangan Mourinho mendiamkan seluruh perdebatan tentang siapa yang layak mendapat lampu sorot paling benderang.

Semua olok-olok yang muncul ketika ia berkeras mendatangkan Milito dibungkam. Milito mencetak dua gol di partai puncak Liga Champions 2009/10. Wesley Sneijder menjadi kreator di balik gol pertama Inter yang dicetak Milito pada menit 35. Umpan sang playmaker diterima Milito yang melakukan sedikit gerakan tipuan terhadap Hans-Joerg Butt sebelum mengarahkan bola ke gawang Bayern. Milito adalah bencana berulang yang tak mampu diantisipasi oleh Bayern. Memanfaatkan umpan matang dari sisi lapangan, ia mencetak gol kedua pada menit 70.

Penggawa Inter akhirnya berlarian merayakan kemenangan. Gelar juara Liga Champions sudah di tangan, takhta Eropa diduduki. Mourinho menunjukkan kalaupun terbuang dari Barcelona, ia bukan orang kalah dan pesakitan. Ia adalah pemenang, sang juara Eropa. Trofi Si Kuping Besar adalah buktinya.

Maka ketika berhasil membawa Manchester United yang tengah sakit-sakitan ke final Liga Europa 2016/17, Mourinho menggenapi nubuatan bahwa mereka yang diolok-olok dan dianggap bodoh juga bisa sampai ke puncak. Liga Europa memang tak semasyhur Liga Champions. Namun, Eropa tetap Eropa. Tak semua tim mampu menjejakkan kaki ke atas panggungnya.

Sekali lagi Mourinho berhasil. Ia membuat pendukung United tidak menutup musim dengan jari-jari cedera akibat terlalu banyak digigit. Trofi Liga Europa datang ke Old Trafford usai kemenangan 2-0 United atas Ajax. Kemenangan ini kembali berkisah tentang keberhasilan Mourinho mendiamkan riuh sepak bola warisan Michels-Cruyff. Lewat racikan taktiknya, totalitas total voetbal jadi tak bertaji.

****

Mourinho memang tak pernah berlama-lama di Italia, cuma dua tahun. Namun, ia selalu paham cara terbaik untuk meninggalkan jejak. Menggenggam Italia dan Eropa, dengan cara itu Mourinho berkata lantang bahwa ia telah menciptakan era baru yang mustahil disamai oleh pelatih mana pun di Italia sana.

Masalahnya, Roma yang sekarang diasuhnya bukan Inter. Klub ini sudah lama berkubang dalam kesemenjanaan. Mereka seperti sekadar ada, tetapi tak mampu berbuat banyak. Kondisi ini pula yang sepertinya membuat orang-orang berpikir bahwa Mourinho hanya bakal sanggup membikin Serie A jadi lebih gaduh dan eksentrik.

Roma adalah kota yang menyembunyikan luka di balik romantisme. Gedung–gedung bernuansa nostalgia tak hanya berkisah tentang keindahan, tetapi juga kejatuhan. Di dalamnya tersimpan cerita tentang reruntuhan dan abad pertengahan yang gelap.

Langkah Roma di atas lapangan sepak bola juga lumayan menyedihkan. Scudetto kedua direngkuh pada 1982/83. Itu artinya, mereka membutuhkan waktu sekitar 41 tahun untuk menikmati gelar juara domestik kedua.

Selain keperkasaan Francesco Totti, scudetto 2000/01, dan revans terhadap Barcelona pada Liga Champions 2017/18, tak ada lagi cerita harum semerbak tentang Roma. Klub ini bahkan dilingkupi kegelapan karena konflik yang dipicu kekuasaan para petingginya. Kepergian para legenda dan penolakan di sana sini menjadi cerita yang mengiringi Roma pada era terkini.

Ke tanah seperti itulah Mourinho bersedia datang. Sebagian besar orang barangkali menganggap bahwa satu-satunya yang tak hilang dari Mourinho adalah kegemarannya bersumbar. Tingkahnya selalu memantik rasa penasaran para jurnalis. Komentar-komentar ajaibnya sedap betul dijadikan tajuk rencana surat kabar. Namun, Mourinho dengan segala bacotannya yang gemar membikin geleng-geleng kepala itu cuma ilusi.

Mourinho yang sebenarnya persis seperti yang dikatakan Valdes, seorang jenderal yang siap menghardik kapan pun. Baginya, lapangan sepak bola adalah medan tempur. Jika tim tak mampu merengkuh gelar juara dan kemenangan itu adalah buah dari kesalahan mereka sendiri.

Jangan heran melihat Mourinho mengubah sesi pramusim Roma menjadi rangkaian latihan ala barak militer yang menelanjangi semua kesalahan tim. Mourinho seolah ingin berkata bahwa sedikit kesalahan di medan perang akan menyeretmu tanpa ampun kepada kematian. Roma adalah rumah bagi kekuasaan panjang kekaisaran. Mereka sudah terbiasa dengan medan perang. Jadi, jangan berharap Mourinho bakal menjadikan Roma sebagai pengumbaran kata-kata motivasi nan menyentuh.

Salah satu problem yang ditemukan Roma adalah kealpaan terhadap manajemen manusia. Taktik dan sistem didahulukan tanpa membereskan manusia-manusia di dalamnya. Mourinho adalah pelatih yang lebih dulu mengedepankan man-management ketimbang urusan sistem atau taktik. Jika merasa pemain-pemainnya sudah berada dalam pola pikir yang sesuai dengan keinginannya, barulah ia berbicara urusan taktik.

Keputusan Mourinho untuk lebih dulu mengurus manusia berbuah manis. Memang bukan panggung Liga Europa, apalagi Liga Champions, yang mereka dapat. Kata orang-orang ini cuma Conference League, kompetisi buangan ala Eropa.

Namun, Mourinho tahu persis apa yang didamba orang-orang Roma. Sejak kejatuhan yang dipercaya terjadi pada 476 Masehi, orang-orang Roma merindukan kekuasaan di Eropa. Bahkan AS Roma dibentuk karena Benito Mussolini ingin memiliki klub sepak bola yang merepresentasikan semangat Kekaisaran Romawi.


Jika Conference League adalah jalan yang harus ditempuh, Mourinho menerima keadaan itu. Lagi pula, ini kompetisi perdana. Menjadi juara sama dengan mencetak sejarah. Bukankah sejarah yang membuat Romawi dikenang sebagai yang terkuat?

Di laga final Conference League, Feyenoord yang menjadi lawan Roma sebenarnya bermain apik: Unggul penguasaan bola, serangan cair, dan berhasil menciptakan beberapa peluang emas. Namun, Romanya Mourinho rapat betul. Mereka berlaga dengan mengandalkan pertahanan, bermain sebagai tim khasnya Mourinho.

Jika tidak mampu bermain bagus, Mourinho akan bermain cerdas. Kegigihan untuk memegang prinsip itu mengganjar Roma dengan kemenangan 1-0 di laga puncak. Tentu saja itu bukan kemenangan besar, apalagi telak. Namun, satu gol nyatanya cukup untuk memantik tangisan bahagia Mourinho di lapangan. Satu gol ternyata cukup baginya untuk menepuk-nepuk dada saat melakoni arak-arakan gelar juara di Kota Roma.

Sekali lagi Mourinho membuktikan bahwa ia bukan orang kalah, ia juara Eropa. Pembuktian itu dibuatnya bersama tim yang menimang pohon bonsai sebagai trofi terakhir. Dunia terdiam, Mourinho tertawa. Tangisannya adalah tentang kebahagiaan, tentang keberhasilannya menggenggam Eropa.