Everton di Persimpangan

Foto: Twitter @MrAncelotti

Everton di tangan Carlo Ancelotti adalah tim yang menjanjikan. Namun, tiga kekalahan terakhir di Premier League menunjukkan bahwa mereka belum menjadi tim yang utuh. Everton masih berada di persimpangan.

Delapan belas dari 36 tahun usia Thiago Silva sudah ia habiskan sebagai pesepak bola profesional. Namun, baru kali ini Silva menemui sesuatu yang bikin dirinya sakit kepala: Premier League.

Silva mengakui bahwa dirinya beruntung. Ketika baru menjajal level teratas sepak bola Eropa, ia sudah bergabung dengan AC Milan. Ia beruntung bukan cuma karena kepada siapa bermain, tetapi juga dengan siapa ia bermain.

Milan, ketika Silva baru bergabung, masih memiliki Paolo Maldini dan Alessandro Nesta. Ia belajar soal seni bertahan dari orang-orang terbaik. Ia juga menyebut bahwa Serie A adalah sekolah terbaik untuk para bek dan mereka yang ingin memahami fase bertahan dengan baik.

Ketika akhirnya, ia pindah ke Paris Saint-Germain pada 2012 —dan menghabiskan waktu delapan tahun di kesebelasan asal Paris itu—, Silva menemukan bahwa Liga Prancis jauh lebih mengandalkan fisik. Namun, dengan bekal yang cukup dari Milan, ia masih bisa menghadapinya.

Kini, ia menghadapi problem lain. Agustus 2020, Silva resmi bergabung dengan Chelsea. Ketika usianya sudah tak muda lagi, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa sekali lagi ia harus beradaptasi dengan gaya permainan baru.

Ketika kami menyebut “sakit kepala” pada awal tulisan ini, kami tidak sedang membuat kiasan. Silva sungguhan mengalami sakit kepala gara-gara gaya permainan Premier League.

“Sekarang, setelah bermain pada dua laga Premier League, saya sering sakit kepala karena banyak terlibat duel udara. Gaya permainannya juga amat cepat,” kata Silva.



Kami tidak ingin menyebut Premier League sebagai liga terbaik di dunia (yang paling ingar-bingar boleh jadi, iya), tapi untuk betul-betul bisa sukses di dalamnya memang dibutuhkan adaptasi khusus.

Silva bukanlah satu-satunya orang yang kaget dan akhirnya menunduk pada kebutuhan untuk beradaptasi di Premier League. Pep Guardiola juga pernah mengalaminya pada musim perdananya di Manchester City dan kini Carlo Ancelotti juga mengalaminya di Everton.

***

Kita sering mendengar Guardiola menyebut-nyebut satu hal pada musim perdananya di Premier League: Second ball. Karena ia yang mengatakannya, seolah-olah second ball adalah jurus termutakhir yang memungkinkan setiap kesebelasan memenangi pertandingan tiap kali menggunakannya.

Kenyataannya, Guardiola sedang gegar ketika itu. Ketika mengucapkannya berulang-ulang, Guardiola sedang mengakui bahwa ia tengah dipaksa untuk beradaptasi tanpa betul-betul harus merombak filosofinya. Ia paham bahwa untuk menguasai permainan di Premier League, memenangi duel perebutan second ball sama pentingnya dengan menciptakan ruang di pertahanan lawan.

Perkara second ball tersebut pula yang tengah dihadapi Ancelotti di Everton. Sebagai pelatih, Ancelotti tidak identik dengan satu filosofi khusus. Ia bisa menyusun formasi dan gaya permainan seperti apa pun sesuai dengan komposisi yang timnya miliki. Mestinya, Ancelotti bisa lebih mudah beradaptasi dengan Premier League.

Ancelotti sedang dalam proses menjalani musim penuh pertamanya dengan Everton —ia bergabung dengan The Toffees pada Desember 2019. Pencapaiannya lumayan, meski tidak impresif-impresif amat. Dari total 32 laga, ia memenangi 15 di antaranya serta 7 kali imbang dan 10 kali kalah.

Satu-satunya catatan yang layak ia banggakan sejauh ini adalah (sempat) membawa Everton memuncaki klasemen Premier League selama beberapa pekan. Empat kemenangan beruntun pada September dan Oktober sempat membuat kita bertanya-tanya, apakah Everton adalah salah satu penantang serius untuk perebutan gelar juara?

Lalu, datanglah hasil imbang melawan Liverpool. Oke, mungkin itu cegukan belaka. Namun, kemudian datang kekalahan dari Southampton, lalu kekalahan dari Newcastle United, lalu kekalahan dari Manchester United. Pada tiga kekalahan tersebut, Everton hanya mencetak 2 gol dan kebobolan 7 gol.

Pertanyaan apakah Everton penantang serius untuk perebutan gelar juara itu dengan lekas terlupakan bahkan sebelum bulan Desember —yang biasanya jadi ujian sesungguhnya untuk kontestan Premier League— datang. Pertanyaan itu berubah menjadi, “apa yang salah dengan Everton?”

Pada tulisannya di The Athletic, Patrick Boyland mengungkapkan sebuah momen pada laga melawan United. Pada laga yang berujung pada kemenangan 3-1 untuk ‘Iblis Merah’ itu, Ancelotti terdengar meneriakkan hal yang sama berulang kali: “Second ball! Second ball!

Teriakan tersebut ia arahkan kepada duet gelandangnya, Allan dan Abdoulaye Doucoure. Keduanya, menurut Boyland, kurang bisa melindungi back-four Everton dengan baik. Hal yang sama juga sempat diteriakkan bek tengah Everton, Mason Holgate, kepada Allan: “Second ball! Second ball!

Jika begitu alasannya, problem Everton terletak pada individual. Allan adalah salah satu pembelian anyar Everton musim ini. Ia sudah 7 kali tampil di Premier League, yang artinya hampir selalu mentas tiap kali The Toffees turun gelanggang di liga, dengan menit bermain mencapai 630. Artinya, tiap kali tampil, ia selalu bermain penuh.

Kendati begitu, beradaptasi dengan gaya permainan anyar, seperti yang dikeluhkan juga oleh Silva, bukan perkara mudah. Boleh jadi, ini adalah salah satu alasan mengapa Everton bisa kebobolan 7 gol dalam tiga laga terakhir.

Namun, mengingat Ancelotti bukanlah pelatih yang saklek dengan satu gaya, mestinya ia beradaptasi. Masalahnya, komposisi skuat Everton nyatanya belumlah sesuai dengan yang ia inginkan.

Pada musim panas, Everton sempat menjajaki kemungkinan membeli bek kanan anyar. Salah satu yang mereka incar adalah Diogo Dalot. Namun, untuk bisa membeli seorang bek kanan, Everton mesti melepas Jonjoe Kenny lebih dulu —sayangnya ini tak terjadi.

Dengan ketiadaan bek kanan yang bisa menyerang dan bertahan sama baiknya, Everton pun rapuh di sisi tersebut. Hampir sepanjang musim ini, Ancelotti menerapkan formasi 4-3-3 —yang bisa berubah menjadi 4-4-2 saat bertahan— dengan James Rodriguez berposisi di sisi kanan.

James adalah pemain cerdas. Kendati bermain di sisi kanan, ia sering bergerak ke tengah sehingga membuka ruang bagi bek kanan untuk melakukan overlap. Ketika menyerang, tidak ada problem dengan taktik ini. Namun, ketika bertahan, lain cerita.

Tanpa seorang pemain depan yang bisa melakukan cover dengan baik, tugas untuk melindungi sisi kanan pertahanan jatuh kepada Doucoure dan siapa pun bek yang dipasang sebagai bek kanan. Sialnya, seperti yang sudah kami sebut, Doucoure juga belum terlalu maksimal melindungi lini pertahanan.

Namun, seperti yang ditekankan oleh Tifo Football, Everton sebetulnya bisa mengubah shape-nya dengan sesuka hati. Ketika 4-3-3 tidak bisa bekerja dengan baik, Ancelotti acap mengubahnya menjadi 4-2-3-1 dan 4-1-4-1. Ini menunjukkan bahwa Don Carletto sesungguhnya tidak kekurangan plan b.

Problemnya, ya, itu tadi… Ancelotti mesti bisa membuat para pemainnya lebih terbiasa dengan sistemnya (selain juga terbiasa dengan gaya permainan Premier League). Jika ini sulit untuk dilakukan, jangan harap Everton bisa melanjutkan maraton panjang. Jangan-jangan, apa yang kita lihat sejauh ini hanyalah sprint pendek belaka.

***

Ada alasan khusus mengapa Ancelotti suka bertahan dengan 4-4-2. Menurutnya, formasi tersebut memberikan keseimbangan secara vertikal maupun horizontal dan memberikan kerapatan yang ia inginkan.

Ketika takluk di tangan United, Ancelotti mengeluhkan hal tersebut: Timnya tak cukup rapat saat bertahan. Sialnya, ketika keadaan memburuk, opsi untuk mengubah kedudukan dari bench pun minim. Alhasil, Everton pun terpuruk dengan sendirinya.

Everton di tangan Ancelotti adalah tim yang menjanjikan. Namun, tiga kekalahan terakhir di Premier League menunjukkan bahwa mereka belum menjadi tim yang utuh. Everton masih berada di persimpangan.