FC United of Manchester: Pai, Bukan Sandwich Udang

Para pendukung FCUM. Foto: Manchester Evening News.

Enam belas tahun berdiri, FC United of Manchester mengalami pasang-surut sebagai konsekuensi dari klub yang berjalan dengan demokratis. Kendati begitu, sampai saat ini mereka masih memegang teguh nilai-nilai yang mereka percayai.

“Glazer, wherever you may be, you bought Old Trafford but you can’t buy me.”

Ada harga yang mesti dibayar untuk sebuah kemerdekaan atau kebebasan. Terkadang, sebelum membayarnya pun butuh untuk mengumpulkan keberanian terlebih dulu.

Suatu ketika, pada bulan-bulan yang memuakkan di tahun 2005, sekelompok pendukung Manchester United berkumpul di sebuah pub di Stretford, tidak jauh dari Old Trafford. Mereka merencanakan pemberontakan.

Selayaknya berbagai pemberontakan yang pernah ada, ia selalu lahir dari ketidakpuasan. Bagi para pendukung United tersebut, ketidakpuasan itu hadir karena Keluarga Glazer membebani setumpuk utang kepada Manchester United.

[Baca Juga: Keeping Up with The Glazers]

Semua tahu ceritanya: Keluarga Glazer berutang kepada JP Morgan untuk membeli Manchester United. Begitu resmi menjadi pemilik, Keluarga Glazer mengalihkan utang pribadi tersebut menjadi utang klub.

Mereka paham, utang yang menumpuk itu barulah awal. Tidak ada masa depan terang benderang yang berawal dari utang. Yang ada hanyalah sekelebat ilusi.

Kekhawatiran itu ujung-ujungnya menjadi kenyataan. Sekalipun masih mendapatkan segelintir trofi—termasuk trofi-trofi turnamen Eropa—United berkubang dalam lilitan utang dan investasi yang teramat minim dari pemilik baru mereka.

Selama bertahun-tahun, ‘Iblis Merah’ mesti mencicil utang lengkap dengan bunganya. Itu belum termasuk pembayaran dividen yang secara total mencapai 122 juta poundsterling kepada Keluarga Glazer sendiri.

Di sisi lain, atap Old Trafford bocor, uang untuk membeli pemain datang dari revenue sendiri, dan langit masih biru.

Syahdan, pertemuan di pub itu menjadi lebih serius. Seperti bergerilya, mereka berpindah-pindah, mulai dari sebuah curry house di Rusholme sampai di sebuah ruang pertemuan di O2 Apollo.

Dari pertemuan-pertemuan itu, mereka mengubah rasa muak itu menjadi sebuah manifesto berupa sebuah klub baru, namanya FC United of Manchester (FCUM).

Yang mereka inginkan sederhana saja, yakni sebuah klub dari para suporter untuk para suporter. Sebuah klub yang dibuat oleh sebuah komunitas dan hadir untuk komunitas tersebut. “Pai, bukan sandwich udang,” begitu bunyi yang mereka dengungkan.

Broadhurst Park. Foto: Wikimedia Commons.

Pai, dalam benak mereka, jauh lebih inklusif ketimbang sandwich udang yang mewah dan berkesan korporat. Sampai kemudian pemeo tersebut mereka jadikan spanduk yang terpajang di pinggir lapangan pada hari-hari awal FCUM.

Spanduk lainnya, yang juga ikut terpajang di pinggir lapangan, juga terbaca seperti ini: Rebel Heroes. FCUM dengan bangga mengadopsi akar yang kemudian menjadi identitas mereka, yakni sebagai pemberontak.

Yang namanya pemberontak, apa-apa yang mereka lakukan bukanlah apa-apa yang dilakukan oleh entitas yang mereka tinggalkan. Satu-satunya yang sama hanyalah mereka membentuk klub sepak bola. Namun, yang satu ini sebenar-benarnya klub sepak bola.

Ketika kebanyakan klub sepak bola berubah menjadi perusahaan besar, memperlakukan suporter selayaknya customer, dan berlaku lagaknya sebuah korporat ketika menyambut tamu, FCUM menyediakan rumah.

Mei 2015, setelah 10 tahun berbagi kandang dengan Bury di Grigg Lane, FCUM meresmikan Broadhurst Park, stadion kandang mereka yang berkapasitas 4.400 orang.

Dana 6,3 juta poundsterling mereka habiskan untuk membangun stadion tersebut dengan 2 juta pounds di antaranya, menurut laporan David Conn di The Guardian, berasal dari sumbangan komunitas suporter.

Karena dibangun oleh komunitas suporter, Broadhurst Park pun menjadi lebih dari sekadar stadion. Ia juga merupakan tempat berkumpul saban akhir pekan untuk banyak keluarga dan teman sembari nonton bola.

Jika kebanyakan stadion menempatkan suites mewah di tribune utama untuk keramahtamahan terhadap klien, perwakilan sponsor, tamu berjas, dan bos-bos besar, Broadhurst Park berbeda. Di tribune utama mereka hanya ada bar dan pusat katering buat tempat berkumpul para suporter.

Keinginan untuk membuat FCUM sebagai klub yang dimiliki oleh para suporter dan diperuntukkan buat para suporter juga membuat mereka harus menegakkan value (nilai) tanpa kompromi. 

Soal sponsor, misalnya. FCUM paham bahwa meskipun klub berjalan dengan semangat anti-kemapanan dan kebersamaan, mereka tetap membutuhkan uang untuk menggerakkan operasional klub termasuk menggaji pemain. Oleh karena itu, mereka tetap menerima sponsor.

Para suporter FCUM di Broadhurst Park. Foto: Twitter @EsportsRAC1.

Namun, berbeda dengan klub sepak bola kebanyakan, sponsor-sponsor tersebut tidak akan mereka pampangkan di bagian depan jersi tim. Pada 2011, ketika mxData menjadi sponsor besar pertama untuk FCUM, mereka berkompromi sesuai dengan kaidah yang dipercaya oleh klub.

mxData sendiri merupakan perusahaan lokal—berbasis di Manchester—yang bergerak dalam pengembangan mobile-app. Sebagai perusahaan lokal, mereka paham bahwa FCUM pada dasarnya adalah klub yang berakar pada komunitas di sekeliling mereka. mxData juga memercayai value yang sama.

“Saya tidak ingin melewati jalur sponsorship seperti yang kebanyakan dilakukan orang-orang, entah itu menjadi sponsor fasilitas korporat atau menempatkan logo di berbagai entitas klub. Saya ingin sesuatu yang lebih berarti daripada itu,” ujar David James, founder mxData, pada 2011.

“Sudah sejak lama saya ingin mencari cara dan mendukung sebuah gerakan yang menawarkan sesuatu untuk komunitas secara tulus, sesuatu yang bisa diadopsi oleh perusahaan kami dan kami dukung penuh: Menawarkan pertolongan praktis dan memberikan keuntungan lewat dukungan finansial.”

“Ketika mereka bilang bahwa saya tidak bisa menempatkan logo mxData di jersi tim karena konstitusi klub, saya memutuskan bahwa mereka adalah partner sempurna,” kata James lagi.

Menemukan sponsor dan partner yang berada dalam frekuensi dan memiliki visi yang sama tentu saja terlampau indah untuk diterima sebagai kenyataan. Namun, yang terjadi memang seperti itu.

Mari kita anggap saja bahwa FCUM beruntung. Namun, keberuntungan memang selalu memihak mereka yang memiliki keberanian. Kerja sama antara FCUM dan mxData langgeng sampai 2016.

Pada tiap musim gugur, FCUM akan menggelar Annual General Meeting (AGM) untuk memutuskan berbagai hal penting. Keputusan untuk tidak memasang logo sponsor di jersi tim mereka putuskan pada AGM paling pertama.

Hal-hal lain seperti harga tiket dan apakah tim bakal menggunakan jersi baru atau tidak begitu musim baru menjelang juga diputuskan lewat AGM. Semuanya diputuskan melalui voting dari tiap-tiap anggota.

Sebagai klub yang dibentuk untuk komunitas bersama, FCUM dimiliki oleh anggota klub yang berasal dari para suporter sendiri. Setiap anggota, menurut situs FCUM, memiliki hak kepemilikan yang sama sebagai co-owner. Masing-masing anggota memiliki hak satu voting share untuk klub.

Voting share itulah yang digunakan untuk membuat berbagai macam keputusan, termasuk siapa yang akan duduk di jajaran direksi untuk mengurus klub. Untuk menjadi anggota klub sendiri, tiap orang hanya perlu membayar 15 pounds per tahun atau 3 pounds per tahun untuk yang berusia di bawah 16 tahun.

Dengan dimiliki oleh anggota, FCUM belajar berdemokrasi. Selain memilih jajaran direksi, mereka juga bisa mengajukan pertanyaan mengenai klub kepada jajaran direksi tersebut. Semuanya tinggal diajukan saja via surat tertulis ke alamat klub.

Para direksi sendiri sifatnya bekerja secara sukarela. Mereka tidak mendapatkan bayaran. Meski demikian, mereka tetap menanggung tanggung jawab yang cukup besar. Dari merekalah keputusan dan kebijakan mengenai ke mana klub bakal melangkah dan berbagai isu lainnya berasal. Yang perlu mereka perhatikan, setiap keputusan diambil demi keuntungan anggota dan klub sendiri.

Lewat situs resmi klubnya, FCUM mendorong tiap-tiap anggota dan suporternya untuk bersuara. Manakala memiliki kekhawatiran mengenai cara klub dijalankan atau sekadar ingin sumbang saran, mereka bisa langsung mengirimkan keluhan atau ide mereka via surat tertulis.

Kebanggaan para pendukung FCUM sebagai pemilik klub. Foto: Twitter @FCUnitedMcr.

Namun, yang namanya berdemokrasi, tak melulu semuanya tenang dan tanpa riak. Sepanjang 16 tahun perjalanan klub mereka, FCUM sudah mengalami pasang-surut, dan ini bukan perkara hasil di lapangan saja, tetapi juga di tatanan manajemen.

Ambil contoh ketika harga matchday programme mereka naik tiba-tiba. Di Inggris, matchday programme adalah sebuah memorabilia pertandingan. Bentuknya seperti majalah dan isinya adalah berbagai berita dan cerita mengenai klub atau pertandingan yang bakal dihadapi.

Tiap-tiap matchday programme hanya dikeluarkan untuk satu pertandingan. Ini mengapa ia menjadi sebuah memorabilia dan benda yang layak untuk dikoleksi. Jika sebuah tim menjalani 38 pertandingan dalam satu musim kompetisi artinya dia akan memiliki 38 matchday programme berbeda.

Pada 2005, FCUM merayakan peresmian Broadhurst Park dengan mengundang Benfica sebagai lawan uji tanding mereka. Tentu saja ini adalah peristiwa bersejarah; sebuah klub seumur jagung bertanding melawan raksasa Eropa.

Untuk merayakan pertandingan tersebut dibuatlah matchday programme khusus. Tak dinyana, mentang-mentang itu adalah kesempatan langka, harga matchday programme-nya ikut naik.

Suporter pun protes. Mereka menganggap bahwa naiknya harga matchday programme khusus untuk pertandingan melawan Benfica itu sebagai outright commersialism (komersialisme terang-terangan), sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip FCUM sendiri.

Merasa bersalah, editor matchday programme tersebut mengundurkan diri beberapa bulan kemudian.

***

Persoalan mengenai matchday programme tersebut adalah satu dari sekian hal yang dihadapi FCUM dalam berdemokrasi. Manakala anggota merasa transparansi dan akuntabilitas jajaran direksi layak dipertanyakan, mereka akan langsung mengajukan protes.

Ini terlihat pada 2016 ketika Emergency General Meeting (EGM) diadakan pada musim semi untuk meminta pergantian jajaran direksi. Protes ini kemudian berujung dengan invasi lapangan para suporter pada laga kandang terakhir pada musim 2015/16.

Kendati begitu, FCUM sudah kenyang dengan kritik. Manajer legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson, adalah salah satu yang paling lantang mengkritik klub yang kini bermain di Northern Premier League—divisi ketujuh dalam sepak bola Inggris—tersebut.

Sir Alex merasa bahwa para pendiri dan suporter FCUM lebih mementingkan diri sendiri ketimbang bersetia kepada United, terlepas dari apa pun kondisinya. Dalam berbagai wawancara setelah berdirinya FCUM, Sir Alex pun selalu mengelak untuk membahasnya.

“Tidak tertarik, sama sekali tidak tertarik (untuk membahas FCUM, red),” katanya.

Sampai saat ini, para pendukung FCUM masih membangga-banggakan keputusan mereka 16 tahun silam. Ketika para pendukung United mulai bergerak memprotes Keluarga Glazer dengan demonstrasi besar-besaran, mereka memilih untuk membusungkan dada karena sudah melakukan protes terang-terangan duluan.

Namun, figur penting lain dari United, Eric Cantona, justru terang-terangan mendukung FCUM. Pria yang gestur dan tata cara bertuturnya mirip seorang filsuf itu malah membuat sebuah nubuat pada 2010.

“Mereka bakal jadi klub hebat dan memenangi European Cup dalam 50 tahun,” kata Cantona.