Football, Bloody Hell

Foto: Alexandre Brondino/Unsplash.

Sepak bola bukan urusan siapa yang mengkreasikan, tetapi soal siapa yang memegang kendali. Drama ESL, termasuk sentimen negatif terhadap FIFA dan UEFA, mengingatkan bahwa sepak bola sering betul hilang kendali ketika dikendarai oleh rasa rakus.

Ada banyak pemeo yang beredar dalam sepak bola. Salah satu yang beredar belakangan terbaca seperti ini: “Created by the poor, stolen by the rich.

Ucapan yang heroik sekaligus romantis. Seolah-olah sepak bola dirampas dari sebuah kepemilikan begitu saja dan si pemilik aslinya harus terus hidup sebagai korban.

Kendati begitu, ucapan tersebut tak ubahnya ingatan kolektif belaka. Padahal, sering betul ingatan mengkhianati kita. Ketika menyebut sepak bola “created by the poor”, kita mengabaikan fakta bahwa si ningrat dan si aristokrat sudah sejak dulu ikut campur tangan.

Di Inggris, pada 1800-an, sepak bola sempat dimonopoli orang-orang kaya. Ia berjalan beriringan dengan rugbi yang, menurut orang-orang Inggris, adalah “olahraga barbar yang dimainkan oleh para gentlemen”.

Meski begitu, sepak bola, sebagai olahraga yang dianggap lebih rendah karena mereka bilang dimainkan orang barbar, dianggap lebih rendah. Sekalipun ia diorganisasikan, dikelola, diatur, dan seringkali disokong oleh orang berduit, yang memainkan dan menggemarinya secara mayoritas adalah kelas akar rumput dan menengah.

Dari situ muncul sentimen negatif kepada sepak bola pada era Victorian. Sentimen itu bahkan masih terbawa-bawa sampai era Margaret Thatcher yang sengitnya minta ampun kepada penggemar sepak bola kelas akar rumput.

Terlepas dari sentimen tersebut, tidak bisa dimungkiri bahwa sepak bola amat dekat dengan mereka yang tidak berduit. Satu-satunya hiburan mereka, setelah bergelut dengan hidup dan pekerjaan hampir seminggu penuh, adalah berteriak dan bersumpah serapah di tribune stadion saban akhir pekan.

Dari situ, muncul anggapan bahwa orang-orang miskin adalah pemilik sesungguhnya dari sepak bola. Merekalah yang memenuhi stadion dan membeli tiket musiman dari hasil jerih payah bekerja seminggu penuh. Duit-duit yang mereka kumpulkan secara susah payah itu menjadi salah satu menggaji pemain-pemain mahal.

Dengan korelasi tersebut, sulit untuk mengenyahkan aspek sentimental dan emosional dari sepak bola. Tak semua hal dalam sepak bola bisa diukur dan dihitung dengan angka.

Repotnya, suporter dan penonton sepak bola seringkali hanya menang jumlah. Sekalipun mereka mengeklaim bahwa sepak bola tidak ada apa-apanya tanpa penonton, mereka seringkali tidak memegang kendali.

Satu-satunya kekuatan mereka hanyalah suara yang nyaring. Protes mereka bisa lebih lantang dari apa pun. Namun, di hadapan para pemegang kendali dan pemangku kepentingan yang tuli, protes itu tidak akan pernah terdengar.

Maka, urusan soal sepak bola tidak pernah soal siapa yang mengkreasikan, tetapi soal siapa yang memegang kendali.

Kejadian dalam beberapa hari terakhir dalam sepak bola mempertontonkan bahwa sepak bola sering betul hilang kendali ketika dikendarai oleh rasa rakus. Oleh karena itu, para suporter menggertak bahwa inilah saatnya mereka ikut disertakan untuk memegang kendali dan mengambil keputusan.

Pertentangan soal siapa yang lebih berhak memegang kendali ini, antara si berduit yang merasa lebih becus mengelola dan si cekak yang merasa memiliki. Pertentangan ini menghadirkan drama berbabak-babak yang entah kapan berakhirnya.

I. FIFA dan UEFA

Ketika Sepp Blatter, eks presiden FIFA yang dikutuk di mana-mana itu, berbicara bahwa organisasi yang ia pimpin bersifat non-profit, tawa dan olok-olok meledak.

FIFA adalah organisasi besar. Mereka punya tanggung jawab mengelola sepak bola global dengan bantuan konfederasi-konfederasi di bawahnya. Namun, kekuasaan yang begitu besar memang cenderung untuk menjadi korup dengan sendirinya.

Terlepas dari klaim Blatter bahwa FIFA adalah organisasi non-profit, faktanya mereka memiliki banyak sponsor. Sponsor-sponsor itulah yang ikut mendukung turnamen-turnamen gelaran FIFA. Semakin banyak penonton yang menyaksikan turnamen-turnamen itu, semakin banyak pula sponsor yang tergiur.

Apa pun yang FIFA buat bakal selalu ada motif ekonomi di baliknya. Keputusan mereka memberikan hak tuan rumah Piala Dunia 2018 kepada Rusia dan 2022 kepada Qatar juga dipercaya berkenaan dengan ekonomi.

Belakangan, terbukti bahwa proses bidding dan penunjukan Rusia dan Qatar melibatkan suap, penipuan, dan pencucian uang. Blatter dan kroni-kroninya jatuh. Mereka yang dianggap bersekongkol dengannya, termasuk yang berada di dalam UEFA, konfederasi sepak bola Eropa, ikut terseret.

Orang boleh terhenyak dan kaget. Namun, kecenderungan federasi sepak bola seperti FIFA ataupun UEFA untuk bergerak karena motif ekonomi dan bisnis—yang ujung-ujungnya bisa membuat mereka korup—semestinya tidak mengejutkan.

Sejak awal, keputusan UEFA mengubah-ubah format Liga Champions adalah untuk menggaet penonton yang lebih banyak dan, oleh karenanya, memperbesar profit turnamen.

Dahulu, Liga Champions (atau dulu dikenal sebagai European Cup, lalu Piala Champions) hanya bisa diikuti oleh para juara liga. Formatnya pun betul-betul cuma fase knock-out tanpa ada fase grup.

Di mata UEFA, format ini bukannya tanpa kelemahan. Seiring dengan makin mengglobalnya sepak bola, suporter sebuah klub besar tak hanya datang dari kota mereka sendiri, melainkan dari berbagai belahan dunia.

Daya tarik yang luar biasa dari klub-klub besar ini memungkinkan UEFA untuk menggaet penonton dari pasar yang lebih luas asalkan klub-klub besar itu bermain di kompetisi mereka. Persoalannya, dahulu hanya klub-klub juara—lalu kemudian runner-up—yang bisa bermain di Liga Champions.

Andaikan yang menjadi juara liga adalah klub seperti (katakanlah) Burnley, merekalah yang berhak untuk mewakili liga di Liga Champions. Namun, kans UEFA untuk menggaet jumlah penonton yang lebih besar, tentu saja, terbuka lebih lebar apabila klub yang menjadi juara adalah Liverpool.

Maka, selain untuk membuat turnamen lebih kompetitif dan lebih seru, UEFA berpikir keras bagaimana caranya memperbesar kemungkinan klub-klub besar itu untuk ikut berkompetisi di Liga Champions dari musim ke musim.

Hasilnya, seperti yang kita lihat, adalah penambahan jumlah peserta. Dari yang tadinya hanya juara, lalu juara dan runner-up, kini menjadi tiga atau empat tim per liga.

Dalam beberapa musim terakhir, kita juga melihat jalur lain untuk mentas di Liga Champions, yakni via juara Liga Europa atau dengan menjadi juara bertahan Liga Champions.

Keinginan untuk terus mengeruk uang inilah yang membuat FIFA ataupun UEFA bakal terus mencari cara mengubah format turnamennya. Keputusan UEFA untuk mengubah format Liga Champions menjadi 36 tim lewat Swiss Model pada 2024 juga didasari motif yang sama.

Alih-alih menjadi solusi, format baru Liga Champions itu justru mendatangkan polemik. Sejumlah klub elite merasa emoh untuk membagi kue mereka. Yang elite harus tetap elite, yang kaya harus tetap kaya, jangan biarkan yang lain boleh masuk.

Lantas, mereka bertindak konyol: Membentuk European Super League (ESL).

II. ESL dan Arogansi

ESL boleh jadi belum mati. Boleh jadi, mereka hanya hanya mati suri. Namun, dalam hidup mereka yang pendek, ESL memperlihatkan betapa arogannya mereka.

Florentino Perez, Presiden Real Madrid dan salah satu pencetus kompetisi super-eksklusif ini, mengatakan bahwa kompetisi-kompetisi di Eropa bisa hidup karena klub-klub besar mereka.

Liga-liga seperti Premier League boleh saja makmur, tetapi itu tidak akan terjadi apabila tidak ada klub-klub besarnya. Daya tarik itu, kata Perez, pada akhirnya berasal dari klub-klub besar.

Oleh karena itu, Perez merasa bahwa supaya sebuah kompetisi bisa berjalan dan bertahan lama, klub-klub besarnya mesti makmur terlebih dulu. Tentu saja, ini adalah opini konyol dan sepintas seperti cari-cari alasan saja.

Perez memang tidak salah ketika mengatakan bahwa klub-klub besar memiliki daya tarik besar. Mereka memiliki pendukung dengan skala global. Mereka juga mampu membuat stadion terisi penuh dengan penonton. Keyakinan inilah yang membuat Blatter dan kroco-kroconya merasa bahwa mereka bisa bermain di mana pun dan penonton bakal tetap mengikuti.

Maka, mereka pun membentuk ESL. Kompetisi tertutup dengan 12 klub ini tadinya diharapkan bakal meluncur pada Agustus 2021. Mereka sudah mendapatkan investor dari JP Morgan—yang memiliki koneksi kuat dengan Keluarga Glazer—dan pemegang hak siar.

Target pasar mereka tidak hanya suporter lokal, tetapi juga penonton-penonton dari Asia dan Amerika. Dengan jualan pertandingan antartim besar setiap pekannya, ESL yakin bisa mendatangkan penonton dengan jumlah luar biasa dan, ujung-ujungnya, mengeruk uang.

Para peserta ESL pun tergiur. Investor sudah bersedia menaruh dana besar. Ke-12 klub itu kabarnya bakal mendapatkan uang keikutsertaan hingga 400 juta euro per klub. Kalau menjadi juara, total uang yang mereka terima bisa mencapai 500 juta euro.

Jumlah tersebut berkali-kali lipat lebih besar dari yang bisa diterima di Liga Champions. Untuk sebuah klub besar yang gaya hidupnya gila-gilaan—membeli dan menggaji pemain mahal sampai berutang—itu, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki neraca keuangan mereka sekaligus mendulang profit.

Perez sendiri mengeluhkan kondisi keuangan timnya dan kroni-kroninya. Ia bilang, pandemi telah memukul dompet mereka. Namun, alih-alih mendatangkan banyak simpati, Perez malah membuat dirinya terlihat seperti orang kaya yang mengeluh kurang duit ketika ia sendiri hidup dengan berfoya-foya.

ESL akhirnya tampak seperti guyonan yang tidak lucu. Suporter, pelatih, dan pemain dari klub-klub yang bergabung ke kompetisi tersebut mengamuk. Mereka merasa dibawa-bawa oleh pemilik yang tidak peduli dengan keberadaan mereka dan hanya mementingkan keuntungan.

Ketika protes itu makin kencang, para pemilik itu—yang sebagian meminta maaf, sementara sebagian lainnya masih memilih untuk bersembunyi—akhirnya memutuskan untuk menarik keikutsertaan klub mereka dari ESL.

Tentu saja, masalah tidak selesai. Sudah kadung marah, kini para suporter juga meminta para pemilik itu angkat kaki dari klub mereka.

III. Bisnis dan Keterikatan Emosional

Ada banyak amukan ketika pemilik klub-klub ESL dikabarkan melabeli suporter lokal mereka sebagai ‘legacy fans’. Mereka seolah-olah dianggap sebagai barang lawas dan sudah usang, sementara sang pemilik mengincar suporter atau penonton baru.

Ketika ke-12 klub tersebut memutuskan untuk mengincar pasa Asia dan Amerika, pastilah yang ada di benak adalah mencari penonton baru dan berinvestasi pada kemungkinan munculnya penonton-penonton lain di masa depan.

Thus, mengamuklah para suporter itu. Kendatipun klub mereka sudah berjalan seperti sebuah perusahaan dan terlibat di dalam berbagai bisnis untuk tetap hidup, sebuah klub sepak bola tidak layak untuk diperlakukan sebagai entitas bisnis belaka.

Simon Kuper, lewat tulisannya di Financial Times, menyebut bahwa ESL gagal memahami sepak bola. Ia menyebut bahwa ESL bisa merusak esensi sepak bola itu sendiri dan bahwa sebuah klub harus diperlakukan lebih dari sebuah alat untuk menghasilkan profit.

Sepak bola memiliki keterikatan dan tanggung jawab terhadap komunitas di sekelilingnya. Sebuah klub sepak bola, meskipun banyak yang sudah berbentuk perusahaan, pada akhirnya adalah sebuah badan yang terkoneksi dengan hasrat orang-orang yang mendukungnya.

Di dalam sebuah klub, terlepas dari apakah ia sering memenangi sebuah kejuaraan atau mengangkat trofi, ada tradisi. Tradisi tersebut mencakup kebiasaan menonton atau datang langsung ke stadion yang diturunkan dari orang tua ke anak.

Ketika para pemilik klub itu memilih untuk mencari profit yang lebih besar dan mendatangkan penonton baru tanpa memikirkan suporter lama, ada keterikatan emosional yang mereka abaikan.

Maka, ketika banyak suporter lokal mempertaruhkan tradisi mereka dan keterikatan emosional mereka dengan menentang ESL, sementara nun jauh di sebuah negara justru banyak yang mendukung ESL dengan alasan bakal dapat tontonan seru belaka, kita tahu sesungguhnya lelucon ini milik siapa.