Formula ala Guardiola

Selebrasi pemain Manchester City. Foto: @mancity

Selalu ada formula dan eksperimen Guardiola dalam setiap kesulitan Manchester City.

Kepala Pep Guardiola disesaki gagasan. Mulanya, ia kliyengan mengatasi problem Manchester City yang itu-itu saja ketika mengawali musim 2021/22. Di tengah musim, ia menemukan formula-formula tepat sebagai jawaban.

City tak punya striker murni yang mumpuni. Kabar kedatangan Harry Kane dan Cristiano Ronaldo saat bursa transfer musim panas menguap begitu saja. Jack Grealish yang didatangkan dengan mahar 100 juta poundsterling bukan jawaban atas kepergian Sergio Aguero.

Guardiola mau tak mau kudu menyusun formula dan bereksperimen. Awalnya, ia menaruh kepercayaan kepada Ferran Torres untuk bermain sebagai penyerang. Pria 50 tahun itu pun memperdengarkan latar belakang kepercayaan itu tumbuh.

Torres, kata Guardiola, punya insting mencetak gol yang tajam. Kemudian, pria 21 tahun itu tidak butuh ruang gerak yang luas untuk melesakkan bola.

"Torres memiliki kepekaan yang besar untuk mencetak gol. Saya akan mengatakan bahwa Torres sedikit lebih baik dari Jesus ketika bermain di posisi tengah," kata Guardiola dikutip dariThe Athletic.

Kata-kata Guardiola bukan isapan jempol karena di awal-awal liga, keputusan itu jitu. Torres mencetak dua gol dan satu asis dalam empat laga pertama. Namun, memasuki pekan kelima, Torres menjadi pelapis. Tiga laga berikutnya, Torres tidak dapat jatah bermain.

Saat memperkuat Spanyol, Torres mengalami cedera patah tulang metatarsal dan menepi empat bulan. Situasi itu memaksa Guardiola bereksperimen kembali dan memperagakannya di lapangan. Phil Foden, Raheem Sterling, Bernardo Silva, Grealish, dan Jesus, bergantian bermain di pos penyerang tengah dengan peran false nine.

Hasilnya cukup memuaskan. City menjadi klub tersubur kedua Premier League dengan rangkuman 44 gol. Hanya Liverpool yang menggunguli jumlah lesakan The Citizens dengan torehan 50 gol. Mereka pun berada di barisan terdepan perburuan trofi Premier League. Ya, City berada di puncak klasemen sementara sampai pekan ke-18 tuntas. 

Wujud lain daya ledak City musim ini adalah kolektivitas mereka dalam mencetak gol. Ada 18 pemain yang sudah mencetak gol di lintas ajang. Selain formula false nine, untuk menjawab kenapa City begitu tajam, perlu melihat pola penyerangan yang disusun oleh Guardiola.

Guardiola tak berpaling dari formasi 3-2-5 saat fase menyerang. Dua full-back akan naik sangat tinggi. Sedangkan tiga penyerang bergerak dinamis untuk mengekspos ruang-ruang di kotak penalti lawan. Itu juga yang membuat lawan kesulitan menebak siapa yang bakal masuk dan melepaskan tembakan.

Fase menyerang Manchester City. Foto: Youtube Manchester City

Yang membedakan serangan City musim ini dengan musim sebelumnya adalah jarak antarpemain. Guardiola membentuk sistem serangan yang rapat dan dinamis. Tujuannya agar umpan-umpan pendek yang jadi andalan mereka dapat berjalan optimal.

Jumlah rata-rata umpan per laga City meningkat. Musim lalu, City mencatatkan 675 umpan per laga, sedangkan musim ini 677,11 umpan tiap 90 menit. Karena jarak pemain yang berdekatan, persentase umpan berhasil naik. Dari 89 persen menjadi 90 persen.

Meski tidak naik jauh-jauh amat, peningkatan itu berpengaruh pada produktivitas dan efektivitas finishing City. Ya, rata-rata gol City naik dari 2,18 menjadi 2,44 per laga. Akurasi tembakan mereka pun meningkat 1 persen, dari 36 persen ke 37 persen.

Dalam benak Guardiola, jarak antarpemain saat fase menyerang dapat meredam serangan balik. Itu karena saat City menyerang, pertahanan lawan akan padat. Area umpan lawan untuk menyelenggarakan serangan balik cepat pun mengecil.

Jika ada kesempatan mengirim umpan panjang, penyerang atau pemain cepat lawan membutuhkan waktu lebih panjang untuk mengejar bola. Waktu itulah yang digunakan City untuk melakukan transisi.

"Penting untuk mengoordinasikan gerakan antarpemain karena bola bergerak dan mereka bergerak. Ketika kehilangan bola, kamu harus berada di posisi yang tepat untuk menghindari serangan balik. Jika tidak, ya, tidak ada kesempatan (menahannya)," ucap Guardiola.

Berbicara skema bertahan City, tidak afdol jika tidak membahas gelandang bertahan. Ya, dalam skema tersebut, gelandang bertahan akan berdiri sejajar atau berada sedikit di depan bek tengah. Area bermain holding midfielder City pun sangat luas karena harus menutup ruang bek sayap yang turut terlibat dalam aksi ofensif.

Maka, gelandang bertahan City dituntut cerdik membaca permainan lawan. Ia kudu pintar-pintar memprediksi ke mana bola akan dialirkan dan ke sisi mana serangan akan dilancarkan. Dan setelah masa kejayaan Fernandinho memudar, City memiliki Rodri yang performanya semakin oke.

Rodri mahir bergerak ke posisi yang tepat. Ia akan melihat pergerakan pemain yang tidak menguasai bola sambil memperhatikan progresi serangan lawan. Kecerdikan tersebut dilengkapi dengan kemampuan tekel dan intersep yang memadai. Mengacu WhoScored, rata-rata tekel plus intersep Rodri musim ini berada di angka 3,1 per laga.

Saat menyerang, Rodri rutin masuk ke sepertiga pertahanan lawan. Selain menjadi opsi umpan dan memanfaatkan bola pantul, ia akan langsung memberikan tekanan manakala lawan dapat merebut bola.

Bicara soal pressure, Rodri menjadi yang terbaik di antara pemain City di Premier League sejauh ini. Jumlah pressure-nya yang mencapai 217 memang kalah 69 poin dari Silva sebagai yang terbanyak. Namun, Rodri menjadi pemain dengan jumlah pressure tersukses terbesar (84, Silva 79).

Namun, Rodri masih punya PR. Ia masih belum tahu kapan waktunya membantu serangan, kapan berlari menutup ruang-ruang saat lawan melancarkan serangan balik. Kecepatannya yang tidak cepat-cepat banget acap membuatnya terlambat turun membantu pertahanan.

Bukan Guardiola kalau tidak melihat itu sebagai persoalan. Untuk menutup celah Rodri, eks pelatih Bayern Muenchen itu merumus formula dan mendemonstrasikan di lapangan. Formula itu terejawantah dalam format 4-2-3-1 di dua laga terakhir Premier League.

Formasi itu tidak asing dengan City versi Guardiola. Pada semifinal Piala FA musim lalu melawan Chelsea, Guardiola memperagakan formasi itu. Ketika itu, Rodri berduet dengan Fernandinho sebagai gelandang bertahan.

Hasilnya, City keok 0-1. Satu-satunya gol dalam laga itu pun terjadi via serangan balik yang cepat. Rodri dan Fernandinho tertinggal jauh di belakang penyerang Chelsea. Meski begitu, Guardiola terus menyempurnakan formula tersebut.

Fase bertahan Manchester City. Silva cepat bergabung bertahan. Foto: Youtube Manchester City

Yang paling menonjol tentu saja memainkan Silva sebagai gelandang bertahan dengan Rodri. Apa yang dilakukan Guardiola tergolong jitu. Silva memang aktif membantu serangan. Namun, ia akan jadi pemain di luar bek yang turun untuk meredam serangan lawan.

Kecepatan Silva menutup ruang kosong di lini pertahanan menjadi nilai plus. Saat melawan Newcastle United, misalnya, Rodri kerap kalah cepat dari Silva untuk bertahan.

Jika merujuk dua laga tersebut, bukan tidak mungkin, Guardiola akan rutin memakai formasi 4-2-3-1. Toh, mereka clean sheet dan merangkum 11 gol dalam dua laga terakhir dengan format tersebut. Menang 7-0 atas Leeds dan 4-0 atas Newcastle.

Ah, Guardiola memang benar. Untuk melahirkan formula yang tepat sebagai jawaban, ia, dan barangkali sebagian dari kita, hanya membutuhkan waktu dan keberanian. Keberanian untuk mencoba. Jika gagal, asah dan coba lagi. Berulang hingga berhasil.

"Terkadang kamu membutuhkan lebih banyak waktu untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan.”