Frank Lampard, Sosok Tepat untuk Everton?

Foto: @Everton

Setelah melewati mimpi buruk di kursi pelatih Chelsea, Lampard akhirnya bersandar ke Everton. Pilihannya ada dua, reputasinya kembali terbangun atau justru gagal untuk kedua kalinya.

Everton akhirnya memilih Frank Lampard sebagai nakhoda dengan kontrak dua setengah tahun. Ini menjadikannya pelatih keenam sejak Farhad Moshiri mengakuisisi The Toffees pada 2016. 

Dari sini saja sudah terlihat amburadulnya rencana jangka panjang Everton. Bergonta-ganti pelatih nyaris setahun sekali, dengan nama-nama besar pula. Ronald Koeman, Sam Allardyce, Marco Silva, Carlo Ancelotti, dan Rafael Benitez yang semuanya mereka anggap gagal.

Untuk klub sekelas Everton, stabilitas, visi, dan kesabaran adalah fondasi. Ketiganya merupakan aspek demi membentuk kesuksesan jangka panjang. David Moyes pernah mencontohkannya dengan betul. Kendati tidak menghadirkan trofi, Everton di eranya adalah ancaman untuk klub-klub mapan. Finis posisi lima besar di Premier League menjadi kebiasaan. Mentas di kompetisi Eropa juga seperti kerutinan. 

Namun, lihat sekarang, Everton bukan lagi karang bagi tim-tim besar. Mereka tersangkut di peringkat 16 dan hanya terpaut 4 poin dari batas akhir zona degradasi. Pertanyannya, apakah Lampard sosok yang tepat untuk menyelamatkan Everton yang kusut ini?

“Frank adalah pemuda yang mengesankan di dalam dan di luar lapangan. Anda akan cepat nyambung dengannya karena dia memiliki rasa positif serta kepercayaan diri,” kata Moshiri kepada Evertontv.

Menurut Moshiri, Everton saat ini membutuhkan sosok yang bisa membentuk karakter sekaligus membangkitkan semangat juang para pemain. Mereka telah melalui start yang buruk selama awal musim, dan Lampard adalah piihan tepat untuk itu.

Sebagai pemain, Lampard adalah idola buat para pemuda Inggris. Belasan titel telah diraihnya dengan Chelsea, ditambah lagi dengan 106 caps bersama Timnas Inggris. Belum dengan berbagai penghargaan individu, salah satunya pemain terbaik Premier League edisi 2004.

Gamblangnya, Lampard adalah salah satu tolok ukur ideal seorang pemain sukses, dan para personel Everton akan mendapatkan arahannya secara langsung. Ini sama seperti kamu dilatih badminton oleh Taufik Hidayat atau diajari vokal langsung dari Kaka pentolan Slank. Kira-kira seperti itu gambarannya,

Yang jadi soal, pemain dan pelatih tidaklah sama. Sehebat-hebatnya pemain tak menjamin dia akan menjadi pelatih sukses. Dibutuhkan waktu dan pengalaman untuk itu. Sayangnya, Lampard belum menunjukkan kompetensinya di sana.

Pengalaman melatihnya dengan Derby County tak bisa dibilang cemerlang, meski tak jelek-jelek amat juga. Dia gagal membawa The Rams promosi ke Premier League setelah keok 1-2 dari Aston Villa di final play-off. Dari total 57 penampilan, Lampard hanya mampu mempersembahkan 26 kemenangan. Sementara 15 lainnya imbang dan 16 sisanya berujung kekalahan. 

Ketika Chelsea mengajaknya kembali, mestinya Lampard bisa memberikan tuah sekali lagi. Namun, yang ada hanyalah ironi. Dia didepak di tengah jalan. Di separuh musim 2020/21 itu Chelsea terseok di peringkat kesembilan. Keberhasilan Thomas Tuchel menggamit trofi Liga Champions makin membuat Lampard kerdil. Wong, skuadnya sama persis, tapi nasibnya beda jauh.

Kendati begitu, terlalu dini untuk melabeli Lampard sebagai pelatih gagal. Dia membutuhkan banyak pengalaman. Karier kepelatihannya baru dimulai pada 2018. Bandingkan dengan Tuchel yang sudah menangani tim muda Stuttgart dua dekade silam.

Bila ada satu hal yang bisa dibanggakan dari Lampard, itu adalah pengorbitan para pemain muda Chelsea. Sebagai pelatih, dia mampu mengintegrasikan Mason Mount, Reece James, Tammy Abraham, dan Fikayo Tomori ke tim utama.

Everton juga punya SDM muda potensial. Dynamnic duo yang masih menginjak 24 tahun, Dominic Calvert-Lewin dan Richarlison. Ditambah lagi dengan Tom Davies, Lewis Dobbin, Jarrad Branthwaite, Ellis Sims, dan Anthony Gordon. FYI, Gordon ini lagi bagus-bagusnya setelah sukses mengemas masing-masing 2 gol dan assist selama 4 laga ke belakang.

Lampard sudah menyiapkan rekan khusus dalam misinya ini, yakni Joe Edwards yang menyusulnya langsung dari Chelsea. Pria 35 tahun ini pernah menjabat sebagai kepala pengembangan tim muda dan menjadi asisten pelatih Lampard saat menukangi The Blues.

Ya, Edwards bukan orang sembarangan. Dia mafhum bagaimana caranya mengembangkan potensi pemain muda. Reece James saja sampai mengucapkan terima kasih sesaat setelah Chelsea melepasnya.

“Aku berharap yang terbaik untukmu. Kamu telah membantu saya dalam banyak hal positif sepanjang akademi hingga tim utama. Terima kasih,” tulis James dalam story di Instagram-nya.

Well, tugas Lampard di sini bukan hanya memotivasi para pemain. Tidak sekadar bercuap ala motivator acara Golden Ways. Dia kudu memperbaiki sistem permainan Everton yang kepalang sergut. Ada banyak PR yang harus diselesaikan Lampard bila mengacu performa Michael Keane dkk. selama era Benitez: Mulai dari pertahanan sampai sektor serangan.

Saking rapuhnya dalam bertahan, Everton menjadi tim dengan rasio gol per tembakan tertinggi di liga dengan 0,12. Koordinasi yang buruk menjadi pangkalnya. Nyatanya mereka 8 gol dari set-piece, tertinggi kelima di liga. Belum ditambah dengan sepasang gol bunuh diri. Untuk hal ini, Everton setara dengan Brentford, Manchester United, dan Norwich sebagai kolektor terbanyak.

Yang perlu dipahami, pertahanan kokoh bukanlah spesialisasi Lampard. Saat menangani Derby misalnya, timnya kemasukan 80 gol dari 57 pertandingan atau 1,4 bila dirata-rata per laga. Catatan itu tak berubah secara signifikan di Chelsea. Dari 19 pertandingan di musim lalu, pasukan Lampard kemasukan 23 gol (rata-rata 1,2 gol di tiap laga). Sebagai komparasi, Tuchel hanya kemasukan 13 gol pada sisa pertandingan di musim itu.

Skema serangan yang Lampard gunakan saat fase menyerang, terutama dengan mengandalkan dua full-back untuk maju, kerap meninggalkan lubang di area half-space dan sayap itu sendiri.

Dalam fase bertahan, Lampard cenderung intens melakukan pressing. Dari sini kita bisa melihat perubahan pakem dari 4-3-3 ke 4-4-2 atau 4-1-4-1. Namun, pressing bukanlah metode yang mudah. Sedikit saja lepas, pemain lawan bisa leluasa mengobok-obok pertahanannya, terlebih saat meladeni tim yang bermain direct.

Kekalahan 0-4 dari Manchester United di Premier League 2019/20 menjadi sampelnya. Lewat kecepatan Marcus Rashford dan Anthony Martial, United mengeksplotasi sisi half-space dan kedua sayap Chelsea.

[Baca Juga: Penyakit Everton]

Sementara untuk aspek ofensif, Everton mungkin bisa berharap lebih. Lampard terbiasa mengandalkan skema fluid dengan menjaga penguasaan bola. Di musim 2019/20 misalnya, Chelsea-nya mencatatkan rata-rata 16,4 tembakan per laga atau terbanyak kedua setelah Manchester City. Sementara persentase ball possession-nya menyentuh 57,9% (tertinggi ketiga).

Setidaknya pakem Lampard ini cocok dengan lini depan Everton yang anjlok. Sejauh ini mereka hanya melepaskan rerata 12,4 tembakan di tiap pertandingan. Untuk penguasaan bola pun tergolong rendah, cuma 40,5%. Hanya Burnley dan Newcastle yang mencatatkan lebih buruk dari itu.

Besar kemungkinan Lampard akan kembali menganut sistem dasar 4-3-3. Calvert-Lewin sebagai striker utama akan dibantu Richarlison dari sayap kiri. Kemampuan pentrasi serta ketajaman pemain Brasil ini memungkinkannya untuk meminkan free-role, sebagaimana yang diterapkan Lampard kepada Hakim Ziyech.

Yang menarik adalah potensi dari dua rekrutan anyar Everton, Dele Alli dan Donny van de Beek. Karakteristik permainan mereka cukup ideal buat Lampard. Alli mafhum betul bagaimana caranya memanfaatkan peluang dari lini kedua. Torehan 50 gol di Premier League medio 2015/16-2019/20 cukup menjawab itu.

Nantinya, Alli akan difungsikan sebagai salah satu gelandang ofensif dalam wadah 4-3-3. Tugasnya, ya, menginisiasi serangan dan memaksimalkan peluang sekaligus menjadi opsi umpan untuk full-back yang aktif menyerang.

Sementara Van de Beek diperlukan untuk keseimbangan area sentral. Di Ajax, pemuda 24 tahun ini menunjukkan aksi impresif sebagai pemain nomor enam. Van de Beek piawai dalam menjembatani sirkulasi bola dari belakang ke depan. Ini vital, mengingat karakter permainan Lampard yang mengandalkan build-up dari lini pertahanan.

Terlepas dari pengalaman buruk Lampard di kursi pelatih Chelsea, langkah Everton memilihnya ini bisa dibilang tepat. Kharisma dan pendekatannya kepada pemain muda menjadi dasar pertama. Ini juga bisa mengatrol morel personel The Toffees yang lagi anjlok-anjloknya. Alasan kedua, karena skuad Everton relatif cocok dengan gaya main Lampard.