Frenkie de Jong: Should He Stay or Should He Go?

Frenkie de Jong di Euro 2020. (Foto: 123rf/vitleo)

Satu setengah tahun sudah Frenkie de Jong berkostum Barcelona. Namun, penampilannya masih jauh dari memuaskan. Apakah sudah waktunya bagi De Jong untuk pergi?

Citra itu melekat begitu kuat pada diri Frenkie de Jong. Bagaimana dia memantulkan bola dengan dua kakinya, lalu membuat Luka Modric, peraih Ballon d'Or, tampak seperti seorang amatiran. Gerak tubuhnya begitu lentuk, bola pun dibuatnya tunduk. Malam itu, De Jong adalah pesepak bola terbaik dunia.

Sudah dua tahun lebih berlalu sejak Ajax mempermalukan Real Madrid dalam babak perempat final Liga Champions. Sebelum itu, Juventus juga sukses mereka kangkangi. Ajax tak sampai partai puncak musim itu tetapi siapa pun bakal mengakui kehebatan mereka.

De Jong sudah bukan pemain Ajax ketika dia memecundangi Modric dan pemain-pemain Real lain. Tidak sepenuhnya. Beberapa bulan sebelumnya, jelang penutupan bursa transfer musim dingin 2019, De Jong sudah ditebus Barcelona dengan nilai transfer 75 juta euro.

Perkara talenta, De Jong tak perlu diragukan. Dia memang sedikit "telat" ditemukan lantaran baru bergabung dengan Ajax saat berusia 18 tahun dari Willem II. Namun, dengan segera, pemuda kelahiran Gorinchem, Belanda, itu menunjukkan bahwa dia memang layak bermain untuk Ajax.

Apa yang ditampilkan De Jong di Liga Champions 2018/19 dulu adalah bukti tak terbantahkan. Dia punya segalanya sebagai pemain tengah. Dribel, umpan, kecepatan, kelincahan, bahkan kemampuan bertahan yang baik dimiliki olehnya. Tak heran bila banyak sekali yang kepincut dengannya.

Barcelona menjadi klub yang beruntung mendapatkan De Jong pada Januari 2019 itu. Akan tetapi, selama satu setengah tahun (De Jong masih bermain untuk Ajax sampai akhir musim 2018/19) di Barcelona, potensi De Jong seakan meredup. Malah, belakangan dia dirumorkan bakal angkat kaki.

Ada apa dengan De Jong di Barcelona? Lalu, apakah dia sebaiknya bertahan atau pergi?

Jurnalis Marti Perarnau, kepada Sport, mengatakan bahwa De Jong adalah korban ekspektasi yang salah. "Orang-orang mengira dia pergi dari suatu tempat dengan karakteristik tertentu dan datang ke tempat dengan karakteristik yang sama. Padahal, kenyataannya tidak demikian," ucap Perarnau.

Yang Perarnau tekankan di sini adalah bagaimana orang melihat Ajax dan Barcelona sebagai dua entitas kembar. Bagaimana orang menganggap Ajax dan Barcelona bermain dengan cara yang sama karena "memiliki filosofi serupa". Bagaimana kemurnian "teologi" Cruijffian masih terjaga sampai sekarang.

Faktanya, Johan Cruijff memang menularkan prinsip bermain kolektif ala Ajax ke Barcelona, pertama sebagai pemain lalu sebagai pelatih. Pada kedua era yang terpisah itu Cruijff meraih kesuksesan. Bahkan, ilmu Cruijff masih bisa disaksikan sampai ketika Josep Guardiola mengambil alih kemudi tim.

Akan tetapi, semua telah berubah. Ajax yang diperkuat De Jong tidak memainkan juego de posicion (permainan posisi) ala Guardiola yang terinspirasi dari Cruijff. Permainan Ajax di bawah Erik ten Hag lebih cair, lebih dinamis, dan lebih agresif dari itu.

Embed from Getty Images

De Jong berkembang pesat di lingkungan sepak bola seperti itu. Atribut yang dia miliki pas untuk memainkan sepak bola Ten Hag itu. Di atas kertas, De Jong ditempatkan sebagai seorang gelandang bertahan dalam formasi tiga pemain tengah. Akan tetapi, peran yang dilakoni De Jong tidak sama dengan Sergio Busquets di Barcelona.

Busquets adalah poros statis yang mendistribusikan bola lewat umpan-umpan pendek dan sentuhan-sentuhan lembut. Dia juga berperan sebagai pemutus serangan lawan lewat penempatan posisi yang ditunjang kekuatan fisik untuk berduel. Di Ajax, De Jong tidak bermain dengan cara demikian.

De Jong adalah pemain yang dinamis. Meski berposisi sebagai gelandang bertahan, tak jarang dia menjadi katalis permainan lewat dribel-dribel yang dia lakukan, termasuk kala mengadali Modric. Dengan kata lain, De Jong sebetulnya lebih cocok dilabeli sebagai libero, alih-alih gelandang bertahan.

Ketika tiba di Barcelona, sebetulnya tidak ada tempat untuk De Jong. Pos gelandang bertahan sampai sekarang masih menjadi milik Busquets. De Jong yang dimainkan sebagai gelandang tengah di Barcelona pun tidak mendapatkan tim yang bermain sesuai dengan karakteristiknya.

Bukan rahasia lagi bahwa Barcelona sedang tidak baik-baik saja. Mereka terjebak dalam nostalgia masa lalu dan tidak mampu beradaptasi. Juego de posicion ala Guardiola di Barcelona sudah dihancurkan bertahun-tahun silam oleh Bayern Muenchen yang kuat dan cepat tetapi, entah bagaimana, Blaugrana tetap mendambakan itu.

Guardiola sendiri masih menerapkan juego de posicion di Manchester City. Akan tetapi, dia tidak naif. Dia tidak alergi pada perubahan. Dia turut mengimplementasikan hal-hal yang membuat sebuah tim bisa berjaya di era terkini. Hasilnya, City tidak cuma mengandalkan kemampuan olah bola dan permutasi pemain, tetapi juga kecepatan serta kekuatan.

Hal itulah yang belum bisa dilihat oleh Barcelona. Itulah mengapa mereka terus-menerus mencari pelatih yang dianggap mampu mereplikasi sepak bola Guardiola di akhir 2000-an dan awal 2010-an. Padahal, sepak bola terus berevolusi dan, mesti diakui, mencari Guardiola baru adalah misi (nyaris) mustahil.

De Jong datang di tengah krisis. Krisis moneter, krisis identitas, krisis kepercayaan, krisis prestasi, dan krisis-krisis lain. Limpungnya Barcelona berimbas pada perkembangan De Jong sebagai seorang pemain. Bagaimana bisa dia berkembang kalau timnya saja tidak mengerti harus bermain seperti apa?

Lalu datanglah Xavi Hernandez, sosok yang dipandang sebagai Guardiola baru. Sebetulnya, ide Xavi jelas. Setidaknya begitu jika cuplikan gol Al-Sadd, tim asuhannya di Qatar, bisa jadi pedoman. Namun, hingga kini pun Xavi masih belum bisa menerapkan itu di Barcelona. Laiknya Koeman, dia masih doyan bongkar pasang pemain, bahkan utak atik formasi.

Apakah De Jong bisa berkembang di bawah Xavi? Ya, mungkin saja bisa. Namun, ini adalah perjudian yang barangkali tidak perlu dilakukan oleh si pemain. Di usia yang ke-24, De Jong bukan lagi pemain muda, tetapi dia masih perlu tuntutan dan sistem yang tepat untuk mencapai kemampuan terbaik.

Maka, ada baiknya De Jong segera angkat kaki dari Barcelona. Liverpool bisa jadi pilihan yang bagus untuknya, begitu pula Manchester United. Kedua klub dilatih oleh sosok yang sangat mengedepankan vertical football. Vertical football sendiri adalah sepak bola yang menitikberatkan pada progresi, baik dalam pergerakan maupun umpan.

De Jong cocok untuk sepak bola seperti itu karena itulah yang dulu didapatkannya di Ajax bersama Ten Hag. Pertanyaannya sekarang, bersediakah klub-klub yang cocok dengan gaya main De Jong itu menyelamatkannya dari Barcelona?