Gairah Christophe Galtier

Christophe Galtier saat merayakan keberhasilan Lille menjuarai Ligue 1 2020/21. Foto: @losclille_tr

Empat musim terlalu lama bagi Galtier untuk mengarsiteki Lille. Ia membutuhkan pelabuhan baru untuk tetap bergairah. Nice adalah perjalanan Galtier selanjutnya.

Begitu peluit tanda berakhirnya laga pamungkas Ligue 1 2020/21 antara Angers vs Lille, Christophe Galtier mengepalkan tangan sambil tertunduk. Tidak ada sorak-sorai. Ia berjalan santai memeluk asisten pelatih dan mengunjungi bench lawan.

Saat Burak Yilmaz berlari-lari dengan bendera Turki melingkar di lehernya, Galtier masih sibuk bersalaman dengan wasit. Galtier mulai berjalan ke lapangan ketika Jose Fonte berteriak-teriak kegirangan dan meloncat-loncat.

Sambil mengepalkan tangan tinggi-tinggi, Galtier bersorak-sorai kepada pemain yang sedang merayakan titel Ligue 1 untuk kali pertama sejak 2010/11. Pria 55 tahun itu mengecup kening pemain satu per satu. Sangat hangat.

Galtier menghampiri wartawan yang sudah siap dengan alat rekam dan kamera. Senyum Galtier merekah. Ia kemudian mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Berteriak sekecang-kencangnya.

Setelah perayaan yang tertangkap kamera beIN SPORTS tersebut, Galtier berkata:

"Fu*k this is incredible."

Lille menutup musim 2020/21 dengan menakjubkan. Semua terperangah. Tidak terkecuali Galtier sendiri. Merebut Ligue 1 dari Paris Saint-Germain bukan hal mudah. PSG berisikan pemain-pemain kelas dunia dengan harga selangit. Berbanding terbalik dengan Lille yang selalu membumi soal transfer pemain.

Konsistensi, keseimbangan, dan motivasi yang meletup-letup menjadi faktor utama keberhasilan Lille. Menurut Galtier, ada satu sosok yang punya peran krusial atas keberhasilan Lille. Sosok tersebut bernama Luis Campos.

Campos, kata Galtier, orang yang cerdas soal rekrut-merekrut pemain. Campos bisa membangun Lille dari sebaik-baiknya meski memiliki banyak keterbatasan, terutama soal duit. Keberadaan Yilmaz dan Jonathan David hanya sebagian bukti dari kecerdasan Campos.

"Luis Campos adalah arsitek tim ini," kata Galtier dilansir Get Football News France. "Sedangkan saya, 99 persen fokus di lapangan, manajemen skuat, dan sesi latihan. Sebelumnya, saya selalu tersesat dalam merekrut pemain. Itu bukan keahlian saya," imbuhnya.

Namun, gegap gempita pesta Lille tidak berlangsung lama. Dua hari setelah mengangkat trofi Ligue 1, Galtier pergi. Ada banyak rumor soal kepergian Galtier. Salah satunya, ia tidak sepemikiran dengan presiden anyar Lille, Olivier Létang.

Dalam wawancara eksklusif dengan L'Équipe, Galtier berbicara banyak soal masa depannya. Pertama-tama, ia sudah berniat pergi dari Lille jauh-jauh hari. Ia akan tetap meninggalkan Lille meski tidak juara. Alasannya, empat musim terlalu lama baginya untuk mengarsiteki satu klub. Ia tak ingin menjalani hal yang itu-itu saja. Membosankan dan buat tak bergairah.

Secara eksplisit, Galtier berkata bahwa ia membutuhkan pelabuhan baru untuk menjaga gairah hidup. Tidak lama setelah mengumumkan hengkang, ada tiga klub yang dirumorkan ingin mendatangkan Galtier, yakni OCG Nice, Lyon, dan Napoli. Setelah berdiskusi dan bertemu banyak pihak, Galtier mengambil keputusan besar.

"Orang-orang dekat saya mengatakan hal-hal seperti ini: Apakah kamu siap untuk pergi ke Nice? Kenapa tidak pergi ke klub lain?"

Telinga Galtier tidak menyambut baik kata-kata itu. Ia tetap memilih Nice untuk perjalanan selanjutnya.

***

Galtier adalah juru taktik yang selalu menekankan keseimbangan. Transisi dari bertahan ke menyerang maupun sebaliknya harus berjalan dengan sebaik-baiknya.

Sepanjang musim 2020/21, Galtier mengusung formasi 4-4-2. Dua gelandang tengah berperan penting untuk menginisiasi serangan maupun tembok pertama pertahanan. Ia memercayakan posisi tersebut kepada Benjamin Andre dan Boubakary Soumare.

Saat membangun serangan dari belakang, Soumare akan bergerak mendekat bek tengah maupun bek sayap yang memegang bola untuk menjadi opsi umpan dan membuka ruang. Soumare mahir menggugurkan tekanan lawan dengan kemampuan dribel yang apik. 

Setelah itu, Soumare akan menyodorkan umpan kepada Andre yang bertugas membantu serangan di sepertiga akhir. Ada dua hal yang Andre lakukan untuk meneror pertahanan lawan, yakni mengirim umpan atau melesakkan bola dari jarak jauh.

Sepanjang musim 2020/21, Andre mencatatkan 1,2 umpan kunci per laga. Jumlah itu terbanyak ketiga setelah Yusuf Yazici dan Jonathan Bamba. Ia juga merangkum 1 tembakan per 90 menit.

Galtier hanya menginstruksikan bek kanan untuk menyerang. Sedangkan bek kiri akan berdiri sejajar dengan dua bek tengah. Di depannya, ada Soumare yang bersiaga. Itu dilakukan untuk mengadang serangan balik lawan.

Oh, ya, saat bertahan, Galtier akan tetap memakai pakem 4-4-2. Dua penyerang mereka dilibatkan dalam bertahan dan berada di area permainan sendiri. Sedangkan, empat bek dan empat pemain tengah bersiap di sekitar kotak penalti.

Pemain Lille berusaha menekan lawan untuk mengalirkan bola ke sisi lapangan, entah kanan maupun kiri. Hal itu dilakukan supaya lawan mengakhiri serangan via umpan-umpan silang.

Selain Jose Fonte dan Sven Botman yang jago berduel udara, Lille punya Mike Maigan yang mahir mengamankan umpan-umpan silang lawan. Dengan skema tersebut, pertahanan Lille kokoh dan sulit ditembus. Predikat klub paling sedikit kebobolan, yakni 23 kali, sepanjang Ligue 1 2020/21 menjadi buktinya.

Bersama Nice, Galtier mengadopsi skema tersebut. Sebelum memenangi dua laga dan satu kali imbang di Ligue 1 2021/22, termasuk melibas Lille empat gol tanpa balas, Galtier lebih dulu memperkuat semua lini dengan merekrut pemain-pemain baru.

Aktivitas transfer Nice di bawah kepelatihan Galtier memperlihatkan ambisi mereka untuk bersaing di papan atas. Dua gelandang tengah langsung Nice datangkan, yaitu Pablo Rosario dan Mario Lemina.

Mengacu Whoscored, Rosario tangguh dalam berduel, piawai mengirim umpan, dan mampu membaca permainan lawan. Kemampuan bertahan pria 24 tahun itu tergolong mumpuni. Saat memperkuat PSV Eindhoven musim lalu, ia merangkum 2 tekel dan 1,8 intersep per laga.

Catatan musim ini pun sungguh mengesankan. Meski baru berlaga tiga kali, Rosario sudah melakukan 9 tekel sukses. Sedangkan akurasi umpan Rosario mencapai 86,6 persen dengan rata-rata 52,3 umpan per laga.

Kemampuan Lemina tidak jauh berbeda dengan Rosario. Mereka sama-sama tangkas menghentikan lawan dan mampu menginisiasi serangan melalui umpan-umpan panjang. Tinggal bagaimana Rosario-Lemina saling memahami untuk menggalang kekuatan di lini tengah Nice.

Untuk mempertajam lini depan, Nice mendatangkan Justin Kluivert dari AS Roma dengan status pinjaman. Dalam tiga laga Nice di Ligue 1, Kluivert berposisi sebagai pemain sayap kiri. Kepiawaian Kluivert dalam menggiring bola diharapkan menambah daya ledak serangan Nice.

Jika melihat performa sejauh ini, harapan tersebut tentu saja akan terwujud. Kluivert telah merangkum 1 asis dan 1 gol. Selain itu, ia dapat menjadi pelayan yang baik untuk dua striker Nice. Dan itu ia jawab dengan rata-rata 1 umpan kunci per laga.

Di lini belakang, Nice merekrut Jean-Clair Todibo dari Barcelona. Pria 21 tahun itu akan menjadi tandem Dante. Kedatangan Todibo seperti mengonfirmasi kegemaran Galtier menduetkan pemain muda dengan pemain berpengalaman. Ya, Dante sudah berusia 37 tahun.

Saat mengarsiteki Lille, Galtier mengandalkan Fonte dan Botman. Kedua pemain itu terpaut 16 tahun. Fonte berusia 37 tahun dan Botman berusia 21 tahun. Sama persis dengan Todibo dan Dante.

Berbicara kemampuan, mengacu Whoscored, Todibo punya kemampuan mengumpan dengan baik. Ia juga memiliki konsentrasi yang bagus untuk menghentikan serangan lawan. Sedangkan Dante, jago berduel.

Selain itu, Nice juga mendatangkan Calvin Stengs dari AZ Alkmaar, Andy Delort dari Montpellier, Melvin Bard dari Lyon, dan penjaga gawang PSG, Marcin Bulka.

Meski begitu, Nice akan sulit untuk menjadi saingan terberat PSG merengkuh trofi Ligue 1 2021/22. Apalagi, ambisi PSG untuk merengkuh banyak trofi musim ini meletup-letup. Itu terlihat dari aktivitas transfer pemain musim panas. Selain Lionel Messi, PSG menggaet Sergio Ramos, Gini Wijnaldum, Gianluigi Donnarumma, dan Achraf Hakimi.

Pemain baru yang datang, tentu saja termasuk Messi, tidak hanya bertudung nama besar, tetapi juga sarat akan pengalaman. Mereka di antaranya pernah menjadi kampiun Piala Dunia, Piala Eropa, Premier League, Serie A, La Liga, dan Liga Champions.

Kans Galtier untuk membuat keajaiban dinilai semakin mengecil. Tapi, itu tidak membuat gairah Galtier meredup. Ia masih berambisi besar. 

"Sepak bola sangat unik, Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi," kata Galtier kepada L'Équipe.