Gary Neville, Aaron Wan-Bissaka, dan Hikayat Full-Back Man United

Foto: Wikimedia Commons.

Gary Neville adalah full-back kanan terbaik terakhir yang pernah dimiliki Manchester United. Selepas ia pensiun, pencarian akan sosok full-back kanan yang bisa diandalkan masih terus berlanjut.

Gary Neville datang ke akademi Manchester United dengan modal pas-pasan. Dia tidak terlalu tinggi, tidak juga punya teknik mumpuni. Satu-satunya modal Neville hanyalah dia bocah asli sekitar Manchester.

Neville lahir di Bury, kota kecil di barat laut Manchester dan masih termasuk ke dalam kawasan Greater Manchester. Tak banyak yang bisa kau temukan di Bury, kecuali pasar terbuka dan beberapa review jelek di internet. Namun, kalau kau menyukai suasana kota kecil dengan beberapa pub dan bangunan kuno, barangkali Bury tidak buruk-buruk amat.

Lahir dari keluarga atlet —bapaknya pemain kriket, ibunya pemain netball—, Neville awalnya memilih kriket. Kabarnya, ia atlet kriket yang cukup berbakat. Namun, pada usia 16 tahun, Neville memilih untuk mendedikasikan hidupnya kepada sepak bola.

Ia lantas mengulang masa-masa awalnya di akademi United pada sebuah wawancara di ‘The Class of ’92’. Begitu mengingatnya, ia sedikit terkekeh. Bukan apa-apa, melihat teman-temannya yang lain punya berkah berupa teknik dan skill yang bikin berdecak kagum, rasanya ia ingin langsung pulang kampung ke Bury saja.

Sudah begitu, kariernya di United justru berawal dari kecelakaan. Kata Jamie Carragher, tidak ada bocah di mana pun yang secara sadar bercita-cita bakal menjadi full-back kalau sudah besar. Mereka yang menjadi full-back biasanya adalah winger atau bek tengah yang gagal.

“Tidak ada bocah yang bercita-cita menjadi Gary Neville,” ujar Carragher. Apes, karena Neville adalah seorang full-back kanan.

Neville membenarkan ucapan Carragher. Aslinya, dia memang bek tengah. Namun, karena dianggap cukup pendek untuk ukuran bek tengah, ia terpaksa beralih posisi. Seperti pariah yang urung berkutik dari gulatan nasib, Neville menerima putusan tersebut dengan tabah.

“Satu inci saja lebih tinggi, dia bisa jadi bek tengah terbaik di Britania. Ayahnya tinggi, kok, 6 kaki 2 inci —coba nanti aku cek tukang susunya,” kata pelatihnya di United, Alex Ferguson, setengah berkelakar.

Neville emoh meratap. Sadar bahwa kemampuan teknisnya biasa-biasa saja, ia menambalnya dengan kerja keras. Satu-satunya yang ia miliki dan bawa dari Bury adalah etos dan antusiasmenya terhadap sepak bola. Modal yang kecil, memang, tetapi buat Neville itu lebih dari cukup.

Ada sebuah anekdot dari masa-masa awal Neville menghuni skuad utama United. Pada suatu sore, Lee Sharpe, Bryan Robson, dan Steve Bruce sedang bersiap untuk bersenang-senang usai melakoni latihan di The Cliff, tempat pemusatan latihan lama United. Ketika hendak meninggalkan gym, mereka mendengar suara seperti sebuah benda dibenturkan berulang-ulang ke tembok dengan keras sekali.

Begitu melihat dengan seksama, mereka menyaksikan Neville berdiri di sudut sembari membentur-benturkan bola ke tembok. Waktu itu, ia sedang melatih lemparan ke dalamnya berulang kali. Absurd, tapi memang begitulah Neville.

Rekan-rekan seangkatannya menyebut dia dengan berbagai macam label, mulai dari robot, training freak (gila latihan) sampai boring Neville (Neville yang membosankan). Pokoknya, bagi mereka, Neville adalah orang yang lurus, enggan bersenang-senang, dan maunya latihan melulu.

Segala olok-olok dan pengorbanan menambah waktu latihan itu akhirnya mendapatkan ganjaran sepadan. Ketika bek kanan reguler United, Paul Parker, cedera pada musim 1994/95, Ferguson tidak punya pilihan selain berpaling kepada Neville. Musim itu, Neville tampil 18 kali dan ketika Parker pulih dari cedera, ia menemukan bahwa posisinya di starting XI tim sudah lenyap.

Olah bola Neville memang tidak istimewa. Meski beroperasi di tepi lapangan, ia tidak bisa melepas umpan secantik David Beckham atau menggiring bola seluwes Ryan Giggs. Untuk menggantinya, Neville mengasah tekelnya menjadi sekeras mungkin serta mendedikasikan agresivitas dan kegigihannya untuk naik-turun, menyisir sisi lapangan, demi membantu serangan dan pertahanan.

Foto: Twitter @ManUtdSnapshot

Namun, jangan anggap bahwa cuma itu saja yang ia pertontonkan di tiap pertandingan. Neville juga paham bahwa seorang full-back mesti memiliki penempatan posisi yang tepat. Dan beruntunglah dia karena kemampuannya dalam membaca arah pertandingan dan positioning-nya cukup terasah semasa menjadi bek tengah.

Neville mengabdi selama 19 musim, dengan dua musim perdananya sebagai pelapis yang taat. Pada tahun baru 2011, ketika United menang 2-1 atas West Bromwich Albion di The Hawthorns, Neville merenung sendirian di dalam toilet pada saat turun minum. Merasa sudah tidak mampu lagi menghadapi pemain-pemain yang jauh lebih muda dan giras, ia menerima nasib sekali lagi: Waktunya sebagai pemain sudah habis.

***

Pasca-pensiunnya Neville, United mencoba berulang-ulang mencari bek kanan yang konsisten dan reliable (dapat diandalkan). Namun, reliability (kemampuan untuk bisa diandalkan) rupanya adalah hal yang cukup mewah pada sepak bola modern. Padahal, untuk menjadi pemain bertahan yang cakap —entah sebagai bek atau penjaga gawang— reliability adalah salah satu boks yang perlu mendapatkan tanda centang.

Dari si kembar Rafael dan Fabio da Silva, United kemudian beralih kepada Antonio Valencia. Pemain asal Ekuador tersebut mendedikasikan 10 musim kariernya sebagai pemain untuk Manchester United dengan lima setengah musim di antaranya sebagai bek kanan.

Yang acap orang-orang lupa (atau mungkin petinggi-petinggi United lupakan) adalah Valencia merupakan bek kanan dadakan. Posisi aslinya adalah winger. Ketika dia bertahan sebagai bek kanan selama bermusim-musim artinya ada sebuah problem yang mereka alpa untuk perbaiki.

Baru pada 2019, tidak lama setelah Valencia pergi meninggalkan klub, United mendatangkan bek kanan sungguhan. Namanya Aaron Wan-Bissaka. Sama seperti Neville, dia tidak tumbuh dengan bermain sebagai full-back, melainkan sebagai winger. Sekali lagi, candaan Jamie Carragher terbukti.

Meski begitu, Wan-Bissaka menunjukkan bahwa dirinya punya bakat alami untuk menjadi seorang bek. Mantan rekannya di Crystal Palace, Wilfried Zaha, mengakui bahwa berduel satu lawan satu dengan Wan-Bissaka di sesi latihan cukup bikin frustrasi. Dan hal itulah yang kemudian membuat Wan-Bissaka terkenal: Bek kanan dengan kemampuan satu lawan satu paling mumpuni.

Satu hal lain yang membuat Wan-Bissaka menonjol adalah kemampuannya dalam melakukan tekel bersih. Per catatan WhoScored, dia melakukan rata-rata 3,1 tekel per laga, plus 1,3 intersep per laga. Catatannya dalam melakukan aksi defensif memang layak mendapatkan aplaus.

Namun, full-back adalah posisi yang tricky. Ia mengharuskan siapa pun yang bermain di posisinya untuk memiliki atribut komplet: Kokoh dalam bertahan sekaligus tangkas dan cekatan untuk membantu serangan. Untuk memilikinya, seorang full-back yang bagus tidak hanya diwajibkan memiliki kecerdasan, tetapi juga stamina yang seolah tak habis-habis.

Itu saja baru berbicara dari sisi umum. Ketika kita membedah lagi dan membaginya ke dalam dua bagian, yakni ketika bertahan dan menyerang, ada sejumlah hal lagi yang mesti menjadi perhatian.

Ketika bertahan, misalnya, seorang full-back mesti paham bahwa ada dua area yang mesti ia jaga, yakni outside (sisi terluar) dan inside (sisi terdalam, area antara diri mereka dengan bek tengah). Ia mesti paham mana area yang mesti dipertahankan lebih dulu, outside atau inside. Tanpa pembacaan permainan dan positioning yang baik, seorang full-back bakal kerepotan mempertahankannya.

Itu pun baru ketika menghadapi aksi dribel. Lantas, bagaimana bila menghadapi situasi ketika lawan melepaskan umpan dari sisi yang berlawanan —dan umpan tersebut di arahkan ke sisi terjauh? Seorang full-back mesti paham area mana yang harus ia cover, area dalam untuk mem-beking bek tengah atau mewaspadai area terluar, kalau-kalau ada pemain-pemain sayap masuk dari blind-side untuk menyambut umpan tersebut.

Wan-Bissaka, menurut sejumlah pakar, masih harus mengasah diri untuk menghadapi umpan dari sisi yang berlawanan. Pada beberapa kesempatan, ia salah menempatkan diri sehingga area terluar menjadi kosong.

Sementara, untuk urusan membantu aksi ofensif tim, Wan-Bissaka perlahan-lahan mulai belajar. Assist-nya kepada Anthony Martial ketika United mengalahkan Aston Villa 2-1, Sabtu (2/1/2021) dini hari WIB, memperlihatkan bahwa starting point posisinya tak perlu melulu merapat ke garis tepi. Sesekali, ketika area dalam atau half-space kosong, ia bisa mengokupasinya.

Selain itu, kemampuannya dalam memberikan umpan kunci (umpan yang jadi peluang) juga masih perlu diperbaiki. Mengingat taktik sepak bola modern cukup bergantung kepada full-back untuk menopang aspek ofensif seperti assist dan umpan kunci, mau tak mau Wan-Bissaka juga mesti tunduk.

Per catatan Understat, umpan kunci per 90 menit Wan-Bissaka hanya mencapai angka 0,50 musim ini. Sementara pada musim perdananya, ia mengoleksi rata-rata 0,73 umpan kunci per 90 menit. Bandingkan dengan, katakanlah, Trent Alexander-Arnold yang mampu membuat 2,43 umpan kunci per 90 menit pada musim lalu dan 1,81 umpan kunci per 90 menit musim ini.

Wajar kalau kemudian rumor bahwa United mengincar Max Aarons (Norwich City) menyeruak. Per musim ini, Aarons mampu membuat 1,3 umpan kunci per laga. Kendati tidak piawai dalam melakukan tekel, Aarons unggul pada beberapa aspek lainnya seperti dribel, penempatan posisi, dan kemampuan melepaskan umpan.

Apabila kehadiran Alex Telles di sisi kiri dianggap telah memberikan persaingan yang cukup baik untuk Luke Shaw —sehingga performanya musim ini dinilai membaik—, boleh jadi menghadirkan kompetisi untuk pos bek kanan bisa memberikan impak serupa untuk Wan-Bissaka.