Gerardo Seoane, Patrik Schick, dan Upaya Menghapus 'Neverkusen'

Foto: bayer04.de.

Terlalu dini bicara soal upaya menghapus julukan 'Neverkusen'. Namun, Bayer Leverkusen musim ini punya peluang lebih besar untuk melakukan hal tersebut ketimbang beberapa musim terakhir.

Meski para pemain Bayer Leverkusen kesulitan memahami dialek Swiss-nya, Gerardo Seoane tak membutuhkan waktu lama untuk menerapkan semua taktiknya. Paruh pertama Bundesliga 2021–22 belum usai, tetapi Leverkusen dan Seoane terlihat sudah saling mengerti.

Skor 4–0 atas Arminia Bielefeld jadi torehan spesial terkini Seoane sejak menangani Leverkusen. Secara keseluruhan, tim asuhannya itu sudah meraih lima kemenangan, sekali imbang, dan cuma sekali kalah. Dengan 16 poin, mereka kini duduk di urutan kedua di bawah Bayern Muenchen.

Sebelum menangani Leverkusen, Seoane adalah juru taktik Young Boys. Kala itu ia menggantikan Adi Huetter, seorang pelatih yang amat dihormati para penggemar klub asal Bern tersebut. Tadinya cuma klub lelucon di Swiss, Huetter berhasil mengubahnya menjadi kekuatan menakutkan.

Resep Huetter sederhana. Ia membawa semua yang diajarkan Ralf Rangnick: Sepak bola yang proaktif, cepat, vertikal, dan bukan tiki-taka. Dengan pendekatan seperti itu ia mempersembahkan juara Liga Swiss 2017–18. Kali terakhir Young Boys meraihnya adalah pada 1986.

Lantas ketika Huetter menerima tawaran Eintrach Frankfurt, para penggemar dan petinggi gusar. Namun, Seoane yang jadi penggantinya menjanjikan satu hal: Ia akan meneruskan tinta biru pelatih sebelumnya. Lagi pula, kiprahnya di Luzern menunjukkan bahwa Seoane cukup mirip dengan Huetter.

Foto: bayer04.de

Seoane kerap menerapkan pendekatan bermainnya lewat skema dasar 4–4–2 klasik dan 4–4–2 diamond. Meski begitu, apapun skemanya, kunci utamanya terletak dari respons mereka sesaat setelah merebut penguasaan bola. Tiap kali bola berhasil direbut, Young Boys akan langsung melancarkan tekanan.

Dengan cara itu Seoane meraih catatan yang bahkan lebih mengilap ketimbang Huetter. Jika sosok yang kini melatih Gladbach itu meraih gelar liga pada musim ketiganya, Seoane langsung meraihnya pada musim perdana. Ia bahkan mencapainya tiga kali sebelum akhirnya menuju Leverkusen.

Di Leverkusen, Seoane membawa pendekatan bermain serupa. Yang jadi pembeda adalah skema bermainnya yang kini berupa 4–2–3–1. Terlepas dari itu, seperti sebelumnya, Seoane akan selalu mengedepankan pressing yang intens dan ketat serta pola bermain yang vertikal.

Tiap kali lawan menguasai bola, para pemain Leverkusen akan langsung melakukan pressing ketat. Setidaknya ada dua pola. Selain memaksa lawan bergerak ke tepi guna mempersempit ruang, mereka melakukan pressing supaya pemain lawan hanya melakukan operan di area lapangan sendiri.

Meski demikian, tujuannya tetap satu: Merebut penguasaan bola secepat mungkin. Dari situ, Leverkusen akan langsung melancarkan serangan secara direct, memanfaatkan celah di pertahanan lawan yang belum terorganisir sepenuhnya karena baru saja kehilangan bola.

Tak mengejutkan jika akhirnya Leverkusen menjadi tim dengan persentase pressing sukses tertinggi keempat (33,7 persen) di Bundesliga musim ini setelah Borussia Dortmund, Bayern Muenchen, dan RB Leipzig — kebetulan pelatih tiga tim ini punya pola bermain yang sama dengan Seoane.

Ada sejumlah hal yang biasanya menjadi kunci berhasilnya pendekatan bermain Seoane. Salah satunya berkaitan dengan keberadaan penyerang. Dalam skema bermainnya, penyerang wajib menjadi benteng pertahanan pertama tim, yang dalam hal ini adalah Patrik Schick.

Bahwa Schick mampu menjalankannya dengan amat baik, itu terjadi karena karakter pekerja keras yang sudah ia tanamkan sejak dulu. Di sisi lain, Schick amat mengenal peran tersebut karena pernah mengembannya saat masih dilatih Julian Nagelsmann di RB Leipzig.

Namun, Schick tak cuma soal kerja keras. Pemain asal Republik Ceko itu juga spesial berkat kemampuannya dalam mengambil keputusan dengan tepat dan cepat. Ia tak butuh waktu lama untuk memantulkan bola, melepaskan sepakan, atau sekadar bergerak mencari ruang.

Kamu bisa menyimak lagi gol spektakulernya ke gawang Skotlandia di Euro 2020 beberapa waktu lalu. Kurang dari lima detik setelah pemain Skotlandia kehilangan bola, Schick melepaskan sepakan berbuah gol. Yang luar biasa, sepakan itu ia lakukan dari tengah lapangan.

Legenda Inggris, Alan Shearer, menyebut gol itu sebagai “Kombinasi yang sempurna antara timing, teknik, kepercayaan diri, dan peluang. Luar biasa sekaligus menawan.”

Musim ini, beberapa kali hal serupa ia pertontonkan. Kamu bisa melihatnya dari sebagian besar gol Schick yang berupa sentuhan pertama. Bisa pula lewat caranya membuka ruang saat Leverkusen melancarkan serangan. Gol kedua Leverkusen ke gawang Dortmund merangkum semuanya.

Tepat setelah Florian Wirtz menerima bola di tengah lapangan, Schick membuka ruang ke sisi kiri pemain 18 tahun itu. Wirtz lantas melepaskan sodoran ke arah Schick yang tak terkawal. Tanpa melakukan kontrol terlebih dahulu, nama terakhir langsung mengonversinya menjadi gol.

Dengan cara tersebut, sudah enam gol yang berhasil Schick torehkan untuk Leverkusen di Bundesliga musim ini. Ia hanya tertinggal satu angka di belakang Robert Lewandowski dan Erling Haaland yang sama-sama sudah membukukan tujuh gol.

Upaya Menghapus Neverkusen

Pada 2001–02, Leverkusen punya peluang merengkuh tiga trofi sekaligus. Mereka unggul lima poin atas Borussia Dortmund di puncak klasemen ketika Bundesliga tersisa tiga laga saja. Di DFB-Pokal dan Liga Champions, mereka berhasil melaju ke babak final.

Dalam dua pekan, kegemilangan mereka berubah menjadi kesialan. Posisi mereka di Bundesliga disalip Dortmund lewat keunggulan satu angka. Pada dua kompetisi lain, Leverkusen juga mesti menyerahkan gelar kepada tim lain usai dihajar Schalke dan Real Madrid.

Tragedi itu melengkapi kisah memilukan yang sudah mendera Leverkusen sejak 1996–97. Hingga 2002, empat kali mereka finis di urutan kedua Bundesliga, tepatnya pada 1996–97, 1998–99, 1999–00, 2001–02. Atas dasar itulah nama mereka diplesetkan menjadi ‘Neverkusen’.

Tentu saja terlalu dini menyebut Leverkusen bisa menghapus plesetan sekaligus ejekan memilukan tersebut. Namun, performa musim ini menunjukkan bahwa mereka punya peluang lebih besar untuk melakukannya ketimbang beberapa musim terakhir.

Terlebih, mereka punya skuat yang cukup mumpuni, terutama di lini serang. Ada Florian Wirtz yang jadi pusat serangan, Moussa Diaby yang menyisir dari sisi sayap, lalu ada Schick sebagai juru gedor di lini terdepan. Kemampuan mereka kian termaksimalkan sebab berada dalam sistem Gerardo Seoane.

Jika sudah begini, yang perlu mereka lakukan berikutnya adalah mengusung ambisi setinggi langit, sebagaimana yang diungkapkan Diaby beberapa waktu lalu. 

"Segalanya mungkin. Kami sudah bekerja keras setiap hari dan terus berkembang. Jadi tentu saja memenangkan liga musim ini adalah sebuah kemungkinan--mengapa tidak? Kami harus ambisius," tuturnya.