Gravitasi Fred dan McTominay

Foto: Twitter @fred08oficial.

Fred dan Scott McTominay boleh jadi bukan pemain top dunia. Mereka acapkali mendapatkan cibiran. Namun, di tangan Ole Gunnar Solskjaer, mereka berfungsi dengan baik.

Ketika Chris Martin menggubah ‘Gravity’ pada 2004, ia tidak menyangka bahwa lagu tersebut tidak akan berakhir sebagai milik Coldplay. Alih-alih menjadi salah satu ballad terbaik yang pernah Coldplay miliki, lagu itu malah menjadi kepunyaan Embrace.

Martin, dan ketiga personel Coldplay lainnya, masih mendapatkan kredit atas ‘Gravity’. Namun, hanya sebatas itu saja. Begitu Martin merasa bahwa lagu bikinannya itu terdengar lebih cocok untuk Embrace, seketika itu pula ia memberikannya kepada Danny McNamara, sobatnya sekaligus frontman Embrace.

Di tangan McNamara, ‘Gravity’ berubah menjadi ballad yang lebih mudah diterima di telinga dan radio friendly karena struktur lagu dan temponya yang lebih sederhana. Ia pun langsung disebut-sebut sebagai lagu terbaik yang pernah dibawakan Embrace.

Ketika Coldplay merilis versi mereka pada 2005, sebagai b-sides dari single ‘Talk’, bisa dimengerti mengapa Martin lebih memilih memberikannya kepada Embrace: Versi Coldplay terdengar lebih melankolis dengan tempo lebih lambat dan karakter vokal yang diseret-seret —membuatnya lebih sulit untuk dicerna.

***

Jose Mourinho tidak puas dengan era kepelatihannya di Old Trafford. Meski menyumbangkan beberapa trofi, Mourinho baru-baru ini mengatakan bahwa semestinya ia mendapatkan waktu lebih untuk membangun tim.

Dua setengah musim menukangi Manchester United, tidak semua pemain yang ia inginkan langsung ia dapatkan. Kabarnya, sejumlah pemain yang ia dapatkan adalah target keenam atau ketujuh, bukan pertama atau kedua.

Frederico Rodrigues de Paula Santos alias Fred juga tidak berbeda. Didatangkan dari Shakhtar Donetsk dengan biaya transfer yang tidak murah —47 juta poundsterling (sekitar Rp 885 miliar)—, Fred bukanlah pemain idaman Mourinho. Oleh karena itu, amat jarang pria asal Brasil tersebut tampil bagus di bawah arahan The Special One.

Fred era Mourinho adalah ayam yang bermain tanpa kepala. Tak sekadar bingung ke mana ia mesti bergerak (atau mendistribusikan bola), tetapi seringkali pula ia terlihat kerepotan ketika mendapatkan pressing dari lawan. Singkat kata, bukan hanya bermain tanpa arah, tetapi juga ia mudah panik.

Sekarang, bayangkan seperti apa keadaan lini tengahmu ketika pemain yang mendapatkan tugas melindungi back-four adalah pemain yang mudah panik. Wajar kalau kemudian Fred menjadi salah satu pesakitan pada era Mourinho.

Ketika Ole Gunnar Solskjaer datang, ia bertindak sebagai Danny McNamara untuk sebuah lagu yang belum selesai. Begitu mewarisi jabatan dari Mourinho, pria asal Norwegia tersebut mendefinisikan ulang bagaimana Fred semestinya bekerja di lini tengah. Persis seperti yang McNamara lakukan pada 'Gravity'.

Di Shakhtar, Fred bermain dalam formasi 4-2-3-1 yang amat fluid. Artinya, ia mendapatkan kebebasan untuk tidak sekadar melindungi baris pertahanan, tetapi juga ikut bergerak membantu serangan dan menggiring bola selama mungkin.

Sayangnya, begitu pindah ke Premier League, cara bermainnya justru menjadi petaka. Akibat terlalu lama menggiring bola atau menahan bola, Fred justru kebingungan. Soslskjaer, yang gaya bermainnya lebih direct, lantas menata Fred untuk melakukan peran berbeda.

Oleh Solskjaer, Fred mendapatkan dua tugas. Pertama, untuk melindungi lini pertahanan seraya menjadi gelandang perebut bola di lini tengah; kedua, ketika kesempatan memungkinkan, dia diberi kebebasan untuk merangsek ke depan untuk membantu distribusi bola.

Fred melakukan tugas pertama dengan baik. WhoScored mencatat, gelandang berusia 27 tahun itu rata-rata melakukan 2,6 tekel sukses, 1,1 intersep, dan 0,5 clearance per laga (dari 735 menit bermain di Premier League musim ini).

Catatan lain dari Kickest juga menunjukkan bahwa Fred cukup cakap pada defensive action lainnya: Ball recoveries. Setidaknya sudah 75 kali ia melakukan ball recovery musim ini, di United catatan tersebut hanya kalah dari Harry Maguire (77) yang bermain sebagai bek tengah.

Ketika tugas utama sebagai “tukang bersih-bersih” itu sudah selesai, barulah Fred bisa fokus pada tugas keduanya: Membantu distribusi bola ke lini depan, entah lewat dribel (ketika memang ada space) atau via operan.

Solskjaer paham, Fred termasuk pemain yang gemar menahan bola lama-lama. Oleh karena itu, lewat sebuah pernyataan yang diunggah di Coaches Voice, eks pelatih Molde FK itu mengatakan bahwa ia hanya mengizinkan Fred menyentuh bola satu atau dua kali sebelum akhirnya melepaskan operan.

Cara itu membuat Fred lebih mudah menghindari pressing lawan plus sejalan dengan gaya United-nya Solskjaer, yakni transisi cepat dari bertahan ke menyerang. Wajar, kalau kemudian Fred pada akhirnya menjadi pemain penting buat Solskjaer. Ia memang bukan gelandang kelas wahid, tetapi kemampuannya berfungsi maksimal di bawah Solskjaer.

Well, tentu saja tidak semua atribut Fred layak mendapatkan aplaus. Pada beberapa kesempatan, ia cukup sering bertindak gegabah ketika bertahan. Siapa bisa lupa kartu merah (via dua kali kartu kuning) yang ia terima pada laga melawan Paris Saint-Germain?

***

“And then I looked up at the sky and saw the sun

And the way that gravity pulls on everyone…”

Michael Cox, lewat tulisan yang ia buat di The Athletic, menggarisbawahi dua hal ketika United sukses menundukkan Leeds United 6-2 di Old Trafford, Minggu (20/12/2020). Yang pertama adalah kemampuan pemain-pemain United berlari dari second line dan yang kedua adalah decoy.

Solskjaer paham bahwa Leeds punya dua ciri, yakni bermain dengan pressing ketat dan menjaga pemain lawan lewat man-to-man marking. Pelatih Leeds, Marcelo Bielsa, mengidentifikasi United sebagai tim yang punya serangan balik mematikan. Oleh karena itu, Bielsa menawarkan antidot yang cukup radikal: Melakukan pressing lebih ketat lagi supaya pemain-pemain yang menjadi pangkal serangan balik United tak berkutik.

Sebagai pelatih, Solskjaer cukup reaktif. Inilah mengapa ia bisa berulang kali mematikan tim-tim yang notabene setara atau lebih kuat. Leeds yang kebetulan tidak mengenal plan b, adalah makanan empuk Solskjaer.

United boleh kalah ball possession pada laga tersebut, tetapi Solskjaer berhasil mengontrol laga (baca: Membuat pertandingan berjalan ke arah yang ia inginkan).

Sadar bahwa pemain-pemain Leeds melakukan man-to-man marking, Solskjaer menginstruksikan pemain-pemain depan United —dalam hal ini Anthony Martial dan Bruno Fernandes— untuk menarik para pemain bertahan keluar dari posisi asli mereka. Mereka bertindak sebagai decoy. Dengan begitu, ruang akan tercipta dengan sendirinya di lini belakang Leeds.

Leeds sebetulnya bisa saja mengantisipasi taktik United tersebut dengan pressing ketat. Namun, United nyatanya bisa lepas dari pressing tersebut. Imbasnya, gol demi gol masuk ke gawang Illan Meslier.

Dua gol pertama United, yang sama-sama dicetak oleh Scott McTominay, adalah contohnya. Lihat bagaimana gelandang Timnas Skotlandia itu dengan leluasa merangsek dari second line tanpa terkawal dengan baik.

McTominay, menurut Mourinho dan Solskjaer, adalah gelandang dengan teknik mumpuni. Selain kokoh dan punya fisik bagus, ia juga punya teknik menendang bola yang bagus —maklum, ia pernah bermain sebagai striker. Oleh karena itu, sebagai gelandang, ia punya kemampuan yang relatif komplet; selain punya determinasi dan punya kemauan berduel, yang memungkinkannya melakukan aksi defensif, ia juga bisa merangsek naik untuk membantu serangan.

Malam itu, McTominay bisa melakukan tugasnya dengan baik karena ada Fred yang menjadi pelapisnya. Imbasnya, ia leluasa naik atau mengalirkan operan ke lini depan karena lini tengah dan lini belakang Leeds meninggalkan banyak ruang.

Gravitasi Bruno dan juga Martial, yang menarik banyak pemain Leeds keluar dari posisinya, bekerja dengan baik. Namun, jangan lupakan juga kerja-kerja Fred dan McTominay. Tanpa kehadiran keduanya, jangan harap ada terobosan serangan dari second line.

Malam itu, merekalah yang menjadi pusat dan gravitasi ‘Iblis Merah’ yang sesungguhnya.