Hamburg Kalah

Foto: FC St. Pauli

Musim depan, Hamburg nyaris punya perwakilan di Bundesliga. Sayangnya, St. Pauli melorot di akhir-akhir musim 2. Bundesliga dan HSV kalah di laga play-off dari Hertha.

Hamburg terlalu besar untuk tak punya wakil di Bundesliga.

Ini adalah kota terbesar kedua di Jerman. Jika Bremen, Bielefeld, Stuttgart, Mainz, atau Leipzig yang lebih kecil saja bisa mentas, Hamburg sudah sepatutnya punya perwakilan. Banyak hal dari kota ini yang memukau, dan sepak bola, harusnya, jadi salah satu di antaranya.

Hamburg, sebagai kota, sebenarnya punya segala hal: Taman yang indah, kawasan prostitusi yang masyhur, bangunan tua dan modern yang ikonik, perpustakaan-perpustakaan megah, sampai pelabuhan yang amat besar. Bahkan untuk urusan sepak bola, Hamburg sampai punya dua klub ternama: HSV dan St. Pauli.

Hamburger dan Hamburgerin, begitu orang-orang Hamburg disebut, bisa memilih. Sejarah mengatakan bahwa mereka yang beraliran kanan, konservatif, dan berasal dari kalangan menengah ke atas biasanya akan mendukung HSV. Sementara mereka yang beraliran kiri, progresif, para kelas pekerja yang bermental underdog, akan mendukung St. Pauli.

Di situasi yang makin modern, pilihan memang bisa lebih cair. Tak melulu soal politik. Yang jelas, HSV dan St. Pauli masih menawarkan perbedaan. Dalam kasus kepemilikan, HSV adalah tipe klub modern Eropa saat ini. Mereka amat bergantung pada investor (Kuehne Holding AG yang dipimpin taipan Klaus-Michael Kuehne dan CaLeJo GmbH yang dipimpin Thomas Wuestefeld jadi yang terdepan). Sementara St. Pauli 100% dimiliki oleh para member. Independen.

Dua kandang kedua tim juga menawarkan atmosfer berbeda. Saya memang datang ke kandang keduanya ketika tak ada pertandingan, tapi itu sudah cukup untuk melihat adanya perbedaan atmosfer. Volkparkstadion, yang berada di sisi barat Hamburg, menawarkan kemegahan sebagaimana ciri stadion besar Eropa. Di luarnya terdapat banyak orang berolahraga. Saat melihat ke dalam, Anda juga akan dibuat takjub. Modern sekali.

Millerntor, kandang St. Pauli, menawarkan kesahajaan. Tembok dipenuhi dengan mural atau grafiti bernada kritis dan, saat saya datang, di luar stadion terdapat beberapa suporter yang mengenakan atribut klub sedang berkumpul sambil minum-minum. St. Pauli memang terletak di pusat, tetapi tak ada eksklusivitas di sini. Klub ini terbuka buat siapa saja.

St. Pauli memang terbuka pada siapa saja. Klub ini terkenal dengan kampanye anti-rasismenya. Tak peduli warna kulit, orientasi seksual, dan latar belakang apa pun, semua diterima di sini. HSV, sementara itu, lebih kental sebagai representasi orang-orang asli Hamburg--bahwa biru-hitam-putih adalah warna mereka.

Jika berbicara musim ini, sebenarnya kedua klub memiliki persamaan. Mereka sama-sama gagal atau, jika ingin memperhalus bahasanya, sama-sama nyaris promosi ke Bundesliga.

St. Pauli memulai musim dengan sangat baik. Mereka selalu di atas. Di pekan 27, atau saat 2. Bundesliga menyisakan tujuh laga lagi, St. Pauli dengan gagah berdiri di puncak klasemen. Mengangkangi klub-klub jagoan macam Werder Bremen dan Schalke. Asa membumbung tinggi. Namun, inkonsistensi yang mereka alami sepanjang April membuat posisi merosot.

Sepanjang April, St. Pauli tak pernah menang. Mereka tak bisa menang atas Sandhausen atau Hansa Rostock yang, secara klasemen, berada di bawah mereka. St. Pauli pun akhirnya hanya bisa menghabiskan musim di posisi lima klasemen, terpaut tiga poin dari zona play-off promosi.

HSV agak beruntung. Mereka menang mengawali musim dengan sangat inkonsisten, tetapi lima kemenangan beruntun di akhir musim mampu membawa pasukan Tim Walter finis di urutan ketiga. Mereka mengumpulkan 60 poin dan unggul selisih gol atas Darmstadt. Mereka pun melenggang ke laga play-off.

Di leg pertama, harapan melambung tinggi saat HSV membawa pulang kemenangan 1-0 dari Berlin. Nahas, di leg kedua, Hertha Berlin mampu membalikkan keadaan, unggul 2-0 berkat gol Dedryck Boyata dan Marvin Plattenhard. HSV kalah 1-2 dan mereka harus merasakan 2. Bundesliga untuk kelima musim beruntun.

Hamburg sebenarnya sudah sangat berharap. Saya ingat bagaimana semangat para pendukung St. Pauli membuncah saat mereka menjamu Werder Bremen di Millerntor pada awal April lalu. Optimisme hadir di wajah mereka. Saya juga ingat bagaimana di pekan-pekan sebelum laga terakhir 2. Bundesliga, orang-orang mencari tiket St. Pauli dan rela membayar lebih dari 1000 euro untuk itu. Sebab mungkin itu akan jadi laga bersejarah.

Di kubu sebelah, saya ingat bagaimana suporter HSV merayakan kemenangan atas Hanover di laga kandang terakhir mereka musim ini. Di Altona, di Landungsbruecken, para suporter bernyanyi-nyanyi merayakan kemenangan. Saya ingat akhir pekan itu, warna biru mewarnai Hamburg.

Tiket laga play-off langsung ludes tak lama setelah dibuka. Saya ingat saya membuka situs tiket HSV beberapa belas menit dari jadwal penjualan bebas (bukan untuk member) dan saya sudah tidak menemukan satu pun tiket. Di hari pertandingan, stasiun-stasiun kereta dalam kota menyiarkan skor pertandingan. Warga Hamburg tak hanya melihat berapa lama waktu kereta akan tiba, tetapi juga berapa skor HSV vs Hertha di waktu tersebut.

Hamburg siap untuk naik ke level teratas. Namun, semesta kembali mengatakan tidak. St. Pauli terpeleset di akhir-akhir, HSV tak mampu mempertahankan keunggulan leg pertama dan tak kuasa lepas dari tekanan Hertha di leg kedua. Kota ini harus puas bertarung di level kedua lagi buat musim 2022/23 besok.

Buat HSV, situasi tambah menyedihkan karena Werder Bremen, salah satu rival tradisional mereka di utara Jerman, berhasil promosi ke Bundesliga. Kendati sempat terseok-seok di awal, Werder mampu bangkit di paruh kedua dan mengunci posisi dua di 2. Bundesliga. HSV tertinggal lagi kali ini.

***

Hamburg, kata seorang teman yang sudah bertahun-tahun tinggal di sini, adalah kota yang sangat terbuka. Pada apa pun, pada siapa pun. Dan saya rasa, belakangan ini, mereka amat terbuka dalam menerima kekalahan.

HSV memang masih jadi salah satu klub terbesar di Jerman dengan sejarah panjang dan member yang begitu banyak. St. Pauli juga masih jadi salah satu klub paling populer dan paling disukai di Jerman. Ideologi mereka masih berdiri teguh. Namun, dalam perkara di lapangan, perlu diakui bahwa keduanya belum banyak dinaungi keberuntungan.

Hamburg (harus) menerima itu. Selepas kekalahan HSV dari Hertha di Volkparkstadion tadi malam, langit Hamburg turun hujan. Mungkin itu adalah bentuk dari penerimaan, setelah kekecewaan dalam urusan sepak bola sudah jadi santapan berulang.