Hidup seperti Julian Nagelsmann

Foto: Vitalii Vitleo - Shutterstock.

Julian Nagelsmann terbiasa mendengar kabar buruk dan situasi tidak normal. Pengalaman itu membukakan jalannya sebagai pelatih di Bundesliga.

Pada hari ketika kariernya dinyatakan mati secara medis, Julian Nagelsmann mencari kehidupan baru sebagai pelatih Bundesliga.

Legenda Manchester United, Roy Keane, tahu betul apa yang membuat Sir Alex Ferguson berjaya. Sir Alex selalu berhasrat untuk memegang kendali. Ia tak mau melepas apa yang berharga dari tangannya. Baginya, Manchester United-lah yang paling berharga. Untuk itu, dia tega menendang siapa pun yang dianggap bisa membuatnya kehilangan kendali. 

Sir Alex bahkan bernafsu mengendalikan nasib dari pinggir lapangan. Ketika Fergie Time dimulai, siapa pun yang ada di pertandingan itu dipaksa masuk ke dalam dimensi waktu yang diciptakan Sir Alex. Sepak bola hafal betul apa yang terjadi setelahnya.

Hairdryer treatment, amukan di hadapan para jurnalis, dan tangan besi; semua adalah cara Sir Alex untuk memastikan United tidak jatuh ke tangan orang lain. Dialah yang memugar Old Trafford ketika tempat itu baru diangkat kembali dari puing-puing. Dialah yang membuat langit Manchester hampir selalu berwarna merah selama dua dekade lebih. 

Saat Sir Alex memutuskan untuk pensiun, sepak bola tercenung dan bergumam, “Akhirnya hari ini datang juga.”  

Nagelsmann bukan pelatih seperti Sir Alex. Ia tidak ngotot untuk dapat menggenggam segala sesuatu.

Ketimbang mendikte para pemain, ia lebih suka membiarkan timnya memilih siapa yang pantas menjadi kapten. Daripada meneriaki para pemainnya macam-macam, ia mengajak anak-anak asuhnya melihat lebih dalam.

Nagelsmann memakai footbonaut untuk memaksimalkan latihan sentuhan dan kontrol bola serta drone untuk merekam gerakan pasukannya saat berlatih. Teknologi itu semakin komplet karena Nagelsmann memasang dinding video raksasa di garis tengah lapangan latihan utama tim.

Sistem ini bekerja dengan empat kamera, dua dari menara tinggi di atas garis tengah dan satu di belakang setiap gawang. Para pelatih bisa menghentikan, memundurkan, atau mempercepat rekaman agar para pemain bisa ikut mengamati.

Dengan begini, para pemain tidak dipaksa untuk mendengar dan dijejali dengan pengamatan pelatih, tetapi diberi kesempatan untuk melihat sendiri apa yang mereka buat saat berlatih.

****

Nagelsmann datang ke ranah kepelatihan sebagai anak bau kencur. Pada usia 28 tahun, ia ditunjuk sebagai pelatih kepala tim utama TSG 1899 Hoffenheim. Penunjukan itu tak hanya membuat publik terkejut, tetapi juga mencibir dan menertawakannya. Menurut mereka, manajemen Hoffenheim hanya cari sensasi di ambang degradasi.

Kalau bicara sensasi, sebetulnya Nagelsmann pernah menciptakannya ketika melatih tim junior Hoffenheim. Ia mengantar Hoffenheim U-19 juara pada musim 2013/14. Anak-anak asuhnya menghajar Hannover 96 dengan skor telak 5-0 di partai final.

Ketika cibiran dan tuduhan menghantamnya dan timnya, Nagelsmann tetap santai dan kalem. Ia sadar bahwa orang-orang mengetahui usianya baru 28 tahun. Usia begitu normal bagi para pemain, tetapi tidak untuk para pelatih. Nagelsmann masih kelewat muda dan tak punya pengalaman apa pun. Kariernya sebagai pemain pun pendek sehingga tanda tanya kian besar.

Yang mungkin tidak diketahui orang-orang adalah Nagelsmann terbiasa menghadapi kabar buruk dan situasi tak biasa. 

Ketika remaja, ia kerap bergelut dengan gangguan punggung genetiknya. Belum tuntas masalah itu, Nagelsmann dipaksa untuk menelan prognosis dokter Augsburg, klubnya saat itu. Cedera lutut membuat Nagelsmann harus naik turun meja operasi. Demi keselamatan Nagelsmann dan kesehatan keuangan klub, dokter menyarankannya untuk pensiun sebagai pemain.

Petir di siang bolong tambah menjadi-jadi karena beberapa waktu setelah hari paling memuakkan itu, Nagelsmann mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal. Yang membikin hari-harinya tambah pelik adalah sang ayah meninggal sebelum mengetahui Nagelsmann tidak akan bisa lagi berkarier sebagai pesepak bola. 

Rangkaian kejadian buruk yang menimpanya membuat Nagelsmann sadar bahwa hidup begitu penting dan singkat. Nagelsmann tak punya waktu untuk mencari sensasi atau meladeni bacot orang banyak. Mulai dari sana, ia hanya melakukan apa-apa yang berarti untuknya. 

Pemikiran seperti itu turut mendewasakan Nagelsmann. Teman-teman akrabnya melihat Nagelsmann lebih cepat dewasa daripada orang-orang di sekitarnya karena terbiasa mengemban tanggung jawab sejak muda.

Atas nama tanggung jawab, mengamuk di ruang ganti dan memaki para pemain saat tertinggal atau kalah seharusnya dapat dibenarkan. Meski di ambang degradasi, Hoffenheim tidak mengangkat Nagelsmann sebagai pelatih tanpa bayaran.

Nagelsmann memalingkan wajah dari pilihan untuk tampil sebagai pelatih bengis. Bukan karena usianya yang muda, tetapi karena ia tahu berlaga di zona degradasi itu sama dengan turun arena sambil menenteng-nenteng neraka sendiri. 

Nagelsmann pernah ada dalam situasi yang membuat tenggorokannya tersekat. Pengalaman itu membuatnya belajar untuk meletakkan kakinya di dalam sepatu orang lain. Alih-alih menjadi diktator, Nagelsmann meminta timnya untuk berhenti mengejar kemenangan dan mulai kembali bermain sepak bola. 

Permintaan itu mengangkat beban tim. Menghadapi peristiwa buruk dengan santai ternyata bisa membuat kaki bergerak lebih leluasa dan kepala berpikir jernih. Hoffenheim membaik dalam laga demi laga. Pada akhirnya, mereka menutup Bundesliga 2015/16 di posisi 15, tepat di atas zona degradasi.

Jangan buru-buru berpikir bahwa Hoffenheim terseok-seok pada musim berikutnya. Mereka menjadi cerita baru karena menuntaskan Bundesliga 2016/17 di peringkat keempat. Satu slot berlaga di Liga Europa walau tak mampu menembus fase gugur bukan perkara yang buruk-buruk amat bagi tim yang semusim sebelumnya hanya berjarak sepelemparan batu dari degradasi.

Dampak positif Nagelsmann bukan gertakan kosong. Hoffenheim memperbaiki prestasinya dengan duduk di peringkat ketiga klasemen akhir Bundesliga 2017/18. Hasil positif dalam dua musim beruntun melambungkan nama Nagelsmann. Dalam sekejap, anak muda yang satu ini malah diperebutkan beberapa klub besar.

Hoffenheim dan--sekarang Leipzig--bukan klub sebesar Bayern Muenchen atau Borussia Dortmund. Keduanya bahkan dimusuhi karena dianggap merusak sepak bola Jerman. 

Namun, Hoffenheim dan Leipzig sama-sama dikendalikan oleh dua raksasa industri. Jika Hoffenheim ditopang oleh SAP AG, perusahaan milik Dietmar Hopp yang bergerak di bidang penjualan piranti lunak, Leipzig disokong oleh perusahaan minuman energi asal Austria, Red Bull. Maka bukan tak mungkin Hoffenheim dan Leipzig menjadi pusaran ego orang-orang berduit dan berkuasa di kedua perusahaan tersebut.

Itu belum ditambah dengan ego para pemain. Bagi para penggemar, menyaksikan Willi Orban, Christopher Nkunku, Angelino, Dani Olmo, Peter Gulacsi, dan Yussuf Poulsen berlaga dalam satu tim yang sama adalah perkara menyenangkan.

Namun, kondisi itu bisa menjadi malapetaka bagi para pelatih. Jika salah satu pemain tidak bisa mengendalikan ego dan memaksakan diri untuk menjadi pahlawan tanpa mau bekerja sama, talenta dan nama besar akan menjadi senjata makan tuan.

Dalam usianya yang masih 33 tahun, Nagelsmann ternyata sanggup mendamaikan ego para pemain. Ia tahu persis bagaimana meniadakan status pemain bintang dan pembuat onar. 

Meski dikenal sebagai pelatih melek teknologi di Bundesliga, ia tetap memakai cara oldschool jika harus membicarakan sesuatu kepada para pemainnya. Alih-alih menyampaikannya di depan umum, Nagelsmann yang jenaka itu memilih untuk membicarakannya secara empat mata. 

Tak perlu ada orang lain yang mengetahui pembicaraan mereka. Tak perlu ada komentar lain yang mengintervensi. Yang dilakukan Nagelsmann adalah memberikan waktunya dan mendengar pemainnya.

Angelino, beknya di Leipzig, juga pernah berkata, “Ketika ada yang harus dibicarakan, ia akan meminta waktu untuk bicara berdua dan memaparkan semuanya dengan sikap bersahabat. Dengan cara itulah ia mendongkrak karier saya.” 

****

Menerima pinangan tim seperti Hoffenheim dan Leipzig mungkin tidak akan seprestisius menyambut tawaran Manchester United atau Borussia Dortmund. Namun, status Hoffenheim dan Leipzig sebagai klub berkembang memberikan keleluasaan kepada Nagelsmann untuk membangun sistemnya sendiri.

Leipzig mulai kembali dipandang sebagai ancaman pada masa kepemimpinan Ralf Rangnick dan Ralph Hasenhuettl. Bermain dengan sistem 4-4-2 dan diperkuat oleh talenta brilian seperti Timo Werner, Naby Keita, Davie Selke, serta Diego Demme, Poulsen, Emil Forsberg, dan Marcel Halstenberg, Leipzig identik dengan performa mematikan dan menghibur sekaligus.

Ketika bertahan, mereka menumpuk pemain di tengah demi memaksa pemain lawan mengoper ke sayap. Begitu bola tiba di sayap, pemain lawan ditekan dengan ketat sampai kehilangan bola.

Saat menyerang, Leipzig menusuk lini pertahanan lawan secara vertikal lewat tengah. Saking cepatnya tusukan ini, tak jarang mereka menerapkan permainan satu dua sentuhan saja.

Taktik itu bekerja dengan brilian karena memberikan Leipzig kemenangan dan identitas sekaligus. Akan tetapi, Nagelsmann tidak mau Leipzig berkubang dalam sistem itu melulu. 

Sistem sebagus apa pun bisa usang jika menolak relevan terhadap zaman. Itulah sebabnya Nagelsmann mengutak-atik sistem tersebut menjadi taktik yang pas untuk Leipzig yang sekarang.

Kamu bisa membaca pembahasan mendalam tentang taktik Leipzig di tulisan "RB Leipzig: Biar Plastik yang Penting Menghibur".

Nagelsmann mewujudkan perubahan itu dengan membentuk Leipzig sebagai tim yang (akhirnya) menggunakan wingback. Sistem ini membuat penguasaan di sisi sayap lebih diperhatikan. Cara ini juga dipakai untuk melengkapi skema serangan vertikal Leipzig.

****
Nagelsmann tidak tahu dengan pasti berapa banyak cibiran untuknya yang berubah menjadi pujian. Bahkan bukan mustahil cibiran yang diterimanya kini bertambah banyak. 

Kalaupun tahu, itu tak bakal menjadi masalah besar. Nagelsmann akan menghadapinya dengan cara persis seperti ketika ia menghabiskan masa remaja bersama dua kawan baiknya: Mengendarai mobil bak terbuka sambil menyanyikan lagu-lagu Westlife dengan lantang. 

Jika dulu Nagelsmann tak peduli dengan suara sumbangnya, kini ia tak peduli dengan suara sumbang orang lain.