Hormat Saya kepada Sepak Bola

Wahyu Tri Nugroho. (Desain: Arif Prawira Utama)

Sepak bola sudah memberi banyak hal bagi saya. Itulah mengapa, saya sangat menghormati sepak bola. Saya berharap, rasa hormat ini dimiliki juga oleh para pemain muda, terutama yang berasal dari Solo dan sekitarnya.

Minggu lalu, saya sudah bercerita soal perjalanan karier dari kecil sampai akhirnya promosi ke Liga 1 bersama Persiba Bantul. Namun, seperti yang sudah saya ceritakan juga, kami promosi di waktu yang salah ketika itu. Sebab, situasi persepakbolaan Indonesia sedang tidak kondusif.

Mungkin teman-teman masih ingat, ya, situasi waktu itu. Bagaimana kita waktu itu punya dua liga sepak bola. Indonesia Premier League (IPL) awalnya muncul sebagai liga sempalan Indonesia Super League (ISL) tapi akhirnya justru jadi liga resmi. Semua klub Indonesia waktu itu diminta untuk memilih antara dua itu.

Persiba Bantul sendiri memilih untuk ikut IPL yang merupakan liga resmi PSSI. Ada Persijap Jepara juga di sana, tapi pada akhirnya kompetisi ini tidak selesai. Walau begitu, berkompetisi di IPL ini memberikan berkat bagi saya. Akhirnya, saya bisa memperkuat Timnas Indonesia senior.

Di level junior, seperti yang sudah saya ceritakan minggu lalu, saya sudah banyak makan asam garam. Sejak masih jadi remaja tanggung, saya sudah membawa nama Indonesia di kancah antarnegara. Tapi, baru tahun 2012 saya berkesempatan membela Merah-Putih di level senior, tepatnya di Piala AFF 2012.

Tidak semua pemain terbaik Indonesia ikut serta di Piala AFF 2012 itu, tapi di skuad sebenarnya ada banyak pemain berkelas. Ada Bambang Pamungkas, Elie Aiboy, Samsul Arif, Kim Jeffrey Kurniawan, Irfan Bachdim, Raphael Maitimo... Sayangnya, waktu itu kami kalah lawan Malaysia di pertandingan terakhir sehingga tidak lolos ke fase gugur. Sebelumnya, kami ditahan imbang Laos dan menang lawan Singapura. Lawan Malaysia itu partai hidup mati buat kami dan kami akhirnya kalah.

Saat itu, kami sadar bahwa situasi sepak bola Indonesia sedang tidak kondusif, tapi di dalam tim sendiri semuanya baik-baik saja. Dalam pikiran kami, kami cuma fokus bermain untuk negara. Kami cuma ingin menjaga nama baik negara. Ibaratnya, kami ini anak panah yang ditembakkan oleh negara dan kami harus siap.

Waktu itu, pemain-pemain senior dan pelatih Nil Maizar selalu menekankan itu. Kami diminta untuk tidak memikirkan apa yang terjadi di luar lapangan. "Soal itu sudah ada yang ngurus," kata mereka. Jadi, fokus kami adalah bermain sebaik-baiknya. Apalagi, sebenarnya animo suporter masih cukup tinggi. Saya ingat sekali banyaknya suporter Indonesia di Stadion Bukit Jalil.

Setelah selesai memperkuat Indonesia di Piala AFF, saya pulang ke Bantul. Akan tetapi, situasinya waktu itu sudah tidak lagi sama. Kondisi keuangan klub mulai megap-megap dan sempat terancam tidak bisa ikut kompetisi IPL 2013. Akhirnya Persiba tetap bisa ikut kompetisi. Waktu itu, PSSI sudah berniat menyatukan kembali kompetisi. Empat tim teratas IPL musim itu bisa bermain di ISL jika lolos verifikasi.

Persiba akhirnya lolos ke ISL bersama Semen Padang, Persijap, dan PSM Makassar. Waktu itu cuma Semen Padang yang berhak lolos otomatis karena mereka adalah juaranya. Persiba dan tim-tim lain harus ikut playoff dan verifikasi untuk bisa lolos ke ISL musim 2014.

Sayangnya, Persiba tidak bisa berbuat banyak di ISL 2014. Kompetisi waktu itu digelar dua wilayah dan kami masuk Wilayah Timur. Dari 20 pertandingan, kami cuma menang satu kali dan mengakhiri musim sebagai juru kunci Wilayah Timur. Persiba pun akhirnya terdegradasi ke Divisi Utama.

Sebelum kompetisi musim 2015 dimulai, PSSI mendapat hukuman dari FIFA karena ada intervensi pemerintah waktu itu. Akhirnya, karena federasi dibekukan, kompetisi juga tidak jalan. Kurang lebih setahun waktu itu saya tidak bermain sepak bola. Kerjaan saya waktu itu cuma jalan-jalan, piknik-piknik, menikmati hidup, hehehe.

Tapi, ya, namanya juga pesepak bola, saya pasti kangen bermain. Tahun 2016, mendekati detik-detik akhir pendaftaran pemain, saya dapat telepon dari Bhayangkara Surabaya United. Mereka perlu kiper. Nama saya direkomendasikan oleh Slamet Nurcahyo, teman saya dari Persiba Bantul yang pernah bermain untuk mereka.

Dalam pikiran saya waktu itu, saya sudah vakum satu tahun dari sepak bola. Saya cuma ingin kembali ke sepak bola. Saya ingin mengembalikan nama saya. Namanya pemain, kalau tidak bermain 'kan pasti tenggelam namanya. Jadi, di pikiran saya waktu itu bagaimana caranya bisa main sepak bola lagi.

Kebetulan, waktu itu konflik di Surabaya United sudah mulai mereda. Demo-demo mulai jarang dilakukan karena waktu itu sudah ganti nama juga, tidak pakai nama Persebaya lagi. Sepertinya, waktu itu Polda Jatim mulai ambil saham juga, makanya mulai ada nama Bhayangkara. Situasi sudah enak waktu itu dan saya mulai memperkuat mereka di kompetisi Tora Bika Soccer Championship.

Karena lama tidak bermain, semangat saya sangat membara. Kami berhasil finis di posisi empat kalau tidak salah. Sudah begitu, saya juga terpilih menjadi kiper terbaik di kompetisi itu. Mungkin karena saya waktu itu membuat banyak penyelamatan. Nah, setelah itu, klub ini pindah ke Jakarta dan akhirnya jadi Bhayangkara FC.

Tahun 2018, Bhayangkara FC berhasil jadi juara Liga 1. Waktu itu, klub sudah sepenuhnya jadi milik Polri. Pengurusnya Pak Marji namanya, dari Jawa Timur. Jadi, saya cukup lama juga di Bhayangkara FC dan mereka punya jasa besar sekali buat karier saya.

Saat memperkuat Bhayangkara FC, saya sempat harus menjalani operasi lutut. Saya mengalami cedera PCL, jadi ligamen saya sobek dan biasanya penyembuhannya bisa sampai delapan bulan. Kalau ada cedera seperti ini, seringnya kontrak pemain diputus oleh manajemen. Tapi, di Bhayangkara FC ini tidak. Saya tetap dipertahankan dan dirawat sampai sembuh.

Makanya, saya sampai sekarang tetap punya hubungan baik dengan Bhayangkara FC. Kalau mereka tidak bantu, mungkin saya sudah selesai sampai di situ. Ya, mungkin masih bisa main tapi biasa-biasa saja. Tapi, karena mereka rawat saya dengan baik, saya bisa kembali lagi ke performa terbaik.

Nah, akhir tahun 2020 kemarin, tiba-tiba ada kabar Bhayangkara FC pindah homebase ke Solo. Ini waktu saham Persis belum dibeli sama Mas Kaesang cs. Saya waktu itu masih di Jakarta, tiba-tiba ada info di grup: Besok kita pindah ke Solo. Saya kaget terus terang karena sebelumnya tidak ada omongan apa-apa. Kaget sekaligus senang, karena biar bagaimana juga saya rindu bermain di Manahan.

Sewaktu perkenalan tim Bhayangkara FC di Manahan, saya merasakan deja vu. "Wah, dulu saya pernah main di sini, tapi bukan sama Bhayangkara," kata saya dalam hati. Waktu itu banyak wartawan yang bertanya bagaimana perasaan saya kembali ke Solo tapi tidak bersama Persis.

Saya jawab, "Ini rasanya seperti mimpi. Saya bisa kembali ke Solo tapi bukan sama Persis. Saya tidak menyangka bisa kembali ke Solo secepat ini."

Akan tetapi, saya belum sempat membela Bhayangkara FC di Solo. Sebelum kompetisi dimulai kembali, saham Persis Solo dibeli oleh Mas Kaesang cs. Akhirnya, saya dipulangkan. Saya dipinjam dari Bhayangkara FC. Akhirnya, Bhayangkara FC bilang, "Enggak apa-apa kamu main di Solo dulu."

Saya senang sekali Bhayangkara FC memberi izin untuk main di Persis. Saya juga senang sekali bisa main untuk Persis lagi. Kalau saya tidak punya kontrak dengan siapa pun, sudah jelas saya akan pilih Persis. Tapi, karena punya kontrak dengan Bhayangkara FC, ya, saya harus mengikuti apa kata mereka. Maka, saya sangat berterima kasih pada Bhayangkara FC karena memberi izin bermain di Persis.

Bagi saya, Persis Solo punya arti sangat besar. Karier profesional saya dimulai di sini. Awalnya dari tarkaman, lalu ke Persis Solo. Mental saya juga dibentuk oleh pemain-pemain senior di Persis waktu itu.

Saya juga dulu dekat dengan suporter. Saya pemain muda, badan saya kecil, mungkin mereka gemas dengan saya, hahaha. Dulu, saya juga sering gonta-ganti warna rambut, sampai saya dijuluki Zeng Cheng (kiper Persebaya dari Tiongkok) oleh para suporter Persis. Saya merasa beruntung bisa kembali ke Persis Solo dengan manajemen yang lebih bagus.

Saya juga merasa beruntung bisa banyak menghabiskan waktu lagi di Solo. Saya merindukan keramahtamahan kota Solo. Saya juga merasakan betapa santainya tinggal di kota ini. Makanannya enak, harganya murah, dan ini bukan cuma kata saya, lho. Teman-teman saya juga pada bilang begitu. Jadi, di Solo itu tenang, tenteram, dan selalu bisa pulang ke Sukoharjo untuk bertemu keluarga.

Nah, sekarang ini, saya kembali ke Persis Solo sebagai pemain senior. Jika dulu saya yang diberi nasihat, sekarang sayalah yang bertugas memberi nasihat. Pemain-pemain yang sering saya nasihati dan marahi ini biasanya pemain-pemain asli Solo dan sekitarnya. Kenapa? Karena kalau pemain dari klub lain biasanya sudah pernah punya mentor. Sementara, mereka ini belum. Ada empat pemain lokal di Persis dan mereka ini berasal dari klub lokal juga. Belum ada yang kasih tahu mereka dan sayalah mentor mereka.

Saya punya nasihat untuk para pemain muda.

Pertama, buat pemain muda yang belum bisa masuk Persis Solo, jangan putus asa. Kesempatan itu pasti ada. Yang penting, siapkan semuanya. Latihan yang disiplin, latihan yang keras. Kalian harus punya ambisi dan rela mau berkorban. Kalau cuma mau main bola saja, banyak yang mau main bola. Kalian harus punya ambisi, mimpi, dan harus mau berkorban.

Kedua, untuk pemain muda yang sudah ada di Persis Solo, saya tekankan, kalian jangan mau jadi pelengkap saja. Kalian harus mau berkorban juga. Kalau pemain senior latihan satu kali, kalian harus latihan dua kali karena waktu luang kalian juga lebih banyak. Kalau cuma mengikuti program yang ada, di masa depan nanti tempat kalian juga akan diambil oleh generasi mendatang.

Saya sebagai pemain yang sudah tua saja tidak mau dikejar oleh yang muda. Makanya, sampai sekarang pun saya tetap menjaga disiplin berlatih. Di rumah saya juga ada peralatan fitness yang bisa digunakan sewaktu-waktu di hari libur. Saya merasa masih bisa bermain sampai beberapa tahun lagi dan saya ingin mewujudkan itu. Saya selalu berusaha untuk disiplin. Saya tidak begadang, tidak merokok, tidak party-party, karena saya menghormati sepak bola.

Itulah mengapa, saya juga belum berpikir untuk memulai bisnis apa pun untuk persiapan pensiun. Saya masih mau konsentrasi seratus persen di sepak bola. Olahraga ini sudah memberikan segalanya kepada saya dan sudah jadi tanggung jawab saya untuk memperlakukannya dengan hormat.

Maka, sekali lagi, terutama untuk pemain muda yang ada di Persis Solo, selalu tingkatkan kemampuan kalian. Saya tahu saya ini cerewet, tetapi percayalah, di masa depan nanti, omongan saya bakal kalian ingat. Kalian yang berhasil akan berterima kasih kepada saya. Kalian yang gagal akan menyesal mengapa dulu omongan Mas Wahyu tidak saya ikuti.

Saya pernah muda. Saya tahu tidak semua pemain senior itu peduli. Makanya, kalau ada pemain muda yang salah, pasti saya kasih tahu. Kalau dia mau mendengarkan saya, akan selalu saya nasihati dia. Di tim ini saya punya tugas penting. Saya harus menjaga kestabilan tim dan membantu pemain muda untuk terus berkembang.

Saya ingin melihat pemain muda ini sukses. Saya ingin mereka selalu latihan ekstra. Saya tidak peduli mereka marah. Saya tahu banyak godaan untuk pemain muda sekarang, dari media sosial misalnya. Saya melihat, banyak pemain muda sekarang terlalu cepat puas dan tidak berpikir panjang.

Saya tidak begitu. Saya punya manajemen diri. Waktu umur 25, saya berpikir bakal seperti apa di usia 30. Begitu terus seterusnya. Maka, bagi saya, sepak bola adalah nomor satu. Bahkan, keluarga saja sudah paham bahwa sepak bola tidak bisa diganggu gugat. Kalau ada acara keluarga pun saya tidak pernah diganggu. Mereka respek dengan sepak bola karena mereka tahu proses panjang yang saya lalui.

Jadi, begitulah cerita saya. Cukup panjang, ya, ternyata. Tapi, tidak apa-apa. Saya berharap, cerita ini bisa berguna untuk siapa pun yang membacanya, terutama pemain-pemain muda baik dari Solo maupun bukan. Saya, Wahyu Tri Nugroho, undur diri. Semoga kita semua bisa meraih kesuksesan!

Wahyu Tri Nugroho

===

Ini adalah part kedua dari tulisan saya di kanal #FromTheBench. Part pertama bisa dibaca di sini.