Imaji Goetze

Foto: @mariogotze

Pasang-surut karier Mario Goetze berawal dari ekspektasi dirinya dan orang-orang yang amat besar.

Daya imaji Mario Goetze meletup-letup. Benaknya disesaki ekspektasi. Ia berharap menjadi ini-itu dan menyeret hidupnya menjauh dari diri sendiri.

Goetze masih berusia 20 tahun saat memilih Bayern Muenchen pada 2013 silam. Ada banyak bayang-bayang kesuksesan di kepalanya. Tak hanya trofi, ia juga berkeyakinan Pep Guardiola bisa mendorong dirinya mencapai puncak dan menasbihkannya sebagai pemain kelas dunia.

Rekam jejak Guardiola membuat Goetze kesengsem. Ia ingin belajar banyak dari eks pelatih Barcelona itu. Ada keyakinan besar bahwa ia akan mendapatkan banyak hal, terutama soal bagaimana bergelimang prestasi, dari sosok Guardiola.

Ekspektasi itu membuat telinga Goetze tertutup rapat untuk caci maki atas kepindahannya ke Muenchen. Sorakan pengkhianat dari para suporter Borussia Dortmund tak pernah menciutkan nyalinya. Ia tetap melangkah menuju Allianz Arena demi mewujudkan imajinya tersebut.

Satu-satunya hal yang membuat khawatir Goetze saat itu adalah ancaman yang datang kepada keluarganya. Tentu saja, ancaman itu hadir karena keputusan Goetze melukai perasaan fans Dortmund. Apalagi, Dortmund ketika itu sedang bagus-bagusnya usai menggamit trofi Bundesliga di dua edisi, 2010/11 dan 2011/12.

Goetze menanggung beban yang sangat berat. Selain caci maki, ia tercatat sebagai salah satu pemain termahal Muenchen ketika itu. Belum lagi, keberhasilan Muenchen meraih treble winners semusim sebelum Goetze datang membuat orang-orang berharap lebih besar.

Musim pertama berjalan sebagaimana mestinya. Performa Goetze memang tidak sememukau musim sebelumnya, tetapi cukup impresif dengan rangkuman 10 gol dan 8 asis. Trofi Bundesliga musim 2013/14 menjadi kredit bagi Goetze.

Jika bertanya apa cela Goetze musim itu, jawabannya adalah kegagalan mempertahankan gelar juara Liga Champions. Namun, cela itu tidak serta-merta membuat Goetze terdepak dari skuad Jerman untuk Piala Dunia 2014. Joachim Loew masih memercayainya.

Kepercayaan Loew itu terwujud selama Piala Dunia 2014 berjalan. Goetze menjadi pilihan pertama di lini depan Jerman pada dua laga awal fase grup. Ia memang sempat mengawali laga dari bangku cadangan pada laga ketiga fase grup, tetapi kembali masuk starting line-up di babak 16 besar.

Namun, saat memasuki babak 8 besar dan semi final, Goetze menjadi pemain cadangan. Pun demikian ketika laga final melawan Argentina. Goetze baru masuk pada menit 88 menggantikan Miroslav Klose dalam laga itu. Masuknya Goetze diharapkan menambah daya ledak Jerman.

Sebagian dari kita barangkali tahu apa yang terjadi selanjutnya. Goetze keluar sebagai pahlawan usai tembakan voli pada menit ke-113 gagal dihentikan Sergio Romero. Lesakan itu menjadi satu-satunya gol di final Piala Dunia 2014.

Goetze memang disesaki puja-puji. Namun, gol kemenangan itu tidak lantas membawa penebusan. Rasa sakit yang ditinggalkan Goetze saat berlabuh ke Muenchen belum sungguh-sungguh terobati.

Gol itu juga yang menyeret Goetze ke kehidupan baru. Kehidupan dengan orang-orang berekspektasi lebih kepadanya. Jika berhasil menjadi pahlawan Jerman, masa tidak bisa menjadi pahlawan Muenchen?

Pengharapan yang amat besar itu menjadi petaka bagi Goetze. Ia selalu memaksa dirinya melakukan hal lebih setiap waktu, setiap pertandingan. Beban yang berat itu membuat kemajuan Goetze terhambat.

"Respons emosional yang kuat menciptakan harapan besar. Terlintas di benak orang-orang bahwa saya adalah pemain yang selalu mencetak gol penentu pertandingan. Itu asumsi di luar sana," kata Goetze dilansir The Athletic.

Selain ekspektasi, karier Goetze tercengkeram cedera. Merujuk catatan Transfermarkt, Goetze melewatkan 148 hari dan 22 laga pada musim ketiga bersama Muenchen karena harus masuk ruang perawatan.

Rangkaian cedera itu membuat banyak orang bertanya-tanya: Apa yang terjadi dengan Goetze? Apa ia tetap layak berseragam Muenchen? Apa kualitasnya masih oke? Apa ia mampu bangkit setelah diterjang badai cedera?

Goetze, yang saat itu acap bungkam kepada media, tidak banyak merespons keraguan tersebut. Hingga menjelang musim 2016/17, ia kembali ke Signal Iduna Park, tempat ia tumbuh dan belajar banyak hal.

"Saya sangat bahagia Mario kembali ke Dortmund. Sejak ia pergi pada 2013, saya sering berharap ia kembali," kata CEO Dortmund, Hans-Joachim Watzke.

Namun, Goetze tidak menjawab sambutan hangat itu dengan prestasi, melainkan kabar bahwa ia mengidap penyakit misterius bernama myopathy. Penyakit itu merupakan kelainan metabolisme yang menyerang otot dan dapat menyebabkan kelelahan.

Butuh tujuh bulan bagi Goetze untuk pulih dari penyakit itu. Comeback-nya pun tidak pernah paripurna. Ia memang langsung mencatatkan asis, tetapi cedera benar-benar membuat kemajuannya melambat. Kontribusinya kepada Dortmund tidak sebesar enam musim sebelumnya.

Pada musim 2017/18, misalnya, Goetze melewatkan 13 laga karena cedera. Jika dikalkulasi, ia absen 24 laga karena cedera selama empat musim memperkuat Dortmund pada 2016-2020.

Dalam kurun tersebut, Goetze merangkum 13 gol dan 12 assist. Bandingkan dengan masa baktinya bersama Dortmund pada 2010-2013. Saat itu, ia mengemas 22 gol dan 24 assist. Catatan itu disempurnakan dengan dua trofi Bundesliga.

Kegagalan itu menyadarkan Goetze bahwa imajinya tentang Dortmund sebagai tempat terbaik untuk mengembalikan performanya salah. Ia mau tak mau kudu membangun imaji baru soal kariernya setelah Dortmund melepasnya pada 2020.

Awalnya, Goetze memutuskan PSV Eindhoven sebagai pelabuhan barunya. Setelahnya, ia tidak mau berimajinasi liar dan berekspektasi banyak selama berkarier di Belanda. Bermain dengan baik, sudah cukup. Ia pun menyimpan harapan bergabung Timnas Jerman jauh-jauh.

Yang ada dalam imaji Goetze adalah bagaimana cara membangkitkan performanya. "Ini (bergabung PSV) akan menjadi transisi yang baik buat saya." Itu adalah pernyataan pertama Goetze sebagai pemain PSV.

Goetze merupakan salah satu playmaker komplet. Tak hanya soal distribusi bola, ia juga memiliki kecakapan dalam melakukan dribel. Daya imaji Goetze untuk mengkreasikan peluang masih cukup oke.

Musim lalu, Goetze merangkum 6 assist. Rata-rata umpan kuncinya mencapai 1,4 per 90 menit. Catatan itu terbanyak ketiga di antara pemain PSV lainnya.

Di PSV, ruang gerak Goetze cukup luas. Sebagai gelandang serang dalam format 4-2-2-2, ia kerap bergerak ke kanan-kiri untuk merancang serangan maupun melancarkan pressing kepada pemain lawan. Meski gagal menggamit trofi Eredivisie, PSV mengakhiri musim di peringkat kedua.

Kendati PSV-nya Roger Schmidt lebih rutin menerapkan skema 4-2-3-1 pada musim 2021/22, Goetze mampu menjaga performanya. Ia pun menjadi pilihan utama sebagai gelandang serang. Sudah 1 gol dan 2 assist yang dirangkum Goetze dalam 16 laga Eredivisie 2021/22. Catatan itu tentu berpotensi bertambah.

Peningkatan performa Goetze melahirkan kabar bahwa kansnya membela Timnas Jerman berdentum. Apalagi, PSV berada di barisan terdepan dalam perburuan trofi Eredivisie musim ini. Sampai pekan ke-19, PSV memuncaki papan klasemen sementara.

Namun, itu tadi, Goetze sudah tidak mau berimajinasi liar maupun berekspektasi besar soal kariernya. Selama mampu bermain bagus, itu sudah cukup baginya. Sisanya, biar waktu yang menjawab.

"Tujuan saat saat ini adalah bermain, berimpak, dan kita lihat nanti (masa depan). Sekarang, saya coba tetap berada dalam momen ini, menikmatinya, dan mencoba melakukan yang terbaik," kata Goetze kepada ESPN.

"(Dulu) mungkin saya terlalu banyak memberi tekanan kepada diri sendiri. Satu-satunya hal yang lebih penting dari ekspektasi orang-orang adalah diri kamu sendiri."

Pernyataan Goetze itu mengingatkan saya kepada gagasan Arthur Schopenhauer dalam buku bertajuk The Wisdom of Life. Bahwa semakin besar ekspektasi, keberhasilan kian sulit dicapai. Ekspektasi yang besar hanya membuat manusia berteman karib dengan banyak penderitaan.

Andai kata Goetze gagal menembus Timnas Jerman dan menggamit banyak trofi, tampaknya ia akan tetap berbahagia selama mampu mencetak gol dan assist.