Ini Dunia Guardiola, Kita Hanya Menumpang

Foto: Instagram mrpepguardiola.

Pep Guardiola adalah satu-satunya orang yang tahu kapan ia bertahan dan pergi dari sebuah klub. Di Manchester City pun tak berbeda.

Tidak ada yang tahu kapan pertemuan bertemu perpisahan. Termasuk Pep Guardiola dan Manchester City.

Selayaknya segala sesuatu yang bergerak di alam semesta, hubungan antara Guardiola dan klub-klub yang ia kelola (sebagai pelatih) juga punya usia. Biasanya, usianya tak panjang.

Guardiola adalah arketipe pelatih modern. Ia datang, mengubah sebuah klub dan memberi mereka trofi, lalu pergi manakala ia merasa sudah cukup. Tidak ada cerita seperti Alex Ferguson atau Arsene Wenger untuk berlama-lama di sebuah klub dan membangun dinasti atau kultur tersendiri di klub tersebut.

Di Barcelona, ia bertahan empat musim. Di Bayern Muenchen, tiga musim. Di Manchester City, ia tengah menjalani musim kelimanya. Dalam rentang hidup karier kepelatihan Guardiola, ini adalah anomali.

Guardiola adalah pria yang tahu apa yang dia mau. Ada kabar bahwa ketika melatih Barcelona, ia memandang jalan hidupnya semusim demi semusim. Ketika pekerjaannya sudah membuatnya lelah, ia memilih untuk berhenti sejenak dan menepi ke New York. Padahal, ia sedang berada di puncak.

Ia adalah pusat dari semestanya sendiri. Kita, yang menyaksikan perjalanan kariernya, seolah-olah adalah orang yang menumpang hidup dan menyaksikannya bergerak dari satu momen ke momen lainnya.

Guardiola datang ke City dengan status sebagai salah satu manajer sukses yang pernah ada di dunia. Orang boleh punya pendapat berbeda, tapi melihat apa yang sudah ia berikan ke Barcelona dan Bayern, predikat tersebut sebenarnya layak diterimanya.

Setelah mengabdi selama hampir lima tahun, masa itu datang juga. Bermula dari rumor belum adanya pembicaraan mengenai kontrak baru dan inkonsistensi City setahun belakangan, Guardiola diisukan pergi dari Etihad Stadium.

Penampilan City selama setahun belakangan memang menjadi isu yang serius. Meski berhasil menjuarai Piala Liga dan Community Shield, mereka gagal di dua kompetisi yang selalu menjadi target utama City: Premier League dan Champions League.

Di Premier League musim kemarin, City berjarak 18 poin dari Liverpool yang menjadi juara. Di Liga Champions, mereka kalah 1-3 dari Olympique Lyon, yang tentu saja levelnya di bawah mereka. Entah bagaimana, dua pencapaian buruk ini menjadi tanda bahwa karier Guardiola di City tak akan lama.

Chairman City, Khaldoon Al Mubarak, belum menyampaikan secara gamblang bagaimana masa depan Guardiola. Dalam wawancara kepada City TV, Al Mubarak menyiratkan bahwa kedua belah pihak belum memutuskan apa pun.

“Pep dan saya sama-sama memiliki pandangan yang jelas mengenai klub ini,” kata Al Mubarak. “Kami saling mempercayai dan merasa setiap keputusan yang diambil oleh masing-masing pihak, entah untuk Pep, saya, atau klub adalah yang terbaik."

***

Brian Marwood, Managing Director dari Global Football City, berkata kepada The Athletic, “Menunjuk Guardiola adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuat klub.” Ucapan Marwood benar, Guardiola membawa City lebih dari sekadar mendapatkan trofi.

Di bawah Guardiola, City berubah jadi entitas yang berbeda. Ia tak hanya menjanjikan kemenangan dan gelar, tapi juga keselarasan dan harmoni. Dan, secara tidak langsung, City yang sekarang, memang sudah di jalur itu.

Di masa awal kepemimpinannya, Guardiola sempat disibukkan dengan masalah di sektor kiper. Masalah ini jadi genting karena kiper menjadi fondasi permainan. Alhasil, muncul tiga nama: Samir Handanovic, Salvatore Sirigu, dan Ederson.

Tiga pemain tersebut sama-sama memiliki kemampuan untuk memulai serangan. Ketiganya juga memiliki refleks yang sama baiknya. Secara harga, Handanovic dipatok paling tinggi. Perbedaannya, Handanovic dan Sirigu sudah terbilang senior, sedangkan Ederson terhitung belia.

Kejutan muncul saat Ederson yang dipilih oleh Guardiola. Meski punya alibi investasi jangka panjang, Ederson belum berpengalaman untuk City yang saat itu mengejar kiper matang. Namun, semua berubah di atas lapangan.

Ederson tampil amat tenang dan tak tampak seperti seorang debutan. Musim perdananya berakhir dengan catatan 1,5 penyelamatan per pertandingan dan hanya kalah dari David De Gea yang mendapatkan gelar Golden Glove.

Keputusan penting lain yang dibuat oleh Guardiola adalah caranya mengubah Raheem Sterling. Sterling datang ke City pada Juni 2015 dengan banderol 50 juta pounds dan menjadi pemain Inggris termahal saat itu.

Namun, dengan harga dan ekspektasi yang begitu tinggi, Sterling justru tampil amat buruk. Tak ayal, saat Guardiola datang, ia disebut hanya akan mengisi bangku cadangan—saat itu City juga merekrut Nolito dan Leroy Sane yang juga berposisi winger.

“Guardiola melihat Sterling punya kelebihan yang juga ia lihat dari Romario dan (Lionel) Messi.” kata eks asisten Guardiola, Mikel Arteta. “Ia pun menginginkan Sterling untuk memanfaatkan kelebihan tersebut.

Kelebihan yang dimaksudkan Arteta adalah akselerasi. Akselerasi Sterling, menurut Guardiola, tak bisa maksimal karena ia kerap berdiri terlalu dekat lawan. “Guardiola selalu memintanya untuk berada minimal 3 meter dari lawan.” Sterling mengangguk dan sejak itu ia bergerak mematikan.

Perbaikan demi perbaikan yang dilakukan oleh Guardiola terhadap Sterling lantas mengubahnya menjadi senjata rahasia. Pada musim 2019/20, Sterling berhasil mencetak 29 gol dan menjadikan musim tersebut sebagai musim terbaiknya sejauh ini.

Tidak hanya secara pemain, Guardiola juga mengubah City secara keseluruhan. Di City, ia diberi tanggung jawab untuk memegang paham apa yang dianut oleh akademi—model ini meniru apa yang dilakukan oleh La Masia-nya Barcelona.

Dalam laporan Goal, Guardiola rutin menyempatkan diri untuk melihat perkembangan tim junior City, dari U-8 hingga U-23. Hal itu dilakukan oleh Guardiola untuk memastikan semua tim bermain dalam skema dan taktik yang sama.

Apa yang dilakukan oleh Guardiola bertujuan jangka panjang. Dengan rutin menyimak, ia jadi tahu bagaimana kapasitas pemain-pemain muda. Alhasil, apabila suatu saat ada pemain muda yang moncer, ia tak ragu memasukkannya ke tim utama.

“Di City, kami tak hanya membicarakan kesuksesan sementara, tapi selamanya. Di awal kedatangannya (Guardiola), kami membicarakan ini. Ia setuju dan sangat tertarik dengan proyek ini karena menurutnya kesuksesan harus berkelanjutan,” kata Al Mubarak.

***

Kata Albert Benaiges, salah satu sahabat dekatnya, Guardiola adalah orang yang berambisi besar terhadap sepak bola. “Ia mendedikasikan hidupnya untuk sepak bola. Ia datang jam 9 pagi dan pulang tengah malam.”

Guardiola, lanjut Benaiges, baru akan pergi apabila dia memang ingin. “Ia tahu apa yang ia lakukan. Ia meninggalkan Barcelona ketika ia ingin. Ia juga baru pergi dari Bayern saat ia ingin pergi. Menurutku, di City, ia juga akan begitu.”