Ini Leroy Sane, Bukan Arjen Robben

Foto: @leroy_sane

Leroy Sane didatangkan Bayern Muenchen sebagai pengganti Arjen Robben. Namun, Sane bukanlah pemain asal Belanda itu. Memainkannya seperti memainkan seorang Robben adalah kesalahan.

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah disoraki suporter sendiri.

Apa boleh buat, tak ada yang bisa Leroy Sane lakukan setelah yang terakhir itu ia alami. Tatkala Bayern Muenchen menang 3–2 atas Koeln di Allianz Arena, Minggu (22/8/2021), namanya jadi sasaran cemooh. Siulan tanda ejekan bergema di stadion tiap kali bola dan kakinya bersentuhan.

Laga tersebut berakhir dengan skor 3–2 untuk kemenangan Die Roten, tetapi torehan itu diraih dengan sukar-sakit. Selama babak pertama Robert Lewandowski dan kolega kesulitan menembus pertahanan Koeln. Tak satu pun gol yang mampu mereka cetak.

Sane punya andil besar atas kondisi itu; 45 menit babak pertama ia jalani dengan catatan seperti ini: Akurasi operan 56 persen dan kehilangan bola sebanyak 11 kali dari total 28 sentuhan. Lantas, Julian Nagelsmann menggantikan Sane dengan Jamal Musiala pada awal babak kedua.

Berbagai pleidoi terdengar usai performa buruk tersebut. Mulai dari mulut pelatih hingga rekan setim. Namun, semua itu tak cukup untuk menutupi fakta bahwa penampilan Sane memang sangat mengecewakan. Bahkan, omongan-omongan terkait hal ini sudah terdengar sejak musim lalu.

Salah satu yang paling disoroti adalah aspek bertahan. Menurut legenda Bayern Lothar Matthaeus, Sane terlalu malas mengejar bola. Matthaeus sampai menyandingkan Sane dengan Arjen Robben, yang memang sempat bermasalah soal kontribusi defensif.

Minimnya aksi bertahan Sane terbukti lewat sederet angka. Berdasarkan catatan WhoScored musim lalu, kontribusi defensif eks pemain Manchester City itu cuma unggul dari para pemain cadangan seperti Joshua Zirkzee, Marc Roca, Douglas Costa, Choupo-Moting, dan kiper Manuel Neuer.

Masuk akal jika Hansi Flick, pelatih Bayern kala itu, sangat jarang memainkan Sane secara penuh. Dia juga pernah secara gamblang menyoroti aspek tersebut. Menurut Flick, pergerakan Sane ketika timnya sedang tidak menguasai bola masih perlu perbaikan.

“Dalam beberapa kesempatan, dia tidak mengejar pemain lawan ketika berhadapan satu lawan satu. Tentu ada alasan untuk itu, jadi kami akan membicarakannya lebih jauh,” ungkap pelatih yang kini membesut Timnas Jerman tersebut.

Dalam skema bermain Flick, pressing memegang peran penting. Tak peduli posisimu pemain bertahan atau bukan, kamu wajib terlibat penuh dalam mengejar bola dari lawan. Dengan begini, pemain yang malas bergerak bakal sangat merusak ritme permainan.

Namun, yang jadi persoalan bukan cuma perkara pressing. Gestur Sane saat beraksi di rumput lapangan juga kerap jadi sorotan. Simaklah tiap kali Sane gagal memaksimalkan peluang atau ketika rekannya gagal mencetak gol dari umpan yang ia berikan.

Pada momen-momen seperti itu, pemain berusia 25 tahun tersebut bakal sibuk memegangi kepala, memalingkan muka, atau sebatas menendang angin tanda kecewa, alih-alih langsung melakukan pressing untuk kembali merebut penguasaan bola.

“Leroy punya bakat luar biasa tetapi dia belum menyerap DNA Bayern. Beda dengan Thomas Muller. Dia tidak punya bakat seperti Leroy tetapi dia selalu berlari. Leroy perlu memperbaiki itu. Menyesuaikan karakternya dengan karakter tim,” kata eks CEO Bayern, Karl-Heinz Rummenigge.

Eks Bayern yang kini bermain untuk Real Madrid, Toni Kroos, pernah berkata bahwa salah satu alasan Joachim Loew tak menyertakan Sane ke Piala Dunia 2018 adalah gesturnya yang buruk. Melihat apa yang Sane tunjukkan sejak musim pertamanya di Bayern, kritikan tersebut ada benarnya.

***

Arjen Robben dan Franck Ribery adalah salah satu kepingan terpenting dalam kesuksesan Bayern sedekade terakhir. Maka ketika mereka mulai redup, Bayern sibuk mencari pengganti. Ada indikasi bahwa pengganti tersebut mesti punya atribut serupa, termasuk kemampuan cut-inside.


Berkaca pada atribut demikian, pengganti Ribery tampaknya sudah ditemukan dalam diri Kingsley Coman dan Serge Gnabry. Untuk menggantikan Robben, sementara itu, manjemen menjatuhkan pilihan pada sayap Manchester City: Leroy Sane.

Butuh waktu hingga semusim lebih bagi Bayern untuk mendatangkan Sane sejak kali pertama menyatakan minat. Uang yang dikeluarkan juga terbilang wah untuk tim yang pelit belanja: 60 juta euro. Melihat yang terjadi sejauh ini, sayangnya, Bayern pantas merasa kecewa.

Musim pertama Sane berakhir dengan catatan yang sebetulnya tak buruk. Ia mencetak 10 gol dan 12 assist dalam 44 pertandingan lintas kompetisi. Namun, itu jauh di bawah ekspektasi. Apalagi jika melihat penampilan yang Sane tunjukkan di atas lapangan.

Selain kontribusi defensifnya, performa saat menguasai bola juga medioker. WhoScored menyebut dribel sebagai kekuatan Sane, tetapi itu jarang terlihat di laga betulan. Sane malah lebih sering kehilangan bola ketimbang mencatatkan dribel sukses, first touch-nya buruk, pergerakannya statis. Laga melawan Koeln merangkum semuanya.

Raphael Honigstein lewat artikelnya di The Athletic lantas menggambarkan Sane sebagai anti-Mueller karena perannya yang minim di atas lapangan.

Jika ada hal yang jadi penyebab buruknya performa itu, salah satunya adalah cedera. Sejak absen lama karena ACL, Sane seolah jadi sosok yang berbeda. Kepercayaan dan kesombongannya kala menguasai bola belum terlihat kembali. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan tampak ragu dan bingung.

Satu hal lain: Ada kemungkinan Sane tak tampil di posisi favoritnya. Saat masih bermain untuk Manchester City, ia hampir selalu beroperasi di pos kiri penyerangan tim. Tepatnya sebanyak 112 kali. Dari situ, ia tampil bagus dan mampu mencatatkan 36 gol serta 44 assist.

Di Bayern berbeda. Barangkali karena ingin mereplikasi Robben atau bagaimana, Sane justru lebih banyak dimainkan sebagai sayap kanan. Ia memang beberapa kali mampu mencetak gol dan peluang lewat gerakan cut-inside ala Robben, tetapi performanya secara keseluruhan tak optimal.

Atas dasar itulah Julian Nagelsmann, pelatih Bayern musim ini, mengembalikan Sane ke posisi favoritnya pada dua laga terakhir. Hasilnya positif. Sane mencetak 1 gol dan 2 assist saat melawan Bremer SV dan mengarsiteki gol kedua Robert Lewandowski ke gawang Hertha Berlin.

“Kami memainkan dia di sisi kiri. Itu membuat dia lebih punya kedalaman. Dia lebih nyaman bermain di sana,” kata Nagelsmann.

Jika memang posisi adalah masalahnya, Sane hanya perlu meningkatkan performa pada laga-laga beriuktnya. Terlebih, ia tahu bahwa tempatnya kini makin terancam. Ia bisa saja tak lagi disertakan ke Timnas Jerman. Di Bayern pun, ada Jamal Musiala yang pelan-pelan merebut tempat utama.

Juga satu lagi: Penting bagi Sane untuk meningkatkan etos kerja.

***

Pada masa-masa awal bermain untuk Bayern Muenchen, Arjen Robben kerap dikritik karena kontribusi defensifnya yang amat minim. Ia terbilang malas mengejar bola sehingga sering merusak ritme tim. Hal tersebut bertambah parah sebab egonya yang super besar.

Kondisi itu berubah begitu Jupp Heynckes datang. Sejak menjabat pelatih, ia menyulap Bayern menjadi mesin pressing yang memaksa siapa pun wajib bekerja ekstra keras. Dalam sepak bolanya, pemain depan harus bekerja sama kerasnya dengan pemain belakang untuk merebut bola.

Robben sempat kehilangan tempat di tim inti karena hal itu, tepatnya pada musim 2012–13. Terlebih, ia sering absen karena cedera. Ia juga masih jadi musuh besar suporter karena kegagalan mengeksekusi penalti pada babak extra time final Liga Champions 2012 melawan Chelsea.

Posisinya lantas ditempati Thomas Mueller yang bergeser ke sisi kanan, sedangkan posisi Mueller di belakang penyerang dibebankan kepada Toni Kroos. Ketika Kroos menderita cedera pada paruh kedua musim 2012–13, barulah Robben kembali rutin tampil.

Yang menarik, Robben kembali dalam bentuk yang berbeda. Ia lebih sering mengejar bola dan jauh lebih pekerja keras ketimbang sebelumnya. Singkat kata: Robben berubah. Mau bagaimana lagi, ia memang harus menyesuaikan diri jika ingin terus jadi andalan dalam sepak bola proaktif Henyckes.

Jika Robben bisa melakukannya, mestinya hal serupa juga berlaku untuk Sane. Apalagi kisah kedua pemain ini terbilang mirip, setidaknya pada masa awal bergabung dengan Bayern Bayern. Mereka punya kemampuan luar biasa tetapi pernah jadi sasaran cemooh karena suatu hal.

Meski begitu, sekali lagi, Sane bukan Robben.