Inter dan Lazio: Enggan Membenci, tapi Saling Menyakiti

Foto: Twitter @TobiasSD.

Lazio pernah membuat Ronaldo menangis. De Vrij juga sampai dicap pengkhianat gara-gara Inter. Kedua klub itu tak benar-benar saling membenci, tapi pernah saling menyakiti.

Olimpico, 5 Mei 2002, Inter bertandang ke Lazio. Mereka datang dengan kepercayaan diri tinggi, setinggi derajat Inter kala itu. Ya, Nerazzurri adalah kandidat kuat juara Serie A musim 2001/02. Mereka hanya butuh kemenangan untuk mengakhiri paceklik Scudetto 12 musim lamanya.

Buat Inter itu bukan perkara sulit. Toh, Lazio tak lebih dari sekadar klub medioker saat itu. Mereka bertengger di peringkat ketujuh, mentok hanya tiket ke Piala UEFA (sekarang Liga Europa) yang bakal mereka dapatkan. Belum lagi soal performa Lazio yang lagi ambles. 'Si Elang' baru kalah 0-2 dari Bologna pada pekan sebelumnya.

Bandingkan dengan Inter yang cuma sekali keok dari 11 pertandingan terakhirnya. Dengan berbagai kejomplangan itu, harusnya mereka bisa menang dan menjadi kampiun.

Namun, kata "harusnya" memang sudah semestinya dilenyapkan dari semesta. Ungkapan itu justru menjadi beban alih-alih penggapai harapan. Pun saat diucap setelahnya, rawan memunculkan rasa bersalah yang tak habis-habis. Ronaldo Luis Nazario de Lima salah satu korbannya.

“Itu adalah luka yang masih segar, terutama karena setiap 5 Mei orang menandaiku di postingan Instagram dengan fotoku yang sedang menangis. Mereka tidak pernah melupakan hari itu," kata Ronaldo seperti dilansir Football Italia.

Tangis Ronaldo pecah di Olimpico, bahkan sebelum peluit panjang dibunyikan. Itulah satu-satunya momen terdekatnya dengan trofi Serie A--titel yang tak pernah dia raih sampai akhir kariernya.


Ronaldo dipaksa menerima kemungkinan terburuk--mungkin yang terburuk setelah kegagalannya bersama Brasil di Piala Dunia 1998. Dengan segala kedigdayaannya, Inter gagal meraup tiga angka.

Padahal, pasukan Hector Cuper itu memulai pertandingan dengan meyakinkan. Mereka sudah di atas angin setelah Christian Vieri bikin gol pada menit ke-12. Namun, Karel Poborsky menyamakan skor tujuh menit berselang. Harapan buat Inter muncul kembali Luigi Di Biagio mencetak gol pada menit ke-24, mengubah skor menjadi 2-1.

Sialnya, cuma sampai situ saja lesakan yang Inter bikin. Sementara Lazio justru berhasil mencetak tiga gol balasan via Diego Simeone, Simone Inzaghi, dan (lagi-lagi) Poborsky. Inter menyerah 2-4.

Di waktu bersamaan Juventus berhasil menekuk Udinese dua gol tanpa balas. Melengganglah Bianconeri ke puncak klasemen dan meraih titel Serie A ke-26 mereka.

Apesnya lagi, AS Roma juga ikut-ikutan memetik poin penuh di kandang Torino. Inter jadinya finis di peringkat ketiga, dari yang semula capolista. Mereka bersilih dari jagoan menjadi pecundang. Titel Serie A yang sudah ada di depan mata lenyap begitu saja.

***

Belasan tahun berlalu, giliran Lazio yang ketiban apesnya. Bukan, bukan lagi perkara gelar. Ini soal perebutan karcis ke Eropa.

Pada musim 2017/18, Inter duduk di peringkat kelima dengan 69 poin. Satu setrip di bawah Lazio yang mengumpulkan 3 angka lebih banyak. Menariknya, keduanya kembali bentrok pada pekan pemungkas, di Olimpico pula.

So, Inter berpeluang menggeser Lazio dari slot Liga Champions andai menang. Lagipula mereka bakal unggul hitung-hitungan head-to-head lantaran duel sebelumnya di Giuseppe Meazza berakhir imbang tanpa gol.

Situasinya makin rumit karena Simone Inzaghi menurunkan Stefan De Vrij di starting line-up. Bukannya apa-apa, bek Belanda tersebut telah dipastikan bergabung dengan Inter setelah tutup musim. Kondisi semacam ini sangat mungkin berpotensi mengundang conflict of interest.

Perpisahan dengan tim yang sudah empat tahun dibelanya melawan calon klub anyarnya, begitu kira-kira tajuk yang pas buat De Vrij dalam laga ini.

Well, semuanya terlihat baik-baik saja bagi Lazio. Apalagi mereka sempat unggul 2-1. Sampai akhirnya situasinya berbalik pada menit ke-77. De Vrij menekel Mauro Icardi di dalam boks. Tanpa pikir panjang, wasit Gianluca Rocchi meniup peluit penanda penalti untuk Nerazzurri.

Icardi yang menjadi eksekutor menunaikan tugasnya dengan sempurna. Skor menjadi imbang 2-2. Puncak petaka Lazio tercipta tiga menit kemudian. Matias Vecino yang jadi aktornya usai menyambar bola sepak pojok kiriman Marcelo Brozovic. Inter pun menang 3-2 dan kebagian tiket ke Liga Champions. Ini merupakan sebuah prestasi mengingat sudah enam tahun lamanya mereka absen di turnamen itu.

Lain cerita buat Lazio. Tiket Liga Champions di depan mata raib sudah. Mereka gagal manggung di turnamen ter-elite di Benua Biru itu untuk pertama kalinya sejak musim 2007/2008.

Siapa lagi kambing hitamnya kalau bukan De Vrij. Kalau saja dia tak melanggar Icardi, mungkin saja Lazio manggung di Liga Champions. Meski, ya, De Vrij mengelak dari segala sangkaan buruk itu.

“Mereka begitu mengenalku di Lazio. Jika mereka membiarkanku bermain, itu berarti mereka memercayaiku,” jelas De Vrij kepada Corriere dello Sport.

Sengaja atau bukan, sulit dimungkiri bahwa De Vrij turut melicinkan langkah Inter mempecundangi Lazio. Narasi ini mungkin rutin diputar setiap De Vrij bersua klub lamanya. Namun, tetap saja, itu akan mengubah apapun. 

***

De Vrij adalah transaksi terakhir Inter dan Lazio di bursa pemain. Tercatat ada belasan pemain yang diperjualbelikan kedua klub sejak medio 90-an.

Aron Winter jadi yang pertama, pada periode 1996/97 tepatnya. Sama seperti De Vrij, dia berasal dari Belanda dan beroperasi sebagai bek. Namun, soal nasib, keduanya sejauh ini berbeda. Walau hanya 3 tahun di Inter, Winter berhasil mencicipi titel Piala UEFA. Sementara De Vrij mentok di runner-up Liga Europa musim lalu. 

Migrasi besar-besaran Inter-Lazio terjadi pada periode 1999/00. Biancocelesti memborong tiga pemain sekaligus dari Giuseppe Meazza: Diego Simeone, Francesco Colonnese, dan Angelo Peruzzi.

Sementara belanjaan Inter tak tanggung-tanggung. Mereka menggelontorkan 33 juta euro buat memboyong Vieri dari ibukota. Jumlah tersebut membuat Vieri menjadi pemain termahal di dunia saat itu.

Bahkan, hedonisme Inter itu sampai membuat Vatikan bising. Koran resmi Vatikan, L'Osservatore Romano, terang-terangan mengkritik transfer selangit Vieri. Menurut mereka, gelontoran uang sebanyak itu adalah sebuah penghinaan terhadap orang-orang miskin.

Inter enggan memedulikan suara miring dari luar. Pada musim panas 2002 mereka kembali "membakar uang" di Lazio. Kali ini Hernan Crespo yang mereka angkut dengan tarif 26 juta euro. Impak capocannoniere edisi 2000/01 itu tak semasif Vieri. Pasalnya, cuma 7 gol ia buat di pentas liga. Inter pun memutuskan untuk melepasnya ke Chelsea semusim berselang.

Kemudian ada Dejan Stankovic, Sinisa Mihajlovic, dan Giuseppe Favalli yang bersilih kostum dari Inter ke Lazio. Dari ketiganya, cuma Stankovic yang bisa dibilang sukses; gelandang Serbia itu ambil bagian saat Inter meraih treble di musim 2009/10.

Sejauh  ini, Inter yang lebih sering belanja di lapak Lazio ketimbang sebaliknya. Pasalnya, La Benemata memang merupakan salah satu klub paling konsumtif di Italia.

Sementara daftar rekrut Lazio ke Inter masih bisa dihitung dengan jari. Pembelian terakhir mereka malah sudah kelewat lawas, yakni pada 2003/04 silam. Kala itu klub pimpinan Claudio Lotito tersebut menggaet Goran Pandev serta memulangkan Sergio Conceicao.

***

Sejatinya tak banyak kebencian antara Lazio dan Inter Milan. Mereka bukan klub yang bergontokan dan saling sewot tanpa nalar.

Riwayat perselisihan Inter lebih kental ke Juventus dan AC Milan. Pun dengan AS Roma yang jadi lawan bebuyutan Lazio. Ketimbang Inter, ultras Biancocelesti juga lebih membenci Livorno dan Atalanta yang suporternya didominasi oleh pendukung sayap kiri.

Namun, tak berarti duel keduanya miskin histori. Momen Ronaldo dan De Vrij, dari berbagai transfer yang dilewati Lazio dan Inter adalah antesedennya. Kedua klub itu tak benar-benar saling membenci, tapi pernah saling menyakiti.