Inter Milan vs Juventus: Tidak Hanya Berburu Tiga Poin

Ilustrasi: Arif Utama.

Rivalitas Inter dan Juventus membuat laga tidak hanya soal tiga poin, tetapi ada hal penting lain yang diperebutkan.

Rivalitas Inter Milan vs Juventus tidak hadir begitu saja. Ada banyak percikan yang memperluas persaingan mereka: Dari lapangan, papan klasemen, sampai meja federasi. Saat kedua tim berlaga, pembicaraan pun tidak melulu soal tiga poin. Ada hal penting lain yang dipertaruhkan. Gengsi, misalnya.

Percikan terbesar rivalitas kedua tim terjadi pada musim 1960/61. Inter dan Juventus berada di posisi terdepan dalam perburuan scudetto saat itu. Sebelum dua tim berlaga di Stadio Communale, Inter menempel ketat poin Juventus yang merupakan pemuncak klasemen.

Laga diprediksi berjalan sengit. Penonton yang hadir ke stadion membludak. Tidak hanya tribune yang disesaki penonton, tetapi juga sisi lapangan. Bahkan, ada penonton yang menyaksikan laga dari bangku cadangan Inter.

Situasi tersebut tidak membuat laga ditunda. Wasit tetap meniupkan peluit tanda pertandingan dimulai. Namun, saat laga baru berjalan setengah jam, invasi penonton terjadi. Laga pun dihentikan.

Per laporan Goal, Inter seharusnya menang otomatis 2-0 jika merujuk regulasi. Juventus kemudian mengajukan banding kepada Federasi Sepak Bola Italia (FIGC). Sial bagi Inter, FIGC yang saat itu diketui Umberto Agnelli mengabulkan banding Juventus. Laga ulang harus dilaksanakan.

Inter tentu tidak diam. Mereka memprotes keputusan federasi. Protes itu diwujudkan juga di atas lapangan. Mereka memainkan pemain Primavera dalam pertandingan ulang. Hasilnya, Juventus menang 9-1.

Insiden tersebut memicu rivalitas Inter dan Juventus memanas sampai jurnalis olahraga Italia Gianni Brera melabeli laga Inter vs Juventus sebagai Derby d'Italia pada 1967. Label itu juga diberikan karena Inter dan Juventus punya nama besar dalam sejarah sepak bola Italia.

Pelatih Inter saat ini, Simone Inzaghi, paham betul dengan rivalitas kedua tim. Sebelum Inter dan Juventus berlaga pada pekan kesembilan Serie A 2021/22 di Giuseppe Meazza, Senin (25/10/21) dini hari WIB, Inzaghi berkata bahwa ada hal penting yang diperebutkan di luar tiga poin.

"Ini laga penting dan tidak hanya sekadar meraih tiga poin. Kedua tim ini memiliki sejarah rivalitas," kata Inzaghi.

***

Inter sedang tajam-tajamnya. Sudah 23 gol mereka lesakan dalam delapan laga Serie A 2021/22. Torehan itu membuat mereka menjadi tim terproduktif sejauh ini. Hanya Napoli yang mendekati rangkuman gol Inter, yakni 22 lesakan.

Ketajaman tersebut tentu dipengaruhi gaya bermain Inter versi Inzaghi yang mengedepankan perpindahan bola-bola pendek dengan cepat. Pemain memiliki kebebasan untuk mencari posisi saat fase ofensif. Kebebasan ini berdampak pada serangan Inter yang amat cair, terutama di area belakang penyerang.

Keberadaan Nicolo Barella menopang daya ledak Inter. Berbeda dengan gelandang tengah sebelah kiri, ia tidak hanya dituntut menciptakan peluang melalui umpan-umpan terobosan maupun silang, tetapi juga merusak bentuk pertahanan lawan via aksi-aksi dribel.

Hal itu juga yang membuat Inter punya opsi lain apabila lawan menumpuk pemain di belakang. Barella akan merangsek masuk ke dalam kotak penalti dengan dribel mumpuni. Mengacu WhoScored, rata-rata dribel Barella berada di angka 1,3 per laga. Catatan itu menjadi yang tertinggi di Inter.

Fluiditas membuat sebaran gol Inter cukup luas. Sudah 11 pemain yang berhasil mencetak gol sampai saat ini. Yang paling menonjol tentu saja Edin Dzeko. Pria 35 tahun itu sudah merangkum 6 gol dan menjadi topskorer Inter di Serie A.

Atribut Dzeko yang cukup spesial adalah penyelesaian akhir. Merujuk FBref, expected goals (xG) pemain berkebangsaan Bosnia-Herzegovina itu surplus 2,7.

Selain itu, pergerakan Dzeko cukup dinamis. Ia rajin turun belakang untuk membuka ruang. Postur tubuh dan kemampuan duel udara Dzeko pun turut menopang skema direct Inter versi Inzaghi yang cukup intens diterapkan musim ini. Ia bisa memantulkan bola yang kemudian disebarkan kepada Lautaro Martinez atau gelandang ofensif.

Agresivitas Dzeko terlihat juga dari rata-rata 3,18 shot creating actions (SCA) per laga. Sederhananya, SCA adalah atribut ofensif, mulai dari umpan, dribel, memenangi pelanggaran, yang dapat menciptakan tembakan.

Dalam laga lawan Juventus, Barella dan Dzeko akan menjadi sumber serangan Inter. Kedua pemain itu juga dapat merusak pertahanan Juventus yang sedang kokoh-kokohnya. Ya, Juventus nihil kebobolan dalam dua laga terakhir di Serie A.

Setelah terseok-seok di awal liga, Juventus kembali ke trek yang benar dengan meraih 6 kemenangan beruntun di Serie A dan Liga Champions. Khusus untuk lini belakang, Max Allegri sudah menemukan formula.

Salah satu yang paling mencolok berada di pos bek kanan. Allegri tidak memainkan Juan Cuadrado sebagai bek kanan dalam empat laga terakhir di lintas ajang. Dalam kurun itu juga, gawang Juventus aman dari kebobolan.

Ada dua pemain yang menjadi pilihan Allegri untuk pos bek kanan, Danilo dan Mattia De Sciglio. Kedua pemain itu tidak akan banyak berlari melewati garis tengah lapangan. Baik Danilo dan De Sciglio, fokus mengadang serangan balik lawan bersama dua bek tengah.

Keputusan logis apabila Allegri kembali memainkan salah satu dari kedua pemain tersebut saat menghadapi Inter. Target utama Juventus tentu menjaga gawang dari kebobolan. Setelah itu, mereka akan meneror gawang lawan dengan serangan cepat.

Juventus memiliki banyak pemain yang jago memanfaatkan transisi. Salah satunya adalah Federico Chiesa. Selain cepat, Chiesa memiliki kemampuan mencetak gol dan menyajikan peluang dengan sama baiknya. 8 gol dan 8 asis di Serie A musim lalu dapat menjadi tolok ukur.

Kemampuan olah bola Chiesa pun terbilang oke dengan catatan 1,7 dribbles per 90 menit di Serie A 2021/22. Jumlah itu menjadi yang tertinggi di antara pemain Juventus.

Kecepatan Chiesa pun dapat menyerang sisi lemah Inter, yakni mengadang serangan balik. Gol pertama Lazio ke gawang Inter pada pekan lalu, misalnya, berawal dari serangan balik cepat.

Di bawah kepelatihan Inzaghi, pertahanan Inter masih menjadi persoalan. Sepanjang musim 2021/22, mereka baru mencatatkan satu kali clean sheet. Itu pun terjadi pada laga pertama melawan Genoa. Setelahnya, jawa gawang Inter selalu bergetar.

Inzaghi tentu harus menemukan formula terbaik untuk menutup celah-celah lini belakang. Jika tidak, ia akan kehilangan dua hal: Tiga poin dan gengsi.