Ironi, Tragedi, dan Komedi Gol Bunuh Diri

Gol bunuh diri Martin Dubravka pada laga melawan Spanyol. Foto: Twitter @WhoScored.

Dalam proses dan juga dampaknya, gol bunuh diri cukup sering mengikutsertakan ironi, tragedi, dan komedi. Tak terkecuali di Piala Eropa 2020.

Mencetak gol ke gawang sendiri memiliki istilah yang cukup bikin bergidik dalam Bahasa Indonesia: Gol bunuh diri. Dalam proses dan juga dampaknya, gol bunuh diri cukup sering mengikutsertakan ironi, tragedi, dan komedi.

Bagaimana Andres Escobar kehilangan nyawanya setelah mencetak gol ke gawang timnya sendiri, Kolombia, pada Piala Dunia 1994 adalah tragedi yang siapa pun berhak untuk menangisinya. Tidak ada satu gol pun di dunia ini yang semestinya seharga dengan satu nyawa.

Kita juga bisa menganggapnya sebagai komedi gelap. Bayangkan, gol bunuh diri—yang merupakan bagian dari sebuah permainan yang semestinya menjadi eskapisme (pelarian) belaka—bisa sedemikian memengaruhi emosi dan nasib hidup seseorang.

Andres Escobar. Foto: Twitter @BRFootball.

Tentu saja kita juga bisa tertawa terbahak-bahak melihat sebuah gol bunuh diri yang konyol betul. Bakal terasa aneh kalau tidak merasa ganjil atau tergelitik ketika melihat kelakuan kiper Slovakia, Martin Dubravka. Dalam usahanya menghalau bola, ia justru menepak bola ke dalam gawang timnya sendiri.

Gol bunuh diri Dubravka bukanlah satu-satunya yang terjadi sepanjang perhelatan Piala Eropa 2020. Ada 11, dan jumlah ini jauh lebih banyak daripada jumlah gol Patrik Schick dan Cristiano Ronaldo—yang masing-masing mencetak lima buah gol.

Jika gol bunuh diri mewujud menjadi sesosok pemain, tentulah dia yang lebih berhak memegang predikat pencetak gol terbanyak turnamen. Kita bakal mengenal si Mr. Own Goal ini sebagai seorang pemain yang entah datang dari mana, tetapi tiba-tiba saja mendobrak keterbiasaan.

Per catatan The Athletic, jumlah 11 gol bunuh diri pada Piala Eropa 2020 bahkan melebihi gabungan jumlah gol bunuh diri dari 15 edisi edisi sebelumnya. Sebanyak 55% gol bunuh diri pada Piala Eropa lahir pada perhelatan teranyar tersebut. Cukuplah untuk benar-benar disebut mendobrak keterbiasaan.

Ada dugaan bahwa dengan makin intensnya permainan dan semakin padatnya jadwal semenjak 2018, makin sering pula fokus atau konsentrasi pemain terganggu. Pada Piala Dunia 2018 saja ada 12 gol bunuh diri tercipta. Jumlah tersebut dua kali lipat lebih banyak daripada rekor sebelumnya, yakni 6, yang tercipta pada Piala Dunia 1998.

Tentu saja, tidak semua gol bunuh diri, terutama yang terjadi pada Piala Eropa 2020, terjadi karena intensitas permainan dan kehilangan fokus belaka. Beberapa di antaranya, termasuk gol bunuh diri Dubravka, lebih mirip adegan konyol.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa sebelum gol itu terjadi, Spanyol—yang merupakan lawan Slovakia pada pertandingan tersebut—menekan habis pertahanan Slovakia. Bahkan, beberapa menit sebelum melakukan gol bunuh diri, Dubravka sempat menyelamatkan gawangnya dari sebuah sepakan keras.

Di tengah pertandingan yang sedang genting-gentingnya, menghadapi lawan yang tidak kunjung henti melakukan pressing dan menyerang dengan amat direct, Dubravka dan rekan-rekannya mesti tetap menjaga fokus. Berulang kali, mereka mesti mengingatkan diri untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun menghadapi lawan seperti itu.

Apes, yang terjadi justru sebaliknya. Gol bunuh diri Dubravka bukanlah satu-satunya gol bunuh diri dalam pertandingan tersebut—atau lebih tepatnya, bukanlah satu-satunya gol bunuh diri Slovakia pada laga itu. Rekan Dubravka, Juraj Kucka, menjadi korban dari scrimmage (pergumulan) di depan gawang yang lebih mirip sebuah permainan pinball ketimbang sepak bola. Di ujung pergumulan itu, Kucka tak sengaja menceploskan bola ke gawangnya sendiri.

Yang memuakkan dari nasib sial atau ketiban apes, hanya yang mengalaminya sendirilah yang menanggapinya dengan kecut, mereka yang melihatnya dari luar bisa saja menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu dan layak ditertawakan. Demikianlah yang dialami Dubravka, Kucka, dan para pencetak gol bunuh diri lainnya.

Kebetulan, Dubravka dan Kucka tak sendiri. Dubravka bukanlah satu-satunya penjaga gawang yang justru membobol gawangnya sendiri. Masih ada Lukas Hradecky (Finlandia) dan Wojciech Szczesny (Polandia). Jika Dubravka masih bisa dianggap berbuat salah karena menepak bola masuk ke gawang sendiri, tidak ada yang bisa dipersalahkan dari Hradecky dan Szczesny.

Dalam adegan yang diperankan Hradecky dan Szczesny, nasib lebih tampak seperti mempermainkan keduanya. Sampai-sampai mereka menjadi dua tokoh jenaka yang dipaksa untuk melakukan adegan slapstick. Baik Hradecky maupun Szczesny tidak menyangka jika bola sepakan dan sundulan lawan bakal memantul tiang lalu masuk ke dalam gawang setelah mengenai badan mereka.

Jika urusannya adalah mencari apa yang menyebabkan gol bunuh diri terjadi, memang mudah untuk menunjuk pemain-pemain seperti Dubravka, Hradecky, dan Szczesny—kendati ada unsur ketidaksengajaan pada dua yang disebut terakhir. Namun, bagaimana ceritanya pada gol bunuh diri Pedri?

Ada yang menyebut bahwa pada gol tersebut, kiper Spanyol, Unai Simon, kehilangan fokus. Ia terburu-buru melihat posisi rekan setim yang bisa ia jadikan sasaran operan. Masalahnya, menerima bola pun Simon belum. Maka, ia pun salah mengantisipasi arah datangnya bola sehingga alih-alih menahannya dengan kaki, bola ia biarkan masuk ke gawang sendiri.

Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa operan Pedri terlampau deras sehingga Simon kesulitan untuk menahannya. Namun, dengan jarak yang cukup jauh antara Pedri dan Simon, mengoper bola dengan kecepatan minimum bakal rawan untuk direbut lawan. Satu-satunya yang patut dipertanyakan hanyalah mengapa backpass yang diberikan Pedri melambung terlampau tinggi, alih-alih menyisir tanah?

Kejadian antara Pedri dan Simon menunjukkan bahwa sebuah proses gol bunuh diri juga bisa melibatkan aspek teknik dan taktik. Gol-gol bunuh diri yang tercipta atas nama Merih Demiral (Turki), Mats Hummels (Jerman), Ruben Dias (Portugal), dan Raphael Guerreiro (Portugal) juga bisa masuk ke dalam kategori ini.

Dalam proses keempatnya, kita melihat bagaimana tim yang sedang melakukan serangan menyasar area kosong (baik di sisi sayap maupun halfspace) untuk kemudian mengirimkan umpan ke area depan gawang. Dalam proses tersebut, seorang bek yang sedang melakukan aksi defensif tidak hanya harus mengantisipasi arah datangnya bola, tetapi juga pemain lawan yang mungkin menyelinap di belakang mereka.

Dalam proses gol bunuh diri Demiral, misalnya, ia harus menghalau bola karena jika tidak Ciro Immobile (Italia) sudah menguntit di belakangnya untuk mencecar bola. Sial bagi Demiral, bola malah berbelok ke gawang sendiri.

Dalam sepersekian detik pada situasi semacam itu, seorang pemain bertahan dihadapkan pada berbagai macam pertaruhan dan pertarungan. Ia tidak dibiarkan untuk mengambil keputusan yang salah.

Nahas, ketika akhirnya ia menjadi pesakitan karena melakukan kesalahan, yang tersisa biasanya bukanlah empati, melainkan beberapa jumput ironi dan komedi: Niat hati ingin menjadi penyelamat, eh, malah membunuh tim sendiri.