Isn’t It Good, Norwegian Wood?

Foto: Pinterest/Ygor Lobo Tenorio.

Jauh sebelum era Martin Odegaard dan Erling Haaland, Norwegia sudah terbiasa memunculkan satu atau dua pemain yang bisa mencuri perhatian. Namun, perjalanan mereka untuk memeluk zaman dan menjadi tim yang modern terbilang panjang.

Ada masa di mana Norwegia menjadi yang terbaik di antara yang termarjinalkan. Mereka bisa memberikan kejutan, meninju siapa-siapa saja yang congkak dan berbesar kepala.

Mei 1997, sekelompok anak mengerubung di sudut ruang kelas. Pembicaraan mereka hari itu tak jauh-jauh dari apa yang sedang ramai diperbincangkan di koran. Brasil, si Goliat penguasa dunia itu, takluk. Yang mengetapel kepalanya adalah si liliput, Norwegia.

Siapa pun yang mengetahui kabar tersebut memang layak untuk ternganga. Pertandingan antara Norwegia dan Brasil, yang berlangsung di Oslo, memang hanya berstatus laga persahabatan. Namun, Selecao memperlakukannya seolah-olah itu adalah ajang pamer etalase mewah mereka.

Sedemikian mewahnya, daftar sebelas awal pelatih Mario Zagallo waktu itu bisa kita baca selayaknya sebuah puisi: Claudio Taffarel, Cafu, Roberto Carlos, Mauro Silva, Celio Silva, Dunga, Leonardo, Djalminha, Marcio Santos, Romario, Ronaldo.

Pada musim panas tiga tahun sebelumnya, sebagian besar dari skuad itu cukup untuk membuat dunia bertekuk. Brasil, yang tak kehabisan talenta, terlihat masih bisa membawa dominasi itu sampai entah kapan.

Namun, hidup begitu mudah (dan indah) bila kita menutup mata. Di hadapan Brasil yang mahakuasa itu, yang Norwegia lakukan adalah berlagak polos dan tidak tahu-menahu. Supaya tidak silau, Norwegia memilih menutup mata atas segala kebesaran di hadapan mereka.

Buat Brasil, boleh jadi ini adalah sikap tidak tahu diri dan kurang ajar. Namun, jika kamu kecil dan dikerdilkan, tidak ada jalan lain dengan menghadapinya dengan bersikap kurang ajar sekalian. Toh, kalaupun akhirnya kamu kalah, boleh jadi kamu tidak kehilangan apa-apa lagi.

Dengan mental underdog seperti itu, Norwegia menyikat Brasil. Lewat setengah jam pertandingan, mereka sudah unggul 3-1. Sembilan puluh menit pertandingan, mereka menang 4-2.

Ini adalah Norwegia yang baru dua kali lolos ke Piala Dunia; satu kali pada 1938, satu kali lainnya pada 1994. Meski begitu, mereka justru urung tampil pada Piala Eropa 1996. Norwegia pada pertengahan era 1990an adalah tim yang menjanjikan, tetapi begitu naif.

Pemain-pemain mereka kala itu baru menjajaki kemungkinan untuk naik ke level “cukup bagus”, alih-alih—selayaknya bangsa Viking—menginjak-injakkan kaki mereka di tanah jajahan sebagai penguasa. Namun, dari Turki sampai Inggris, banyak klub mulai memperlakukan pemain-pemain Norwegia selayaknya pashmina sebagai tren mode: Tidak bisa tidak, pokoknya harus punya.

Sampai hari ini, Norwegia merupakan tim yang tidak pernah satu kali pun ditaklukkan oleh Brasil. Empat kali bertemu, Norwegia menekuk Brasil dua kali dan bermain imbang dua kali. Kemenangan kedua setelah Mei 1997 itu terjadi pada panggung yang lebih besar, Piala Dunia 1998. Pada laga terakhir Grup A, Norwegia yang kudu menang, menuntaskan kewajiban mereka dengan menekuk Brasil 2-1.

Lantas, di kemudian hari, bocah-bocah yang hari itu berkerubung di sudut kelas dan melahap Tabloid Bola selayaknya sebuah buku diktat, mulai belajar mengeja nama-nama itu: Tore Andre Flo, Ronny Johnsen, Alf-Inge Haaland, Eryk Mykland, Oyvind Leonhardsen, Egil Ostenstad, Ole Gunnar Solskjaer.

Foto: The Guardian.

***

Vinnie Jones adalah pria beringas. Bahkan ketika sudah menjadi aktor, peran-peran yang disodori kepadanya adalah peran-peran beringas—entah sebagai Juggernaut di ‘X-Men’ atau hooligan tak kenal aturan di ‘Eurotrip’. Ia menjadi embodi dari Wimbledon yang pada 1990an mendapatkan julukan The Crazy Gang karena mainnya kasar minta ampun.

Maka, ketika dia berucap dengan penuh kegeraman dan penyesalan bahwa “sayang sekali, aku tidak pernah bisa memukulnya”, ia pasti sedang kesal sekali. Orang yang dimaksud dan dijadikan sasaran kekesalan Jones adalah Egil Olsen.

Olsen adalah profesor, atau setidaknya begitulah orang-orang menjulukinya. Pada dekade di mana sepak bola begitu bergantung pada teknik dan skill, Olsen menerapkan pendekatan sains kepada timnya. Dengan tekun, ia meneliti data dan statistik. Dengan jeli, ia juga membedah timnya dan tim lawan lewat analisis video.

Dengan pendekatan seperti itu, Olsen memutar otak untuk menentukan gaya main seperti apa yang cocok untuk timnya. Terlebih, tim yang ia asuh datang dari negara yang lebih jago main ski daripada sepak bola. Mereka piawai berseluncur, tetapi tidak dengan menyepak bola.

Setelah menangani Lyn dan Aalesund pada dekade 1980an, Olsen diserahi tanggung jawab untuk menangani Timnas Norwegia pada Oktober 1990. Sedemikian buruknya tim itu, sampai-sampai Olsen harus bersikap sepragmatis mungkin. Ia menyadari bahwa Norwegia tidak diberkahi bakat melimpah dalam bersepak bola. Oleh karena itu, untuk bersaing dengan tim-tim terbaik, mereka harus bermain dengan cara yang cerdas.

Karena tidak cukup memiliki pemain-pemain dengan teknik dan skill kelas satu, Olsen memilih untuk bermain dengan direct. Baginya, cara paling jitu bagi timnya untuk memukul lawan adalah dengan melakukan transisi dari bertahan ke menyerang secepat mungkin. Dengan begitu, lawan tidak memiliki banyak waktu untuk menyusun ulang bentuk pertahanan mereka.

Selain mengusung gaya main direct dan mengandalkan serangan balik, Olsen juga percaya bahwa pergerakan tanpa bola bisa amat menyulitkan lawan. Manakala salah satu pemain di timnya menguasai bola, rekan-rekannya yang lain harus lari secara bersamaan dan menyasar ruang-ruang kosong di area lawan. Tujuannya jelas: Lawan jadi kebingungan harus mempertahankan area mana.

Jika lawan sudah kebingungan, barulah serangan dilancarkan. Biasanya dengan umpan langsung ke sepertiga akhir lapangan atau bola panjang kepada target man di kotak penalti. Sang target man harus memiliki kemampuan duel udara yang mumpuni, bisa mencetak gol, sekaligus menjadi pemantul. Inilah yang menjadi alasan Olsen mengedepankan Tore Andre Flo sebagai striker utama Norwegia ketimbang Ole Gunnar Solskjaer.

Norwegia-nya Olsen mau tidak mau harus bermain sekaku dan semetodis itu sebagai konsekuensi dari ketiadaan pemain-pemain yang berstatus bintang. Mereka, pemain-pemain itu, memang bagus, tapi jelas tidak berada satu level dengan Ronaldo ataupun Zinedine Zidane.

Menurut penelitian Olsen, 85% gol hadir dari pergerakan tiga operan atau kurang. Ia juga meyakini bahwa 2/3 gol lahir karena bola berhasil direbut sesegera mungkin di area final third. Dengan keyakinan ini, tidak heran apabila Norwegia-nya bermain dengan amat direct dan amat berpegang teguh kepada efektivitas.

Egil Olsen. Foto: Wikimedia Commons.

Sesekali, orang-orang merasa bahwa gaya main Norwegia asuhan Olsen begitu menjemukan dan membosankan. Ia bermain dengan 4-5-1 yang tidak begitu lazim digunakan pada era tersebut. Satu striker, baginya, sudah cukup karena ia hanya berperan sebagai target man dan pemantul. Pokoknya, begitu bola berhasil mereka kuasai, segera oper secepat mungkin ke depan.

Dengan cara seperti itu, Norwegia menghadirkan kejutan. Pertama-tama, pada laga perdana Olsen sebagai pelatih, mereka menggasak Kamerun, yang baru saja lolos sampai perempat final Piala Dunia 1990, 6-1. Lalu, Olsen membawa Norwegia lolos ke Piala Dunia 1994—pertama kalinya dalam 56 tahun sejarah tim nasional itu. Puncaknya, Brasil dua kali ia dan timnya kalahkan.

Dengan sederetan hasil impresif itu, Norwegia sempat menduduki posisi kedua peringkat FIFA. Ini jelas catatan yang luar biasa buat negara yang lebih jago main ski ketimbang menyepak bola. Olsen kemudian menjadi sosok legendaris di negaranya dan ini mengantarkannya ke Wimbledon pada 1999.

Namun, tidak ada emas di tanah Inggris. Sampai hari ini, Olsen dikenang sebagai pelatih yang justru membawa Wimbledon terjerumus ke divisi bawah. Catatan selalu tampil di divisi teratas—dari awalnya Divisi Satu lalu kemudian Premier League—sejak 1986, terhenti pada tahun 2000.

Di tangan Olsen, Wimbledon tampil medioker. Sebagai klub yang amat senang bermain dengan gaya kuno, semestinya gaya direct dan kaku Olsen bisa cocok. Nyatanya, Olsen dan Wimbledon tidak berjodoh. Entah karena terlalu metodis atau terlalu bikin pusing pemainnya. Yang jelas, kapten tim Wimbledon waktu itu, Robbie Earle, menyebut bahwa Olsen gagal mengeluarkan kemampuan terbaik masing-masing pemain.

Tidak sampai musim tuntas, Olsen sudah didepak. Namun, nasib sudah kadung dituliskan untuk Wimbledon: Musim itu, mereka tidak bisa menghindar dari degradasi. Jones pun murka.

Beruntunglah Olsen, ia terhindar dari satu kemalangan lagi. Karena sudah meninggalkan Wimbledon pada 1998, Jones tidak pernah sempat menjadi pemain asuhan Olsen. Bogem mentah dari si pria beringas itu pun tak pernah Olsen terima.

***

Ketika Solskjaer pertama kali datang ke Molde FK sebagai pelatih kepala, hal pertama yang ia lakukan adalah memutus tradisi. Solskjaer tumbuh dengan gaya klasik Norwegia dan pernah merasakan arahan Olsen. Namun, ia besar dengan gaya main yang lebih modern di Premier League.

Solskjaer, dalam dokumenter ‘Gunning for Glories’, menceritakan bagaimana Norwegia (termasuk Molde) amat gemar bermain dengan gaya klasik Inggris: Beradu fisik, berlari sekencang mungkin, dan banyak-banyak melepaskan umpan panjang langsung ke depan. Baginya, Molde tidak akan ke mana-mana selama masih setia dengan tradisi seperti ini.

Menurut The Guardian, gaya main seperti itu populer di Norwegia karena andil orang Inggris juga. Namanya Charles Reep. Di Inggris, Reep tidak begitu populer. Ia adalah seorang mantan akuntan yang kemudian menjadi tentara. Pada 1950, ia mendedikasikan diri untuk dunia analisis dan statistik sepak bola sampai akhirnya menyimpulkan bahwa long ball merupakan cara paling ampuh untuk bermain bola.

Norwegia mengadopsi mentah-mentah teori tersebut sampai kemudian zaman membuka mata mereka. Solskjaer hanyalah satu keping kecil yang membawa perubahan ke Liga Norwegia. Sebelum itu, beberapa talenta terbaik Norwegia menemukan kemujuran karena bisa mengasah diri mereka di luar negeri; John Carew, John Arne Riise, Brede Hangeland, hingga Morten Gamst Pedersen.

Setelah era itu berlalu, kini muncul lagi era baru di bawah kaki Martin Odegaard, Erling Haaland, Alexander Sorloth, hingga Jens Petter Hauge. Tanah Norwegia memang tidak diberkahi dengan bakat sepak bola yang melimpah, tetapi satu atau dua kali, bibit yang bagus bakal bermunculan.

Pada ‘Norwegian Wood’, John Lennon mengisahkan bagaimana dirinya diundang pulang oleh seorang perempuan. Di kamar sang perempuan, Lennon dipameri material bagus yang membuat si perempuan kemudian berkata, “Isn’t it good, Norwegian wood?

Lennon memang tidak berdecak kagum atas sugesti si perempuan tadi. Namun, cukuplah pertanyaan itu menyiratkan bahwa material dari Norwegia memang cukup indah untuk dipamerkan.