Italia Kalah

Foto: Twitter @Azzurri.

Permainan Makedonia Utara memang tidak memikat. Namun, permainan tidak memikat itulah yang akhirnya kembali menjerat Italia dengan kegagalan yang melahirkan kesedihan tak terperi.

Italia kalah bahkan sebelum Piala Dunia 2022 digelar.

Italia lagi-lagi gagal menembus Piala Dunia, kali ini mereka tak akan ada di Qatar. Ketika negara-negara lain berpesta, Italia hanya sanggup menatap nanar dari kejauhan. Gelar juara Eropa ternyata tak membantu apa-apa. Italia, yang sebelumnya dielu-elukan sebagai sekumpulan orang tua perkasa kini meringkuk di hadapan ketidakberdayaan. Kekalahan dari Makedonia Utara memang bukan satu-satunya penyebab, tetapi di pertandingan itulah Italia berhadapan dengan kekalahan menyakitkan.

Roberto Mancini yang awalnya dipuja sebagai kunci kebangkitan Italia kini dipertanyakan. Apa yang salah dengan Italia? Apa yang keliru? Apa yang tak tepat? Apa yang tak pantas? Tidak ada yang benar-benar bisa menjawab.

Kekalahan ini ibarat mesin waktu yang membawa orang-orang Italia ke suatu hari memalukan pada 1966. Ketika itu mereka kalah melawan Korea Utara. Bayangkan, Korea Utara. 

Kepalang naif untuk menjagokan Makedonia Utara di laga melawan Italia. Lihat saja peringkat FIFA. Makedonia Utara ada di peringkat 67, sedangkan Italia enam. Makedonia Utara kehilangan jagoan terbesar mereka, Goran Pandev, setelah Piala Eropa. Penggawa Napoli, Eljif Elmas, pun tak dapat turun arena.

Italia memang kehilangan dua pahlawan mereka, Leonardo Spinazzola dan Federico Chiesa. Tanpa Spinazzola, Italia seharusnya menyandarkan kekuatan mereka kepada nostalgia sepak bola Negeri Piza, pertahanan gerendel. 

Domenico Berardi yang diunggulkan tersebut nyatanya juga tidak mampu memanfaatkan kesalahan kiper Makedonia Utara, Stole Dimitrievski, di depan gawang. Kegagalan itu mengingatkan orang-orang akan ketidakmampuan serupa Berardi saat berhadapan satu lawan satu dengan Yann Sommer pada laga melawan Timnas Swiss di Basel. 

Begitu pun dengan kegagalan dua eksekusi penalti Jorginho pada laga melawan Swiss. Bisakah dibayangkan, Jorginho yang gagal mengecoh Jordan Pickford di final Piala Eropa kembali mengeksekusi duel satu lawan satu tersebut?

Gianluigi Donnarumma adalah pesakitan lain. Kesalahannya di depan gawang mesti dibayar mahal dengan gol kemenangan Makedonia Utara yang dicetak oleh Aleksandar Trajkovski pada perpanjangan waktu. Kesalahan itu semakin menegaskan bahwa jam bermain di level klub yang minim menumpulkan keperkasaan Donnarumma di bawah mistar. Ironisnya, Donnarumma tercatat sebagai shot-stopper goalkeeper, tipe penjaga gawang yang paling bersinar di Piala Eropa.

Melawan Makedonia Utara, Italia tampil perkasa. Mereka memenangi 65% penguasaan bola dan melepas 32 tembakan. Namun, siapa yang menyangka keperkasaan itu semu? Tak ada satu pun dari 32 tembakan itu yang berhasil dikonversi menjadi gol. Pertahanan Makedonia Utara dan penjagaan Dimitrievski di depan gawang adalah kejutan yang meruntuhkan logika sepak bola. Kedua aspek itu membuat gawang mereka aman di tengah gempuran serangan Italia. 

Serupa dengan Mancini yang kehilangan kata-kata di konferensi pers, tak ada yang benar-benar dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Italia. Barangkali satu-satunya hal paling masuk akal yang dapat diambil adalah kreativitas mereka dalam menyelesaikan peluang. Ke-32 tembakan tersebut mengisyaratkan bahwa sebenarnya Italia tidak memiliki masalah dalam mengkreasikan peluang. 

Namun, kreativitas dalam sepak bola tidak hanya bicara tentang membuat peluang, tetapi juga mengubah peluang menjadi gol. Ketika Chiesa masih memperkuat Italia di Piala Eropa, mereka memiliki sosok yang dapat diandalkan kala buntu. Terlalu mudah untuk menyebut penyerang tengah, Ciro Immobile, sebagai biang kerok di laga tersebut. Namun, sebenarnya ini adalah kegagalan kolektif. Toh, performa Immobile telah menurun sejak Piala Eropa 2020. Jika ada pembicaraan tentang sang penggawa Lazio, itu hanya berkisar kepada isu kepindahannya ke Toronto.

Situasi makin parah buat Italia karena penerapan low-block Makedonia Utara juga berhasil. Bayangkan saja, tiga pemain depan Italia acap berada dalam situasi 3 vs 5 atau bahkan 3 vs 7.

Ketika Italia tidak mampu menyerang dengan baik, seharusnya mereka tidak bertahan dengan menyerang, tetapi benar-benar bertahan. Pemilihan bek Alessandro Florenzi, Giorgio Chiellini yang menggantikan Gianluca Mancini, Alessandro Bastoni, dan Emerson pada akhirnya tidak sanggup menjawab apa yang sebenarnya dibutuhkan Italia ketika mereka tidak sanggup menyelesaikan peluang.

Dalam serangan yang berakhir dengan sorak kemenangan Makedonia Utara itu, Italia mengalami disorganisasi. Sisi kanan pertahanan mereka kosong. Trajkovski berhasil melepaskan diri dari kejaran dua pemain Italia dan mengincar ruang kosong di sebelah kanan. Masalahnya, Italia mengepung sisi kiri Trajkovski. Keputusan ini agaknya diambil karena Trajkovski terlihat berlari ke arah kiri sehingga para penggawa Italia terkecoh. Tendangan itu terlihat seperti upaya spekulatif. Namun, kegagalan Donnarumma mengantisipasi menjadi sembilu yang menyayat jantung Italia.

Kekalahan Italia adalah isu menyedihkan. Chiellini menyebut Italia dihancurkan dan diremukkan. Mungkin, siapa tahu, itu adalah ungkapan kesedihan terdalam yang bisa diucapkan sang legenda ketika pelatihnya, Mancini, tak sanggup berkata apa-apa. Namun, bisa jadi itu lebih dari sekadar ungkapan kesedihan. Barangkali itu adalah lolongan ketidakberdayaan melawan ketidaksanggupan Italia untuk bangkit, untuk melepaskan diri dari ketakutan terbesar mereka, gagal menembus Piala Dunia.

Pada akhirnya, Italia kalah sebelum pesta di Qatar dimulai. Cerita-cerita tentang keberhasilan merengkuh gelar juara Eropa tenggelam di antara tangisan Berardi, kelelahan Jorginho, dan kekeliruan Donnarumma. 

Italia memang melakukan apa yang harus dilakukan oleh setiap tim yang turun arena, menyerang. Namun, mungkin Italia harus mengingat ini baik-baik, bahwa sepak bola profesional dimainkan untuk dimenangi, bukan dinikmati. 

Permainan Makedonia Utara memang tidak memikat. Akan tetapi, permainan tidak memikat itulah yang akhirnya kembali menjerat Italia dengan kegagalan yang melahirkan kesedihan tak terperi.