Italia Sedang Tidak Butuh Superstar

Foto: Twitter @azzurri.

Roberto Mancini tidak membutuhkan tim yang penuh dengan pemain bintang. Ia menginginkan tim yang selalu tahu bagaimana cara menghasilkan kemenangan.

Gianluigi Buffon tertunduk ketika Italia dinyatakan gagal lolos ke Piala Dunia 2018. Orang-orang geram. Mereka pikir manusia macam apa yang tega membuat Buffon tertunduk lesu seperti itu. Pesepak bola seperti apa yang sanggup membiarkan Buffon menutup kariernya bersama Timnas dengan sedu-sedan di sudut ruang ganti.

Daniele de Rossi meradang, tetapi tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Yang terlihat di depannya adalah para pemain Swedia yang bersorak-sorai atas gol. Apa boleh buat, Swedia menutup leg pertama Kualifikasi Piala Dunia 2018 dengan riang gembira sambil membawa kemenangan 1-0.

Tiga hari setelah kekalahan yang sama berisiknya dengan cemooh suporter Italia sendiri, De Rossi mengumpat kepada asisten pelatihnya di bangku cadangan. Ketika itu skor masih imbang 0-0. De Rossi ditunjuk untuk masuk sebagai pemain pengganti. 

De Rossi tahu persis yang mereka butuhkan saat itu kemenangan, bukan hasil imbang. Ketimbang menyuruhnya turun arena, akan lebih baik jika pemain klinis seperti Lorenzo Insigne yang turun tangan. Pada akhirnya, Italia tidak sanggup membuat satu gol pun. Kata De Rossi, begitulah jika pesepak bola berkompromi pada kemenangan.

Buffon dan De Rossi adalah anak kandung sepak bola Italia yang sangat mengagungkan kemenangan. Suporter Italia tidak akan sudi berteriak “If you can’t support when we lose, you can’t support us when we win” sambil menepuk dada seperti orang-orang Inggris. 

Jika kalah, tim yang dipuja suporter Italia adalah pecundang. Yang namanya pecundang, ia tak pantas mendapat puja-puji dan pelukan penggugah semangat.

Bagi orang-orang Italia, sepak bola lebih dari identitas. Italia memperlakukan fanatisme sepak bola sebagai iman. Jika ada yang mengusik iman--sekalipun itu adalah tim sendiri--mereka akan turun ke lapangan dan menuntut perubahan secepat dan sebenar-benarnya. Tidak mau berubah, silakan angkat kaki sebelum rumahmu habis jadi bulan-bulanan.

Entah bagaimana caranya pula watak yang memandang kegagalan untuk menang sebagai perkara najis tidak ada dalam sepak bola Italia ala Giampiero Ventura. Italia yang berlaga di Kualifikasi Piala Dunia itu adalah Italia yang klemar-klemer

Tidak ada pertahanan tangguh yang membuat lawan memutar jalan ketika para bek mengadang. Tidak ada lesakan di depan gawang yang menggebu-gebu. Teriakan dalam amarah para penggawa Italia saat menyanyikan lagu kebangsaan tidak ubahnya seremonial belaka.

Kalah sejak dalam pikiran, barangkali itu yang membuat Italia sempat terseok. Lalu Gazzetta, harian berwarna pink kebanggaan orang-orang Italia, mengabadikan kejatuhan itu dalam headlineLa Fine”. Tamat. Selesai.

***
Roberto Mancini tidak pernah main-main dengan sepak bola, bahkan sejak rambutnya masih berwarna cokelat dan berpotongan bob, bahkan ketika ia memperlihatkan diri sebagai anak baru gede dengan kumis pertama yang menggelikan saking tipisnya.

Mancini meninggalkan kampung halaman dan keluarganya sejak berusia 13 tahun demi sepak bola. Ketika kawan-kawannya terkikik-kikik sambil tersipu malu saat menerima surat cinta pertama dari gebetan, Mancini menahan muak karena tim akademi sepak bolanya gagal melangkah ke partai final.

Tahun pertama sebagai pesepak bola muda adalah periode tersulit bagi Mancini. Namun, kebencian akan kekalahan membuatnya selalu kembali ke lapangan pada pagi hari. Mancini cuma mau menang. Ia tidak suka ambil bagian dalam apa pun hanya untuk tidak juara.

Kegagalan menembus Piala Dunia 2018 membuat dunia berpikir bahwa itu adalah akhir sepak bola Italia. Anggapan itu mungkin ada benarnya. Namun, akhir tidak selalu berarti selesai. Akhir bisa menjadi tapal batas bagi awal yang baru.

Namanya Maurizio Viscidi. Dialah yang melihat tanda-tanda kehidupan ketika dunia menyangka sepak bola Italia sudah mati.

Catenaccio atau pertahanan gerendel adalah watak yang membuat sepak bola Italia memiliki ciri khas. Ketangguhan para bek dan pemain bertahan lainnya adalah kunci yang mempampatkan serangan lawan.

Masalahnya, Italia membawa catenaccio itu sampai kepada cara mereka menghidupi sepak bola. Sebagian mereka yang mengikuti sepak bola Italia era 1990-an akan tetap menyaksikan sejumlah pemain berlaga untuk italia pada era 2000-an. Italia menjadi tim yang bergantung pada pemain yang itu-itu saja, bahkan sampai si pemain menjejak pada usia yang tidak wajar untuk membela Timnas. 

Sikap itu merambat pada bagaimana mereka memperlakukan taktik. Para petinggi sepak bola Italia konon begitu mendewakan permainan bertahan ala Italia, padahal mereka tidak lagi hidup di zaman yang takluk pada sistem itu. Jika bicara tentang sepak bola, Italia menjadi negeri yang kolot dan tak lagi relevan.

Agak menggelikan ketika para petinggi Italia tidak mau lagi memiliki pelatih seperti Antonio Conte yang bukan hanya menganggap pertandingan sebagai pertaruhan hidup dan mati, tetapi pelatih yang menolak bersetia pada satu taktik. Baginya taktik hanyalah alat atau kendaraan untuk mencapai kemenangan.

Maka ketika ikut bekerja bersama Timnas Italia, Viscidi mengambil tugas mengoordinasikan perluasan sektor kinerja, kepanduan, dan analisis pertandingan FIGC. Viscidi juga terang-terangan mengekspresikan rasa muaknya pada kecenderungan pelatih Italia yang--mengutip James Horncastle--lebih suka mencari nama daripada membentuk pemain. Barangkali itulah sebabnya Timnas Italia dalam beberapa periode terakhir kerap diisi oleh nama-nama besar yang sebenarnya tidak buruk, tetapi sudah habis masanya.

Rupanya Mancini segendang sepenarian dengan Viscidi. Tim ini tidak lagi dipenuhi oleh seabrek pemain yang pernah menjadi bintang di masa lalu. Bahkan Italia versi sekarang tampak seperti tim yang tak peduli-peduli amat dengan persoalan kebintangan. Italia tampil dalam wajah segar para talenta muda seperti Giacomo Raspadori, Nicolo Zaniolo, Alessandro Bastoni, Nicolo Barella, dan Federico Chiesa. 

Barangkali akan terdengar ngawur jika mengatakan bahwa perubahan yang diciptakan Mancini dan Viscidi melepaskan kesan legendaris pada Italia. 

Mungkin banyak yang tak rela menyaksikan Italia yang sekarang sebagai tim yang tidak membutuhkan konduktor tunggal seperti Andrea Pirlo yang menggubah permainan menjadi megah. Bahwa sekarang Mancini gigih membentuk Italia sebagai tim yang memercayai perpaduan dua gelandang tak catchy, Jorginho dan Barella, untuk mengatur permainan. Jika Jorginho mengatur permainan dengan umpan-umpan sederhana, Barella mengacaukan permainan lawan dengan pergerakan tanpa bolanya.

Agaknya banyak suporter meninggalkan stadion sambil menggenggam erat-erat ingatan tentang Francesco Totti dan Filipo Inzaghi yang berulang kali 'moksa' ketika sampai di tiga perempat akhir lapangan. Tidak ada pertunjukan tunggal yang membuat mereka menahan napas karena yang sekarang terlihat di depan mata adalah kombinasi duet penyerang sayap, Lorenzo Insigne dan Domenico Berardi. 

Jika dulu dimanjakan dengan fantasi liar yang mengepul hampir setiap kali Roberto Baggio menggiring bola ke gawang lawan, orang-orang Italia kini disuguhi dengan kenyataan bahwa pemuda seperti Chiesa tak punya waktu untuk bersenang-senang. Ia harus bisa menjadi apa pun yang dibutuhkan Italia. Hari ini menjadi penyaji peluang, besok menjadi pencetak gol.

Mancini bukan pelatih yang membutuhkan pemain bintang. Ingat-ingat lagi apa yang dilakukannya saat menjadi pelatih Manchester City. Ia sadar betul bahwa Samir Nasri adalah pemain hebat, ia mafhum benar bahwa ia memberikan kesempatan kepada Joe Hart bahkan ketika tidak ada satu orang pun yang memercayai sang kiper. 

Pada suatu waktu Mancini memberi kesempatan dan memuji keduanya, pada waktu yang lain--ketika melihat bahwa keduanya merasa cukup hanya bermain dengan 80%--Mancini akan membuat dunia mendengar setajam apa kritikannya kepada mereka.

Dalam kasus Italia yang sekarang, watak itu membuat Azzuri seperti menemukan diri mereka sendiri, hidup yang baru. Italia melepaskan beban-beban tak perlu untuk tampil parlente di setiap lagi yang apesnya, justru memberatkan langkah mereka. Tidak ada lagi tuntutan untuk tampil elegan dan memesona.

Kini Italia menjejakkan kaki ke lapangan dengan derap ibarat tentara Romawi. Sekarang Italia sama mengerikannya dengan Romulus yang membunuh Remus.

Ajaibnya, Italia yang seperti ini adalah Italia yang tidak pernah menelan kekalahan sejak 2020 hingga 2021. Tanpa tendensi untuk menjadi skuad mewah, mereka justru menutup 13 pertandingan dengan 10 kemenangan dan 3 imbang.

Bersama Mancini, Italia tidak perlu bermain elegan walau pundit seperti Michael Cox menyebutnya sebagai Tikitalia. Mancini tidak peduli dengan istilah, ia hanya membutuhkan kemenangan. Barangkali obsesinya akan kemenangan itu yang membuatnya berkata, "Aku tidak perlu dibuatkan patung. Aku mau dianugerahi gelar kesatria."