Jalan Nasib Kiper-Kiper Serep

Ilustrasi Gregor Samsa oleh jezabel7.

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan, tetapi mati muda. Dan yang tersial adalah menjadi kiper kedua apalagi ketiga atau keempat. Rasa-rasanya memang begitu.

Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan, tetapi mati muda. Dan yang tersial adalah menjadi kiper kedua apalagi ketiga atau keempat. Rasa-rasanya memang begitu.

Lebih sial lagi, kita tidak bisa memilih nasib yang menimpa kita. Gregor Samsa terbangun pada suatu pagi dan mendapati dirinya menjadi kecoak raksasa. Namun, mana yang lebih baik: Mendapati dirimu terbangun sebagai kecoak raksasa atau Setya Novanto?

Tak semua dari kita bisa berserah menerima nasib begitu saja. Beberapa rela bergulat demi sesuatu yang lebih baik. Beberapa lainnya bergulat lebih dulu meski ujung-ujungnya berpasrah juga.

Para kiper di lapangan menjalani kehidupan paling sunyi. Status mereka jarang betul disebut dalam penyebutan formasi —kita biasa menyebut penomoran formasi sebagai, misal, 4-3-3 dan bukannya 1-4-3-3. Bagi kiper, nirbobol dan kemasukan satu gol adalah batas tipis menjadi pahlawan atau pesakitan.

Malah seringkali keberhasilan sebuah tim menjaga nirbobol tidak sepenuhnya dikreditkan kepada kiper; biasanya ada peran para palang pintu di hadapannya juga. Pengecualiannya hanya jika barisan pertahanan di depan mereka betul-betul buruk.

Para kiper berpasrah dengan nasib seperti ini. Mereka mempertaruhkan badan, jatuh bangun menghadapi sepakan, tetapi batas untuk menjadi pahlawan atau pesakitan itu bisa jadi tergantung apakah satu dari sepakan itu melewati mereka atau tidak.

Kalau menjadi kiper saja sudah begitu berat, bagaimana dengan menjadi kiper kedua, ketiga, apalagi keempat? Maukah kamu menerima nasib pada suatu pagi dengan terbangun sebagai kiper serep?

***

Sergio Romero punya jalan hidup yang tidak biasa. Ia boleh tercatat sebagai kiper Tim Nasional Argentina yang mengawal gawang mereka pada final Piala Dunia 2014. Namun, kariernya sebelum itu —hingga sesudahnya— tidak pernah beranjak dari peran sebagai kiper serep.

Romero adalah kiper cadangan AS Monaco sebelum Piala Dunia 2014 berlangsung. Setelahnya, ia juga menjadi kiper pelapis di Manchester United. Romero berpasrah pada nasib yang dijatuhkan padanya ini. Ia bahkan tidak mengeluh satu kali pun —setidaknya tidak di hadapan kita.

Malah, Romero mendapatkan respek berlebih dari para pendukung United. Mereka menerimanya sebagai pelapis yang bisa diandalkan manakala David de Gea mesti diistirahatkan.

Sudah tiga musim terakhir ini Romero tidak tampil satu kali pun di Premier League. Seluruh pertandingan liga pada kurun waktu tersebut sepenuhnya menjadi milik De Gea. Romero hanya kebagian jatah turnamen-turnamen domestik ataupun Liga Europa.

Namun, sungguh bahwa frase “hanya kebagian jatah” di atas sebetulnya tidak betul-betul menggambarkan kemalangan buat Romero. Pada 2017, misalnya, ia menjadi pahlawan United ketika mengawal gawang kesebelasan tersebut pada final Liga Europa.

Manajer United kala itu, Jose Mourinho, berlaku adil. Sepanjang turnamen, ia mempercayakan gawang United dikawal oleh Romero. Maka, meskipun De Gea adalah kiper utama tim, ia tetap memberikan Romero hadiah yang semestinya ia dapatkan: Menjadi kiper pada laga final.

Yang menyakitkan, tentu saja, terjadi pada musim 2019/20. Setelah sembilan kali tampil di pertandingan kontinental, Romero ditepikan begitu United memasuki fase krusial Liga Europa. Oleh Ole Gunnar Solskjaer, De Gea kembali dipercaya mengawal gawang United.

Si ‘Iblis Merah’ akhirnya memang tidak menjadi juara. Saya melihat beberapa pendukung United mengumbar kelakar bahwa kegagalan itu adalah akibat kualat terhadap Romero. Namun, tentu saja, persoalannya tidak sesederhana kualat atau bukan —memang United saja yang tidak becus buat menang karena bermain buruk.

Musim ini, Romero tertepikan. Kedatangan Dean Henderson, yang tampil begitu piawai mengawal gawang Sheffield United, membuat United merasa bahwa mereka mendapatkan dua kiper yang sama baiknya dan bisa saling berkompetisi satu sama lain.

Romero telah meminta untuk dilepas. Namun, sampai bursa transfer ditutup, nasibnya menggantung begitu saja; dimainkan tidak, dilepas pun tidak.

Satu-satunya yang diuntungkan dengan situasi ini sebetulnya cuma United. Kapan lagi punya kiper pertama, kedua, dan ketiga yang kemampuannya tidak berbeda jauh? Beruntung mereka bukan Liverpool.

***

Ada alasan mengapa para pendukung Liverpool baru-baru ini merasa lega melihat Alisson Becker kembali mengawal gawang mereka. Salah satu alasannya, tentu saja, karena Alisson memang sebagus itu. Dia adalah salah satu faktor keberhasilan The Reds menjuarai Liga Champions dan Premier League dalam beberapa musim terakhir.

Alasan lainnya adalah karena kiper pelapis Alisson, Adrian San Miguel, acap bikin pening suporter dan rekan setimnya sendiri. Joe Gomez sempat tertangkap kamera geram bukan main karena Adrian maju menyapu bola yang semestinya bisa diamankan Gomez.

Keberadaan Adrian membuat Alisson layak diperlakukan seperti pusaka. Satu kali ia cedera panjang, habis sudah Liverpool. Jalan satu-satunya adalah memperbaiki departemen penjaga gawang; mereka kudu mencari kiper yang kemampuannya tidak berbeda jauh dari Alisson, tetapi mau untuk diperlakukan sebagai serep.

Boleh jadi, itu bukan perkara mudah. Punya kemampuan bagus, tetapi hanya duduk di bangku cadangan dari pekan ke pekan dan menyaksikan si nomor satu tampil konsisten, hanya menambah rasa gatal saja.

Klub-klub besar pun seperti hidup di dalam limbo: Di satu sisi, mereka mesti memiliki (setidaknya) dua kiper yang sama baiknya untuk jaga-jaga. Di sisi lain, menemukan kiper yang seperti itu tidaklah mudah.

Arsenal beruntung memiliki Emi Martinez. Ketika Bernd Leno cedera pada musim kemarin, Martinez tampil luar biasa dan menjadi salah satu faktor keberhasilan mereka menjuarai Piala FA 2020. Kini, Martinez sudah hengkang untuk merasakan hidup sebagai pilihan utama di Aston Villa.

***

Dalam wawancaranya dengan BBC, Rob Green menggambarkan kepasrahan seorang kiper serep dengan amat sempurna. Pada 2018, Green yang pada waktu itu berusia 38 tahun, mendapatkan tawaran untuk menjadi kiper ketiga Chelsea.

Green menerima tawaran itu begitu saja, bahkan tanpa bertanya berapa bayaran yang bakal ia dapatkan. Menurutnya, uang tidak pernah menjadi faktor. Sudah menjadi kiper ketiga, kontraknya pun pendek: Hanya satu musim.

Green adalah kiper utama Inggris pada Piala Dunia 2010. Namun, hidupnya di Chelsea seperti sudah penghabisan saja. Ia selalu masuk dalam daftar 25 pemain yang dibawa untuk bermain. Namun, pekerjaannya sudah selesai bahkan sebelum sepak mula berlangsung.

“Aku menghadiri semua meeting, melakukan semua persiapan pra-pertandingan, melakukan pemanasan dan membantu apa pun yang aku bisa —entah membantu memunguti bola, mengadang tembakan, atau menangkap umpan-umpan,” kata Green.

“Lantas, ketika para pemain bersiap untuk memasuki lapangan, aku bersalin dan seringnya, pada pertandingan tandang, pergi untuk duduk di tribune dan menyeruput secangkir teh.”