Jangan Jadi Ayah yang Payah

Foto: Twitter: @TheoHernandez

Theo Hernandez memiliki alasan masuk akal untuk tidak berurusan dengan sepak bola. Namun, ia memilih untuk membentuk diri sebagai salah satu fullback modern terbaik yang dimiliki Milan.

Ketakutan terbesar sebagian laki-laki adalah menjadi ayah yang payah. Cara terbaik untuk menjadi ayah yang baik adalah dengan memperlakukan anakmu sebagai anak. 

Kau tidak perlu membanjirinya dengan barang-barang mahal dan memenuhi seluruh keinginannya. Kau hanya perlu menjaga dirimu baik-baik agar kau tidak menjadi seorang bajingan. Dengan cara itu, lehernya akan segera menunduk ketika kepalanya mulai membesar. Kau hanya perlu ada bersamanya selama kau belum ditakdirkan untuk pergi atau melepasnya. Dengan demikian, ia akan punya alasan untuk mendongak kepadamu setiap kali dunia membuatnya merasa kecil. 

Kau hanya perlu mendengar selama ia mampu mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Dengan langkah itu, ia akan datang kepadamu setiap kali kau merasa tidak ada lagi telinga yang terbuka untukmu. Kau hanya perlu memberi pengertian dan merangkul pundaknya ketika dunia dan sebagian isinya membingungkannya. Dengan begitu, kaki dan bahunya akan tetap tegar meski ia babak-belur ketika dunia tidak sedang mengizinkan untuk saling memeluk.

***

Jean-François HernandezTidak banyak yang mengingat namanya. Tanah Prancis yang terbuka dengan segala perkara baru dan orang-orang yang tak diterima dunia pun tidak mengenalnya sebagai karib. Lahir di Tours, Prancis, ia tumbuh sebagai pemuda penggila sepak bola. Dia bergabung dengan Toulouse saat berusia 19 tahun dan merengkuh impiannya bersama Olympique Marseille pada 1995. Ketika itu usianya 26 tahun, tak bisa lagi disebut muda, tetapi belum pantas disebut uzur. 

Meski mendominasi Ligue 1 dari 1988 hingga 1992, Marseille adalah klub dengan reputasi buruk. Ceritanya bermula pada 1986, ketika presiden klub, Bernard Tapie, menjalankan manuvernya untuk menjadi penguasa. Ia membeli Adidas, memiliki tim balap sepeda juara Tour de France, dan mendatangkan pemain-pemain yang diperhitungkannya sebagai yang terbaik. Dengan cara itulah ia membuktikan bahwa Jay Gatsby tidak hanya ada di novel karangan Scott Fitzgerald, tetapi di dunia nyata. Berpesta semalam suntuk, berhahahihi dengan para pesohor dan konglomerat di kapal pesiar.

Beberapa hari sebelum pertandingan liga melawan Valencieness pada Mei 1993, iblis mengukuhkan takhtanya di dalam kepala Tapie. Ia mengetahui bahwa beberapa pemain Valencieness merupakan teman salah satu pemainnya, Jean-Jacques Eydelie. Ia menyuruh Eydelie untuk mengirimkan amplop berisi uang kepada istri salah satu pemain Valencieness. Uang itu adalah tanda bahwa pemain-pemain Valencieness tadi berjanji tidak akan bermain sungguh-sungguh ketika melawan Marseille. 

Laga itu krusial karena digelar beberapa hari jelang partai puncak Liga Champions 1992/93 yang mempertemukan Marseille dan AC Milan. Tapie ingin timnya bermain dengan kekuatan penuh dan energi yang tidak setengah. Marseille akhirnya menjadi juara Liga Champions 1992/93. Mereka bahkan menjadi tim Prancis pertama yang menguasai langit Eropa. 

Namun, iblis tak akan membiarkanmu tersenyum lama walau kau telah berjanji untuk berkawan dengannya. Beberapa hari setelah duel melawan Milan, aroma busuk skandal pengaturan laga tercium. Polisi Prancis menggeledah salah satu rumah pemain Valencieness dan menemukan uang 250.000 franc dikuburkan di salah satu sudut pekarangan. Ketika elu-elu sebagai raja Eropa belum habis terdengar, Marseille dipaksa menanggung nestapa dan dihukum bermain di divisi dua selama dua musim.

Jean-François Hernandez datang ketika Marseille berkubang di divisi dua itu. Ia ikut membantu timnya promosi ke Ligue 1 dengan status runner up Ligue 1995/96. Namun, kisahnya di Marseille tidak serupa Gianluigi Buffon atau Alessandro Del Piero saat Juventus terdepak ke Serie B, yang dianggap heroik karena mau bertahan ketika tim degradasi dan membantu kembali tim naik ke Serie A. Jean-François, sementara itu, tidak punya pilihan karena ia bukan pemain menonjol. Ia datang ketika Marseille memang sudah turun divisi dan ketika membantu tim kembali ke divisi teratas, tak ada elu-elu serupa.

Saat berusia 30 tahun, Jean-François menyadari bahwa ia tak lagi bisa berlama-lama di Prancis. Menetapkan Spanyol sebagai tujuannya, Jean-François memboyong istri dan dua anak laki-lakinya meninggalkan Prancis. Apes, roda nasib tak berputar untuknya di Spanyol. Jean-François hanya berlaga untuk tim-tim gurem yang namanya pun membuat dahi sebagian penonton sepak bola berkerut. 

Satu-satunya tim bernama yang dibelanya adalah Atletico Madrid pada 2000. Itu pun ketika Atletico masih bertanding di Segunda Division. Pada 2001/02, Jean-François kembali ke tim lamanya, Rayo Vallecano. Di sanalah segalanya berubah. 

Pertemuannya dengan seorang selebritas Spanyol membuatnya mengambil keputusan yang selamanya akan dikenang sebagai keputusan sampah oleh keluarganya. Jean-François berangkat ke Portugal, meninggalkan istri dan kedua anak laki-lakinya, tanpa pernah kembali. Anak pertamanya bernama Lucas Hernandez, anak keduanya bernama Theo Hernandez.

***

Sebagian cerita sepak bola kita berawal dari ayah. Mulanya kita tak paham mengapa ia rela terkantuk-kantuk di depan televisi hanya untuk berteriak-teriak menonton sepak bola sampai menjelang subuh. Karena penasaran, kita ikut mengintip pada satu atau dua akhir pekan. Tahu-tahu kita lihai betul mengatur strategi agar tak ketahuan ibu saat menonton laga sepak bola pada hari sekolah. 

Sepak bola Hernandez bermula dari cerita yang mirip. Seburuk-buruknya sang ayah, ialah yang mewariskan bakat dan kegilaan sepak bola kepada keduanya. Apa boleh buat, di tengah-tengah kegembiraan sepak bola ala bocah, ingatan akan keputusan sampah sang ayah tak bisa benar-benar pergi.

Berbeda dengan kakaknya--Lucas--yang langsung dilirik tim utama Atletico Madrid, Hernandez melakoni langkahnya sebagai pesepak bola lewat jalur yang lebih terjal. Dalam dua tahun pertama kariernya sebagai pesepak bola senior, ia hanya bermain bersama Atletico B. Itu pun mengalami masa peminjaman ke Alaves pada 2016 hingga 2017. Segala sesuatunya mungkin terlihat membaik ketika Real madrid menyodorkan kontrak untuknya pada 2017. Apes, Hernandez lagi-lagi menjadi pemain yang dipinjamkan.

Tapal batas baru Hernandez bermula ketika ia hengkang ke AC Milan pada 2019. Di bawah kepemimpinan Paolo Maldini sebagai direktur teknik, Milan berambisi untuk bangkit dari keterpurukan bertahun-tahun. Membangunkan raksasa yang tidur panjang, Maldini dan timnya bergerak mendatangkan pemain-pemain penuh potensi dengan harga yang tak mahal-mahal amat.

Ketika Maldini sendiri yang mendatangkan seorang bek, itu adalah pertanda baik. Maldini adalah legenda garis pertahanan Italia dan Milan. Ia sudah pasti tahu persis apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang bek dengan kualitas tak main-main.

Kita hidup di era sepak bola modern yang menempatkan peran fullback modern sama krusialnya dengan playmaker. Di periode terdahulu, entah berapa banyak penggila sepak bola yang menjadikan para gelandang serang seperti Kaka atau Andrea Pirlo sebagai pemain favorit. 

Namun, sepak bola bergerak. Kini para pemain bertahan seperti Trent Alexander-Arnold tak kalah seksi. Anak muda Liverpool ini menjadi salah tokoh penting yang membuat peran fullback menjadi lebih mewah. Fullback modern ibarat kursi panas di tim raksasa di Eropa. Keberadaan mereka krusial karena sepak bola modern membutuhkan serangan yang dimulai dari area paling belakang.

Syukurlah Hernandez bukan fullback ketinggalan zaman. Bukan perkara asing jika kita menyaksikannya menerobos pertahanan dari posisi terdalam--baik dengan atau tanpa bola--di sepanjang pertandingan. Ketika tidak sedang bermain melebar demi mengokohkan pertahanan timnya, Hernandez dengan lihai beroperasi di ruang tengah. Kegigihannya untuk selalu berkontribusi mengantarkan bola ke area penyerangan menjadikannya sebagai salah satu senjata terbaik yang dimiliki Milan asuhan Stefano Pioli.

Pelatih berkebangsaan Italia itu paham bagaimana memaksimalkan potensi Hernandez. Ia mendapuk anak didiknya itu sebagai elemen penting ketika Milan ada dalam fase transisi dari bertahan ke menyerang. Daya ledak, kecepatan, dan kontrol bola merupakan kualitas yang membuat permainan Hernandez vital bagi sistem yang dibangun Pioli. 

Mengutip statistik Opta pada musim 2020/21, Hernandez mencatatkan rerata 8,68 progressive carry di pertandingan liga dengan 3,22 di antaranya sampai ke sepertiga akhir. Torehan tersebut menjadi yang tertinggi di antara para fullback Serie A. 

Progressive carry menjadi salah satu elemen serangan yang penting. Jika diterjemahkan, progressive carry adalah keberhasilan pemain menggerakkan bola setidaknya lima meter ke arah gawang lawan. Itu artinya, pada musim lalu, Hernandez jauh lebih terlibat dalam aksi serangan dibandingkan pemain-pemain yang telah lama dikenal sebagai pembawa bola progresif seperti Lorenzo Insigne atau Cristiano Ronaldo.

Dalam pakem 4-2-3-1, Pioli menitikberatkan serangannya di tepi kiri sehingga Hernandez dan Rafael Leao menjadi kunci bagi permainan ofensif Milan. Keberanian Hernandez untuk melakukan overlapping run merupakan atribut yang dapat menciptakan peluang bagi Leao yang cenderung bermain melebar. Bahkan peluang seperti ini bisa muncul saat Hernandez sedang tidak memegang bola. 

Ambil contoh dalam proses gol Leao ke gawang Lazio. Pemain Portugal ini mengambil bola di area tengah, lalu memulai serangan balik Milan. Merespons pergerakan tersebut, gelandang Lazio, Lucas Leiva, memberi isyarat kepada Adam Marusic untuk melacak dan mengantisipasi langkah Hernandez.

Sederhananya, Leao menggunakan overlapping run Hernandez sebagai umpan sehingga ia dapat berlari melewati Leiva. Dalam situasi demikian, Leao memiliki ruang yang cukup untuk memainkan umpan satu-dua dengan Ante Rebic sebelum menembakkan bola ke arah gawang. Proses serupa pun terlihat dalam gol pertama Milan di Liga Champions saat bertanding melawan Liverpool.

Menyadari bahwa kualitas terbaik Hernandez bukan atribut bertahan, Pioli menandemkannya dengan Davide Calabria yang berwatak lebih defensif sehingga Milan tidak turun arena hanya dengan bermodalkan serangan cair, tetapi juga pertahanan yang lebih kokoh. Dengan cara itu, Pioli melindungi anak didiknya dari umpatan bek yang payah.

***

"Ayah kami tidak pernah pulang. Ia tidak pernah menemui kami dalam 12 tahun terakhir," begitu jawaban Lucas dan Hernandez ketika menjawab pertanyaan tentang sang ayah. 

Hernandez memiliki alasan masuk akal untuk tidak berurusan lagi dengan sepak bola. Membuang jauh-jauh ingatan akan orang yang meninggalkan borok dalam hidup adalah keputusan mulia.

Sialnya, sepak bola yang dihidupinya adalah benang tak kasatmata yang selalu membuatnya terhubung dengan sang ayah. Sepak bola pula yang membuatnya bertahun-tahun merasa tersisih. Ia tidak terpakai, dibuang ke berbagai klub. Namun, pada kenyataannya Hernandez bertahan. Ia bahkan mencetak gol perdananya bagi Timnas Prancis dan membawa trofi juara UEFA Nations League ke negaranya. 

Tidak ada yang tahu pasti alasan yang membuat Hernandez tak beranjak dari lapangan bola. Akan tetapi, barangkali itu adalah satu-satunya cara yang bisa dilakukannya agar orang lain mengingatnya sebagai orang yang berbahagia, agar anak-anaknya kelak tidak mengingatnya sebagai ayah yang payah.

===

*Catatan Editor:
Telah terjadi perubahan pada narasi alinea kesembilan.