Janji Jesse

Foto: Instagram @Jesselingard.

Jesse Lingard masih memiliki modal untuk bertaruh. Setelah tampil impresif bersama West Ham United, ia berjanji untuk memperjuangkan tempatnya di Manchester United.

Kota itu bernama Warrington. Ia terhimpit di antara Manchester dan Liverpool sehingga jika kamu melakukan perjalanan dengan kereta dari Manchester ke Liverpool atau sebaliknya, besar kemungkinan kereta kamu bakal singgah sejenak di kota tersebut.

Warrington bukan kota kecil, tetapi tidak bisa disebut sebagai kota besar juga. Namun, sejarahnya terbilang amat panjang. Ketika Romawi masih menduduki Inggris, daerah yang terletak di Cheshire ini dijadikan sebagai sebuah tempat persinggahan.

Wajar, daerah tempat Warrington berdiri ada di tepi Sungai Mersey, yang mengalir jauh dari Liverpool hingga Stockport di Greater Manchester. Ia tergolong daerah yang subur sampai-sampai setelah era Romawi berlalu, orang-orang Saxon mulai membangun pemukiman di atasnya.

Kini, Warrington adalah kota yang mengoneksikan banyak daerah. Oleh karena itu, ia amat cocok dijadikan pilihan tempat tinggal sehingga amat mudah jika hendak ke mana-mana.

Jika penat dengan kehidupan kota yang lebih besar seperti Manchester atau Liverpool, Warrington menawarkan sedikit nostalgia masa lalu: Rumah-rumah bergaya Georgian dengan batu bata merah, kanal-kanal yang jernih, lengkap dengan pub dan pusat kota yang relatif lengang.

Suasana di Warrington. Foto: Alamy/The Guardian.

Jesse Ellis Lingard, seorang anak keturunan imigran St Vincent—sebuah negara di Karibia—lahir di kota itu pada sebuah hari di Desember 1992. Lingard kecil mencintai sepak bola dan langsung menambatkan loyalitasnya ke timur Warrington, ke Manchester.

Di rumahnya, Lingard tumbuh dekat dengan sang kakek. Ia terbiasa tidur di kamar kakek dan neneknya dengan menggelar matras di lantai. Tiap kali melakoni pertandingan di level junior, kakeknya jugalah yang menemaninya.

Menurut Lingard, kakeknya tidak tahu apa-apa soal sepak bola. Ia adalah mantan pemain rugby dan cuma itu yang ia tahu. Namun, demi Lingard, si kakek rela berjam-jam mempelajari sepak bola dari video untuk kemudian membawa si cucu ke taman dan mengajarinya beberapa trik baru.

Ketika Lingard berusia 7 tahun, kakeknya membawanya ke Manchester untuk melakoni trial dengan Manchester United. Dari situ, perjalanan Lingard bersama ‘Iblis Merah’ bermula. Kelak, ia akan mengenyam semuanya, mulai dari kekecewaan akibat cedera lutut, pasang, surut, hingga dihadapkan pada persimpangan.

Orang-orang lokal yang mendukung United menganggap Lingard sebagai pria yang menyenangkan. Suatu ketika, ia pernah mentraktir bir seluruh pendukung United yang tengah berkumpul di bar. Lain waktu, ia menepikan mobilnya cuma untuk bermain bola dengan anak-anak di taman.

Sayangnya, sepak bola seringkali tak pernah peduli seberapa baik atau menyenangkan kamu di luar lapangan. Satu-satunya yang terpenting adalah bagaimana kamu tampil mati-matian di atas rumput hijau itu. Di luar kamu dipuja-puja, tetapi begitu mengenakan kostum, batas antara surga dan neraka menjadi lebih tipis dari helai rambut.

Lingard paham itu. Sekalipun tumbuh sebagai anak yang berbakat, dia bukanlah Marcus Rashford yang dari sananya memang seperti dapat berkah melimpah dari Tuhan. Ketika Rashford dianggap belum memenuhi seluruh potensinya, Lingard mentok jadi pemain yang sekadar bagus saja.

Sesungguhnya, masuk kategori pemain bagus atau lumayan saja terbilang cukup. Toh, kamu tidak mesti menjadi pemain kelas bintang untuk betul-betul mendapatkan pengakuan di lapangan.

Sepak bola adalah permainan yang kompleks. Kesuksesan sebuah tim tidak melulu dihasilkan oleh 11 pemain berlabel superstar, melainkan dipengaruhi banyak hal lain seperti kecocokan pemain dengan sistem dan taktik, kohesivitas antarpemain, dan sederet tetek bengek lainnya.

Oleh karena itu, sekalipun kamu adalah pemain sebatas lumayan atau bagus, asalkan bisa memberikan guna untuk tim, semestinya kamu baik-baik saja. Yang perlu dipersetankan adalah orang-orang berpikiran pendek yang menilai bahwa sepak bola cuma terbagi atas dua hal: Luar biasa atau medioker.

Bertahun-tahun Lingard getol betul jadi sasaran pemikiran pendek macam itu. Manakala jumlah gol dan assist-nya jauh dari kata impresif, ia langsung jadi bahan olok-olok. Mereka yang mengolok-olok mengira bahwa tugas seorang gelandang serang atau winger, ya, tidak jauh-jauh dari bikin gol dan assist. Alpa melakukannya berarti ia pemain gagal.

Persoalannya, tak banyak orang paham bahwa seorang gelandang serang atau winger tidak melulu mesti membuat gol dan assist jika role yang diembankan kepadanya tidak mengharuskannya untuk berbuat itu.

Dalam kasus Lingard, pelatih-pelatih yang menanganinya, mulai dari Jose Mourinho dulu di Manchester United hingga Gareth Southgate di Inggris, lebih sering menggunakannya sebagai mesin pressing dan pembuka ruang di lini depan. Lingard punya tubuh yang liat, ia lincah dan juga cepat, sehingga mudah saja mengemban tugas tersebut.

Ole Gunnar Solskjaer berbeda lagi. Pelatih asal Norwegia ini pernah memainkan Lingard sebagai false 9, meski tujuannya tidak jauh berbeda dengan dua pelatih lainnya. Oleh Solskjaer, Lingard ditugasi membuka ruang sekaligus melakukan pressing terhadap bek tengah yang menguasai bola atau gelandang terdalam lawan.

Peran-peran tersebut membuat Lingard jauh dari kata protagonis. Kamu harus betul-betul memerhatikan pertandingan karena kontribusi Lingard tidak sekasat mata mencetak gol atau menyumbang assist. Namun, di dalam tim mana pun, memiliki satu atau dua pemain yang tidak menonjol tetapi mengemban peran yang cukup krusial sesungguhnya amat menguntungkan.

Sial bagi Lingard, ketika perannya makin terkikis di United, menit bermainnya makin minim. Nasib kemudian menawarkan jalan keluar: Menjadi pemain pinjaman di West Ham United. Di sini, semuanya berubah 180 derajat. Karena dimainkan dalam peran yang berbeda, ia meletup.

Kendatipun bukan pemain berstatus bintang, Lingard sesungguhnya cukup komplet. Sebagai gelandang serang dan winger, ia bisa dimainkan dalam berbagai posisi, mulai dari gelandang serang tengah, penyerang sayap sebelah kanan atau kiri, hingga bermain sebagai second striker di belakang penyerang tunggal.

Di West Ham, ia lebih sering bermain sebagai second striker di belakang penyerang tunggal. Dengan kecepatan dan kemampuan dribel yang ia miliki, Lingard mengeksploitasi ruang yang terbuka, entah itu lewat tengah atau dari kedua sisi.

The Coaches’ Voice menyebut bahwa Lingard memiliki sebuah kebiasaan ketika berada dalam mode ofensif. Manakala menerima bola di lini tengah, biasanya ia bakal langsung memutar badannya untuk menghadap gawang lawan. Ini yang menyebabkan dia amat cocok bermain di dalam tim yang bermain direct seperti West Ham.

Selama setengah musim peminjamannya di West Ham, Lingard mencetak 9 gol dan 4 assist dari 16 laga di Premier League. Torehan gol dan assist-nya itu melebihi xG dan xA-nya, yang masing-masing berada di angka 5,25 dan 2,33.

Performa bagus tersebut membuatnya berada di persimpangan. Lanjut menjadi protagonis utama di tim lain atau berkutat memperjuangkan tempat di United. Yang mana pun, sesungguhnya Lingard masih punya modal untuk bertaruh.

Mengingat Solskjaer menginginkan United bermain lebih fluid di lini depan, tetapi tetap mengandalkan pola permainan direct, Lingard—berdasarkan apa yang ia tunjukkan di West Ham—bisa amat nyetel. Kalaupun tidak menjadi pemain utama, ia masih bisa menjadi salah satu opsi dari bangku cadangan. Buat tim mana pun, memiliki lebih banyak opsi dan keragaman pemain justru makin bagus.

Apa pun keputusan Lingard kelak, Solskjaer menyebut bahwa saat ini Lingard berjanji untuk memperjuangkan posisinya lebih dulu. “Jesse sudah kembali, dia bersemangat dan ingin memperjuangkan tempatnya di dalam tim. Dia masih berada dalam rencana saya dan saya mengharapkannya berada di Man United pada awal musim,” kata Solskjaer.