Jari Tengah

Foto: Twitter @ManUtd.

Manchester United berkubang di kemediokeran dan berjalan dari satu ejekan ke ejekan lainnya. Mencari kritik yang adil untuk mereka pun makin sulit. Di tengah itu semua, saya ingin memberi jari tengah saya kepada kalian semua lewat tulisan ini.

Ketika kamu ambruk, terkapar dengan muka menghadap tanah karena kebodohanmu sendiri, besar kemungkinan lebih banyak orang yang datang untuk menendangimu ketimbang mengulurkan tangan.

Sebagian lainnya mungkin akan tertawa, sedangkan yang datang belakangan kemungkinan akan melakukan keduanya: Menendangimu sembari menertawaimu. Tidak apa-apa. Toh, salahmu sendiri jatuh tersungkur begitu.

Yang bisa kamu lakukan cuma mengakui bahwa kamu sedang tidak baik-baik saja. Menyangkal hanya akan memperburuk keadaan. Sebaiknya, kamu bergegas menyeka hidung, mengelap ingus yang bercampur darah, dan pelan-pelan berpijak.

Tidak apa-apa kalau kamu tidak langsung berdiri tegak. Untuk bisa mengakui bahwa kamu sedang babak-belur saja sudah cukup. Kamu jadi tahu bagaimana caranya bersahabat dengan peluh dan berjabat tangan dengan lumpur.

Jika sudah bisa berpijak dan pelan-pelan menegakkan badan, barulah kamu bisa membalas. Kamu lihat orang-orang yang sebelumnya menendangimu itu? Ambil senyum lebar, lempar, dan jangan lupa acungkan jari tengah tinggi-tinggi.

***

Manchester United sudah terlampau lama berkubang di kemediokeran. Apa yang mereka perlihatkan dalam musim-musim pasca-Sir Alex Ferguson pensiun, terlebih lagi apa yang mereka tunjukkan dalam beberapa pertandingan terakhir, amat sangat sulit untuk dibela.

Alih-alih bersembunyi di balik label ‘salah satu klub terbesar di dunia’, sebaiknya mereka bercermin. Sudah waktunya United mengangguk setuju terhadap kenyataan bahwa di kapal sepak bola modern, yang bergerak begitu cepat, nyaris tak ada tempat untuk mereka.

Tentu saja, ini menjadi sebuah ironi. Pada sebuah lorong di Stadion Old Trafford, terpampang jelas-jelas ucapan seperti ini: “Although we mourn our dead and grieve for our wounded, we believe our great days are not done for us […] Manchester United will rise again.”

Foto: Rossi Finza Noor.


Tulisan tersebut terpampang besar-besar dengan latar warna merah. Ia bersandar pada sebuah tembok dalam sebuah lorong yang mengabadikan tragedi, yakni ‘Munich Tunnel’. Namun, ‘Munich Tunnel’ tidak sekadar mengabadikan tragedi, ia juga mengingatkan bahwa seterpuruk apa pun United, mereka (mestinya) selalu bangkit kembali.

Lewat sudut pandang lain, tulisan itu juga bisa berbicara demikian: Kita bisa meratapi masa silam, tetapi tidak selamanya itu mengendalikan apa-apa yang hendak kita pijak di hari esok. Yang hancur sudah lebur, yang jadi puing bisa dibangun kembali.

Toh, United lahir dari rahim sebuah kota yang punya kesombongan yang teramat sangat. Manchester memang bukan London yang indah, besar, dan serba-ada, tapi lembaran sejarah menunjukkan bahwa di kota inilah revolusi industri mengawali entak degupnya serta komputer pertama kali mengembuskan napas.

Datanglah ke Manchester, maka kamu akan menemukan bagaimana orang-orangnya memiliki kebanggaan bahwa kota mereka selalu bisa keluar dari situasi sulit, entah bagaimana caranya. Cerita-cerita yang kamu dengar dari Manchester bakal membuatmu percaya bahwa kota ini selalu bisa menciptakan sesuatu dari udara kosong atau membangun gedung megah dari batu-batu bata yang sudah usang.

Pada kali kedua mendatangi Manchester, saya mendengar sebuah cerita heroik tentang bagaimana cepatnya reaksi para petugas untuk mengevakuasi penduduk manakala ada ancaman peledakan bom dari IRA (Irish Republican Army) pada 1996.

Ketika itu Manchester menjadi salah satu kota penggelar pertandingan Piala Eropa 1996. Bom meledak pada 15 Juni 1996 pukul 11.17, sembilan puluh menit setelah IRA memberikan telepon ancaman. Dengan bergegas, 75.000 orang dievakuasi meninggalkan pusat kota.

Kendatipun tim penjinak gagal mematikan bom tersebut, korban jiwa berhasil dihindari. Dari catatan resmi, ada 212 orang terluka akibat bom tersebut. Padahal, ledakan hari itu merupakan ledakan terbesar (di darat) yang terjadi di Britania Raya setelah Perang Dunia II.

Cerita tersebut kemudian dibubuhi sesuatu yang amat trivial, tentang bagaimana para pekerja di The Bridgewater Hall sama sekali tidak mengetahui sebuah bom baru saja meledak, bahkan merasakan getarannya saja tidak.

Kelak, pada tahun itu, Bridgewater Hall bakal melangsungkan konser pertamanya pada September 1996. Namun, tiga bulan sebelumnya, ia masih berada dalam tahap pembangunan. Ketika bom meledak, masih ada pekerja yang sedang berada di dalam bangunan.

Bridgewater Hall dibangun dengan menggunakan pegas baja di antara pilar-pilar betonnya. Tujuannya, supaya bangunan tersebut tahan gempa dan terlindung dari kebisingan dan getaran jalanan. Kebetulan, Bridgewater Hall memang berdekatan dengan Metrolink, jalur trem yang menghubungkan berbagai tempat di pusat kota Manchester.

Saya langsung mengambil kesimpulan, cerita tersebut dibubuhkan hanya untuk menunjukkan bagaimana Manchester sudah berhasil membangun sebuah gedung konser yang teramat canggih. Ingin rasanya memberi tepuk tangan, tetapi mungkin bagi mereka itu justru cerita yang teramat biasa.

Keberadaan Manchester City dan United semestinya bisa menjadi contoh dari analogi tersebut. Yang satu seperti muncul dari ketiadaan, yang lainnya seharusnya bisa menemukan pijakan untuk berdiri tegak kembali.

Pertanyaannya, bagaimana United memperbaiki diri mereka?

Ole, Ole, Ole

Terlepas dari buruknya keputusan yang ia ambil belakangan ini, termasuk dari urusan taktik dan pemilihan pemain, sulit untuk tidak memberikan kredit terhadap Ole Gunnar Solskjaer atas usahanya berusaha membangun kembali skuad United dan menstabilkannya.

Progres dan proses bukanlah omong kosong, meskipun banyak yang mengolok-oloknya di media sosial. Kenyataannya, setelah ditangani oleh berbagai macam pelatih dengan karakteristik berbeda, United memang butuh kestabilan. Ketika Solskjaer datang, ia melihat kebugaran pemain berada dalam titik nadir.

Oleh karena itu, Solskjaer memilih untuk membenahi itu dulu. Terlebih, ia berniat untuk membangun tim yang bagus dalam pola permainan direct dan punya kecepatan dalam transisi dari bertahan ke menyerang.

Dalam perkembangannya, Carl Anka dan Laurie Whitwell dari The Athletic juga mengonfirmasi keinginan Solskjaer untuk bermain dengan lini depan yang cair, lengkap dengan permutasi posisi yang apik seperti yang ia lihat pada tim United yang menjuarai double (Premier League dan Liga Champions) 2008.

Keinginan tersebut sempat mewujud ketika Solskjaer memainkan Paul Pogba sebagai false winger di sisi kiri. Pergerakan Pogba yang cenderung ke dalam, memudahkannya untuk bertukar posisi dengan penyerang tengah (biasanya Mason Greenwood atau Marcus Rashford) atau gelandang serang (Bruno Fernandes).

Dalam pola tersebut, semestinya kehadiran Edinson Cavani, yang apik dalam mencari ruang dan punya work-rate bagus, serta Jadon Sancho dan bahkan Donny van de Beek, bisa termaksimalkan. Sayangnya, Solskjaer tidak bisa mengoneksikan titik-titik yang sudah ia susun sendiri.

Ini diperparah dengan kehadiran Cristiano Ronaldo pada jam-jam terakhir bursa transfer. Dari segi taktik, Ronaldo bukanlah keping krusial jika Solskjaer memang betul-betul berniat untuk bermain dengan lini depan yang cair. Terlebih, Ronaldo juga minim dalam melakukan pressing.

Satu-satunya kekuatan Ronaldo adalah mencetak gol. Namun, meminta untuk melakukan sprint dari tengah, seperti yang biasa dilakukan oleh Rashford atau Greenwood, bukan lagi kebisaannya. Sudah tak cocok untuk skema lini depan yang cair, ia sulit pula dimasukkan ke dalam strategi transisi cepat dari bertahan ke menyerang.

Jika sederet problem tersebut belum cukup, ingatlah bahwa United belum melakukan pressing sebagai sebuah unit yang rapi. Persoalan ini menjadi salah satu faktor banyaknya gol masuk ke gawang mereka ketika menghadapi Liverpool. Akibat tidak melakukan pressing sebagai sebuah unit, para pemain United hanya tampak mengejar-ngejar bola tanpa menutup jalur operan lawan.

Satu kekeliruan akhirnya menimbulkan kekeliruan lainnya. Solskjaer akhirnya menjadi sesuatu yang sebetulnya amat ia hindari: Bergantung kepada quick fix dan berusaha sebisa mungkin mendapatkan hasil demi menyelamatkan dirinya dan timnya. Dari kebimbangan itulah keputusan menggunakan formasi 3-5-2 muncul.

Bagi United dan Solskjaer, formasi tersebut tak ubahnya ilusi belaka. Ia menawarkan solusi sesaat, tetapi tidak menjamin bakal memberikan jalan keluar sesungguhnya. Terlebih, United dan Solskjaer tidak terlalu paham bagaimana menggunakan formasi tersebut sebagaimana mestinya.

Formasi 3-5-2, buat United, memang menawarkan kepadatan di lini tengah. Ini membuat lini belakang mereka, yang belakangan direcoki problem menurunnya performa beberapa individu (termasuk Harry Maguire dan Luke Shaw) jadi mendapatkan proteksi lebih. Namun, tanpa kedisiplinan posisi dan penugasan role yang tepat terhadap pemain, semuanya bakal sia-sia belaka.

Pertandingan melawan Manchester City mengekspos kelemahan itu. United memang tepat menggunakan 3-5-2 untuk mengurangi risiko tertekan pada lima koridor yang biasa jadi jalur serangan City, tetapi menggunakan low-block tanpa plan yang jelas untuk menghajar balik sama saja dengan bunuh diri.

Alhasil, United menjadi terimpit. Mereka bertahan sebisa mungkin, tetapi tak tahu bagaimana caranya keluar dari area pertahanan sendiri. Sudah begitu, lini tengah mereka masih bisa ditembus; Bernardo Silva berulang kali bisa menemukan ruang di belakang Fred.

Kendatipun tidak layak untuk dijadikan starter, Fred sesungguhnya juga bukan pemain yang buruk-buruk amat. Sayangnya, di United ia lebih sering dimainkan sebagai gelandang poros alih-alih gelandang tengah dengan role sebagai box-to-box atau breaker. Baik Fred ataupun Scott McTominay lebih cocok menjadi gelandang tengah dengan satu orang gelandang bertahan lagi (dengan role sebagai holding midfielder) melapis mereka.

Kegamangan dalam menentukan taktik ini jelas membuat posisi Solskjaer makin tertekan. Ia tak hanya menghadapi kritik. Ia juga diadili berbagai macam persepsi meski tidak seluruhnya benar.

Anggapan bahwa Solskjaer adalah pelatih yang tidak paham taktik sesungguhnya amat mungkin dibantah. Sayangnya, dengan hasil yang tidak memuaskan belakangan ini, mencari kritik yang adil untuknya menjadi sesuatu yang teramat sulit. Semuanya cuma berujung jadi olok-olok belaka.

Solskjaer layak mendapatkan kredit karena bisa membawa dan mengembangkan United sampai sejauh ini. Yang jadi pertanyaan (dan menimbulkan keraguan) adalah apakah ia orang yang tepat untuk membawa United ke level selanjutnya.

Pilihan Solskjaer kini cuma dua: Bersiap didepak atau, kalau United masih berharap padanya, mencari orang-orang (baca: Staf pelatih) yang bisa mendetailkan framework yang ada di kepalanya. Ia butuh orang-orang yang bisa mengoneksikan—atau bahkan menghapus—titik-titik yang sudah atau sedang ia susun.

Ferguson pernah melakukannya ketika menggaet asisten-asisten atau staf pelatih yang sekiranya bisa mengejawantahkan idenya. Carlos Queiroz dan Rene Meulensteen adalah dua di antaranya. Ini yang menjadi salah satu alasan bagaimana ia bisa bertahan begitu lama.

What Next?

Ralf Rangnick. Foto: Bundesliga.


Yang lebih penting dari posisi Solskjaer, tentu saja, adalah bagaimana perencanaan United dalam membangun tim dan skuad mereka. Jika Solskjaer akhirnya mereka depak, siapa yang akan menjadi penggantinya? Pelatih macam apa yang mereka inginkan untuk memimpin dan membangun skuad mereka?

Nama Erik ten Hag sempat muncul, begitu juga Brendan Rodgers dan Ralf Rangnick. Namun, pelatih bagus seperti Ten Hag sekalipun bakal kesulitan memberikan hasil jika kultur dari atas tidak memberikannya wadah untuk mempertunjukkan kemampuan.

Inilah mengapa, ketika United ingin bangkit, perubahan semestinya berasal dari atas terlebih dahulu. Ketika nama Rangnick muncul, rasa-rasanya ia lebih cocok untuk menjadi seseorang yang duduk di posisi lebih tinggi alih-alih seorang pelatih.

Dengan pengalamannya mengawasi jalannya sebuah klub serta menaruh pasak-pasak, Rangnick lebih cocok menjadi kepala dari sebuah departemen yang mengatur aspek permainan tim. Faktanya, Rangnick kini menjabat sebagai kepala dari Sports and Development Lokomotiv Moskva.

United memang sudah merintis jalan dengan menunjuk John Murtough dan Darren Fletcher sebagai Director of Football dan Technical Director, serta memperbaiki pola perekrutan pemain dan pembenahan akademi. Namun, orang seperti Rangnick bisa melakukan cultural reset atas cara berpikir klub ketika berada di tengah sepak bola modern.

[Baca Juga: Jenderal Rangnick]

Toh, keterbukaan bukanlah hal yang tabu buat United. Ferguson berulang kali memugar tim dan menyesuaikannya dengan zaman sampai ia tak bisa lagi melakukannya dan akhirnya memilih pensiun. Keterbukaan itu ia tunjukkan dengan keinginannya berulang kali membangun tim yang bisa bermain dengan cara kontinental setelah berulang kali kesulitan menaklukkan Eropa.

Menghargai kultur tidak perlu melulu mengenakan kacamata tradisional. Malah, itu juga bisa dilakukan dengan mencari esensi dari keberhasilan dari masa silam. Buat United, esensi itu adalah perihal keterbukaan tersebut; bagaimana caranya mereka terus menyesuaikan diri dengan zaman.

Lagi pula, Manchester sendiri seperti itu, bukan? Ini adalah kota yang meskipun tidak rupawan, tetap punya kebanggaan karena terus bisa menciptakan sesuatu dan memugar diri berulang kali hingga tetap relevan dengan zaman.

Bukankah, United lahir dari kota yang seperti itu?