Jeda Internasional dan COVID-19: Saat FIFA Bukan Satu-satunya Kambing Hitam
Klub-klub mulai mempertimbangkan untuk tidak melepas pemain mereka ke tim nasional saat jeda internasional karena COVID-19. Namun, jeda internasional dan FIFA bukanlah satu-satunya kambing hitam.
Banyak bencana besar yang tercatat dalam sejarah dunia: Air bah pada masa Nabi Nuh, letusan Gunung Tambora, Perang Dunia II, Flu Spanyol, dan jeda internasional.
Jeda internasional kerap dimaknai sebagai musuh bersama penonton sepak bola. Adanya jeda internasional tak hanya dianggap sebagai pengacau jadwal pertandingan di level klub, tapi juga perusak klub yang mungkin saja sedang dalam tren positif.
Tak cuma itu, jeda internasional juga dilihat sebagai racun yang bisa kapan saja menyerang dan membuat klub merugi. Sudah cukup banyak bukti yang memperlihatkan bagaimana pemain mengalami cedera usai tampil di jeda internasional.
Alasan membenci jeda internasional semakin besar saat COVID-19 merebak. Di tengah jadwal pertandingan yang semakin padat, FIFA masih saja keukeuh menggelar jeda internasional. Musuh jeda internasional kini pun tak cuma penonton, tapi juga klub.
Klub beralasan bahwa jeda internasional tak lagi berdampak pada kondisi fisik pemain, tapi juga menambah potensi pemain terjangkit COVID-19. Sudah banyak contoh yang bisa membuktikan pulang dari jeda internasional justru bikin kerugian.
Namun, apakah protes klub terhadap FIFA relevan? Bagaimana jika pemain mereka sendiri yang melanggar protokol kesehatan?
***
Beberapa saat usai Portugal bertemu Prancis, Oktober lalu, Cristiano Ronaldo dinyatakan positif COVID-19. Menurut Federasi Sepak Bola Portugal, Ronaldo tak memiliki gejala dan merasa sehat di hari itu.
Namun demikian, Federasi Sepak Bola Portugal meminta Ronaldo untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Mereka juga meminta beberapa pemain Timnas Portugal dan Prancis yang melakukan kontak dengan Ronaldo untuk tes. Beruntung, semua hasilnya negatif.
Isolasi membuat Ronaldo akhirnya absen dalam empat pertandingan Juventus, yakni saat melawan Crotone, Dynamo Kiev, Hellas Verona, dan Barcelona. Dari empat pertandingan tersebut, Juventus mencatat sekali menang, dua kali imbang, dan sekali kalah.
Dari absennya Ronaldo, Juventus belajar. Jeda internasional di masa pandemi memberikan dampak yang amat besar bagi mereka. Menurut Football Italia, Chairman Juventus, Andrea Agnelli, berpikir untuk melarang pemainnya tampil di jeda internasional.
Apa yang dirasakan oleh Agnelli rupanya juga ada di benak Presiden Napoli, Aurelio De Laurentiis. De Laurentiis tak salah mengiyakan ide. Selain Juventus, mereka juga menjadi salah satu klub yang merasakan dampak langsung COVID-19 ke performa tim.
Awal Oktober lalu, Napoli dihukum oleh Komisi Disiplin Serie A karena tidak datang dalam laga melawan Juventus di Juventus Stadium. Hukumannya tidak main-main, Napoli kalah 3-0 dan dikenai pengurangan satu poin.
Napoli berkilah bahwa hukuman tersebut tidak adil karena mereka dikenai larangan bepergian oleh otoritas lokal. Tak hanya itu, mereka mengatakan bahwa ada dua pemain mereka yang positif dan baru saja menghadapi Genoa yang 14 pemainnya positif COVID-19.
Di Austria, Red Bull Salzburg dengan berani melarang pemainnya untuk ikut serta pada pertandingan internasional Oktober lalu. Selang beberapa hari, Ajax juga mengumumkan hal serupa untuk pemainnya yang dipanggil tim nasional.
***
Beberapa klub memiliki aturan mitigasi demi mengurangi risiko penyebaran COVID-19. Tak hanya rutin melakukan tes sebelum dan sesudah pertandingan, tapi juga sampai hal terkecil, mulai dari melarang minum dari botol yang sama hingga social distancing di ruang ganti.
Masalahnya, saat banyak klub sudah mengatur sedemikian rupa, FIFA dan pemain justru tak patuh. Melihat kondisi yang ada sekarang, penyebaran COVID-19 boleh jadi disebabkan oleh dua pihak, FIFA dan pemain itu sendiri.
FIFA sebenarnya telah memiliki aturan soal jeda internasional di masa pandemi bernama Return to Football: International Match Protocol. Namun demikian, aturan tersebut tak seketat apa yang dilakukan oleh para klub.
Sebagai penyelenggara pertandingan internasional, FIFA tidak memiliki standar yang tinggi untuk melindungi pemain. Padahal, dalam konteks penyebaran, potensi mereka untuk terjangkit COVID-19 cukup tinggi karena bersinggungan dan berdekatan dengan banyak orang.
Mari ambil contoh dari apa yang dilakukan oleh Ronaldo dan Eduardo Camavinga di laga Portugal vs Prancis. Kedua pemain tersebut bertukar pakaian tanpa ada hukuman. Bandingkan dengan yang dilakukan oleh Neymar dengan Marcel Halstenberg yang dihukum tanpa ampun.
Hal lain yang tak cukup mendapatkan perhatian FIFA adalah aturan soal cara pemain berangkat dan pulang dari lokasi pertandingan. Dalam aturannya, FIFA tidak mengatur secara spesifik akomodasi dan transportasi tim yang bertanding.
FIFA dan jeda internasional seharusnya bukan menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan oleh klub. Dalam beberapa kasus, kelakukan pemain itu sendiri yang membuat mereka terjangkit COVID-19.
Dua pemain muda Prancis, Maxence Caqueret dan Colin Dagba, jadi contohnya. Saat Timnas Prancis U-21 menerapkan isolasi di kamar hotel, mereka justru keluyuran. Alhasil, Caqueret positif, sementara Dagba diinstruksikan untuk isolasi mandiri.
Absennya Dagba sempat membuat bingung klubnya, Paris Saint-Germain. Pasalnya, isolasi Dagba saat itu bertepatan dengan absennya sembilan pemain utama PSG dan laga melawan Nimes di Ligue 1.
Masih banyak pemain lain yang terjangkit COVID-19 karena melanggar protokol di masa pandemi. Enam pemain PSG, termasuk Neymar dan Angel Di Maria, tercatat pernah terinfeksi akibat liburan di Ibiza. Sementara, di Timnas Inggris, ada Phil Foden dan Mason Greenwood.
Mengutuk jeda internasional di masa pandemi memang sah-sah saja. Namun, menjadikan FIFA sebagai satu-satunya kambing hitam bukan hal yang adil.