Jenderal Rangnick

Foto: Wikimedia Commons.

Dengan sepak bolanya, Ralf Rangnick memanifestasikan watak Jerman yang selalu ingin menguasai setiap jengkal tanah yang dipijak.

Bendera perang yang dikibarkan Ralf Rangnick terhadap para raksasa membuktikan bahwa selepas Perang Dunia II, Jerman memindahkan daya tempur mereka ke lapangan sepak bola.

Rangnick berdiri di tepi lapangan seperti kepala sekolah. Matanya awas mengamati anak-anak asuhnya yang berlarian mengejar bola dan kemenangan. Kacamata dan dandanannya necis. Sesekali ia berteriak, tetapi tidak sampai kesetanan seperti Juergen Klopp dan Jose Mourinho. 

Ia juga tidak seelegan Pep Guardiola dan Casey Stoney. Auranya khas bapak-bapak, rambutnya  memutih pula. Namun, di balik gelagat dan perawakan yang membuatmu ingin segera memasukkan kemeja ke dalam celana itu, Rangnick memeram ambisi khas Jerman.

Tanah Jerman adalah rumah bagi orang-orang yang percaya akan kekuatan sendiri. Isi kepala seorang Jerman, Adolf Hitler, membuktikan bahwa ambisi menguasai dunia tidak hanya pantas dicatat dalam kisah fiksi, tetapi juga sejarah. 

Nazi berkeyakinan bahwa ras Indo Arya adalah yang terbaik dan paling unggul. Lalu kita mendengar kisah kamp konsentrasi, penculikan, pembunuhan, penundukan wilayah, dan ketakutan yang seolah tak ada habisnya. 

Hitler bukan satu-satunya manusia edan yang pernah hidup di Jerman. Bahkan jauh sebelum sang kanselir menggila, seorang Jerman tulen lainnya, Friedrich Nietzsche, melontarkan konsep manusia super alias ubermensch.

Fritz Walter, Foto: Wikipedia

Perang Dunia II meluluhlantakkan Jerman. Mereka menanggung malu, pulang sebagai pesakitan dan pecundang. Di hadapan bangsa-bangsa mereka kikuk, berjalan tertatih dengan wajah tertunduk.

Dunia beramai-ramai menertawakan Jerman yang kalah perang. Namun, hanya karena terjerembap di satu duel,  bukan berarti Jerman berhenti mencari medan pertempuran. Kali ini mereka menemukan Swiss.

Kisah itu dikenal sebagai Keajaiban Bern. Jerman yang diperkuat oleh mantan prajurit yang memeram luka batin mengembalikan martabat negerinya dengan mengalahkan Timnas Hongaria yang sedang menguasai jagat sepak bola.

Siapa yang tidak bergidik ngeri jika harus berhadapan dengan Ferenc Puskas dan Sándor Kocsis? Bisakah dibayangkan tim yang dikapteni oleh bekas tentara yang lolos dari tangkapan Penjara Gulag milik Soviet menundukkan para Penyihir Magyar?

Begitulah Jerman. Saat entah berapa juta orang mencibir slogan Deutschland Ueber Alles, sekumpulan veteran perang menjadi kampiun di Piala Dunia 1954. Saat Fritz Walter menjadi kapten Timnas Jerman pertama yang mengangkat trofi Piala Dunia, saat itu pula tiang pancang era baru sepak bola Jerman ditegakkan.

Meski sepak bola mulai digilai sejak 1850, di Jerman tidak begitu. Ia kalah populer dari senam dan atletik. Sepak bola Jerman lahir dari barak tentara, bukan pabrik. Olahraga ini dimainkan oleh prajurit di tenda-tenda Perang Dunia I untuk mengusir rasa bosan, takut, dan rindu.

Gelar juara Piala Dunia 1954 membuat Jerman mengangkut prajurit-prajurit terbaiknya ke lapangan bola. Para genius yang biasa menyusun taktik perang kini berdiri di hadapan rekaman video pertandingan, mengolah angka-angka statistik rumit menjadi taktik yang membesarkan sepak bola Jerman sebagai mesin tempur mematikan. 

Orang-orang menyebut Timnas Jerman sebagai Der Panzer. Julukan itu merujuk kepada kendaraan perang lapis baja milik tentara mereka. Panzer bukan kendaraan yang kamu kemudikan dengan dandanan parlente untuk membuat ayah pacarmu terkesima dan memberi restu. Panzer adalah kendaraan yang kamu gunakan untuk membuat musuh-musuhmu rata dengan tanah.

Sepak bola Jerman mungkin tidak akan pernah menjadi tontonan extravaganza seperti Premier League. Lapangan-lapangan bola di sana juga tidak bakal menjadi rumah bagi pemain-pemain elegan seperti di Spanyol dan Italia. Mereka yang hidup dari satu pertempuran ke pertempuran tidak butuh pesona. Jerman hanya butuh menang dan melihat lawan terkapar.

***

Ketika Timnas Jerman sedang amburadul, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa sepak bola Jerman bakal segera tamat. Sepak bola itu tanah yang licik. Di balik reruntuhan dan kejatuhan, cerita tentang mereka yang membangun imperium berulang kali terdengar. Lantas dari sudut-sudut sempit lapangan sepak bola Jerman, Rangnick bekerja bermalam-malam suntuk membangun dinasti baru.

Pengalaman Rangnick sebagai pemain tidak akan dikenang. Belum sampai ke level profesional, ia harus menyingkir karena cedera. Saat sakitnya belum pulih benar, Rangnick memilih berdiri di tepi lapangan dan menjadi pelatih. 

Cerita tentang Rangnick adalah kisah tentang pelatih dingin yang membangun imperiumnya diam-diam. Sebagai prajurit kalah perang yang apinya masih menyala, Rangnick membutuhkan tempat untuk meletakkan energi bertempurnya. 

Kerlip di ujung lorong gelap Rangnick adalah Dynamo Kyiv didikan Valeriy Lobanovskyi. Konon, Rangnick berkunjung ke kamp pelatihan mereka pada 1983. Di sana ia menyaksikan Lobanovskyi membentuk Kyiv selayaknya gerombolan pasukan yang mendesakmu mundur hingga bibir jurang.

"Mereka benar-benar gila, pasti ada yang salah! Tim itu seperti diperkuat oleh 13 atau 14 pemain sekaligus," begitu kesan Rangnick terhadap Kyiv-nya Lobanovskyi.

Pengalaman itu serupa pencerahan bagi Rangnick. Bersama mentornya, Helmut Gross, Rangnick berkelana dan mengambil sumpah untuk menjadi Daud bagi Goliat-goliat sepak bola Jerman. 

Ketimbang mendatangkan pemain bintang yang matang, Rangnick dan Gross memulai dari bawah dengan mendidik pemuda-pemuda Stuttgart untuk ditempatkan di tim senior. Dengan modal itu ia mempersembahkan dua gelar juara untuk Stuttgart, masing-masing satu trofi U-19 Bundesliga dan Intertoto. 

Rangnick merantau ke Hannover dan membawa mereka promosi ke Bundesliga. Beberapa tahun setelahnya, sepak bola mendengar kisah Schalke dan Leipzig racikan Rangnick sebagai kekuatan baru di Bundesliga.

Minimnya trofi mungkin menempatkan Rangnick sebagai pesakitan yang terlampau banyak berfilosofi. Namun, pandangannya terhadap sepak bola menarik simpati mereka yang tak peduli dengan keindahan dan elegansi.

Kemasyhuran tiki-taka membuat banyak pelatih gelap mata, lalu berbondong-bondong menerjemahkan sistem itu sebagai penguasaan bola yang begitu dominan. Seharusnya tiki-taka sama dengan sistem lain. Ia hanya metode untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. 

Rangnick yang muak dengan tiki-taka mengadaptasi permainan Kyiv ala Lobanovskyi dan AC Milan-nya Arrigo Sacchi menjadi eight seconds and ten seconds rules yang mengharuskan pemain merusak penguasaan bola lawan dalam delapan detik. Setelahnya, mereka hanya memiliki waktu 10 detik untuk mencetak gol. 

Sistem itu membutuhkan pemain yang berperan sebagai pemicu pressing, secondary presser, dan pressing booster. Bersama Rangnick, Stuttgart melawan ortodoksi dengan sistem zonal marking yang berorientasi pada bola, ketiadaan sweeper, dan pressing ketat.

Watak permainan Rangnick tidak hanya diserap para pemain, tetapi juga orang yang dididiknya sebagai pelatih. Barangkali inilah yang menjadi cara Rangnick membangun dinasti. Ia memungut orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan, lalu membentuk mereka menjadi pelatih tanpa ampun. 

Thomas Tuchel dan Julian Nagelsmann adalah dua contoh pertama. Rangnick membukakan jalan bagi Tuchel dengan menangani tim junior VfB Stuttgart pada 2000. 

Bertahun-tahun setelahnya publik menyaksikan video amukan Tuchel pada Shawn Parker dalam sesi latihan Mainz 05. Untuk menemukan alasannya, kita hanya perlu kembali kepada filosofi permainan yang diserapnya dari Rangnick. 

Sepak bola ala Rangnick adalah sepak bola petarung. Layaknya batalion, mereka harus berlaga dalam satu kesatuan, komando, dan tujuan. Sistem itu tak memberi tempat bagi pemain yang ingin menjadi bintang sendirian. Semuanya serba rapi, minim kesalahan, taktis, dan klinis. 

Setelah Tuchel, Nagelsmann muncul. Ditunjuk sebagai suksesor Rangnick di Leipzig, Nagelsmann menempatkan formasi ke dalam perkara tak relevan. Kalau timnya harus berganti formasi delapan kali untuk memenangi satu laga, mengapa tidak?

Adaptasi terhadap situasi lapangan membuat tim Nagelsmann gigih mengumpulkan data lawan. Analisis sebelum laga menentukan sistem apa yang bakal dipakai. Dengan cara itu, Leipzig mengintai Bayern, si pemuncak sementara Bundesliga 2020/21.

Kini Tuchel memang sedang tidak bertugas di Jerman. Namun, sejak meninggalkan Mainz, ia menjadi langganan klub besar: Mulai dari Borussia Dortmund, Paris-Saint Germain, hingga Chelsea. 

Tuchel bukan satu-satunya murid Rangnick yang berkelana. Kepala Akademi Arsenal, Per Mertesacker, adalah pemain yang dilatihnya di Hannover. 

Lars Kornetka yang kini menjabat sebagai asisten pelatih PSV Eindhoven adalah analis video yang bekerja bersamanya di Hoffenheim, Schalke, dan Leipzig. Peter Zeidler yang melatih St. Gallen di Super League Swiss, dan Daniel Rohl, sang asisten pelatih Bayern, pun adalah muridnya.

Posisi strategis yang diemban oleh anak didik Rangnick tak sebatas pelatih dan asisten. Contohnya adalah Paul Mitchell. Mantan pemain Southampton yang pernah bekerja dengannya sebagai Kepala Perekrutan Tim di Leipzig itu ditarik sebagai Direktur Olahraga AS Monaco. 

Bahkan Klopp yang membawa Liverpool menjadi kampiun Liga Champions dan Premier League itu disebut-sebut berkiblat pada filosofi Rangnick. Bayangkan jika kegigihan untuk mendidik selama bertahun-tahun ini ternyata merupakan cara Rangnick menyebar kekuatannya.

***

Ketika Rangnick meninggalkan kursi pelatih dan menerima tawaran sebagai Head of Sport and Development Red Bull Gmbh, seharusnya jagat sepak bola waspada. Perusahaan ini mentransformasi sejumlah klub antah berantah menjadi kekuatan baru: Red Bull Salzburg, New York Red Bulls, dan Red Bull Leipzig.

Yang paling mengerikan adalah komitmen Red Bull menopang ambisi klub untuk membentuk pemain muda. Siapa yang dapat menerka jika suatu hari nanti kita bertemu dengan La Masia dan De Toekomst yang baru?

Serupa iblis yang membangun rumahnya sendiri karena Tuhan mengusir dan menutup jalan pulang untuknya ke surga, Rangnick tak akan berhenti sampai ambisinya terpenuhi. Rangnick tak perlu memanggul senjata untuk menancapkan kekuasaannya karena kini ia duduk bersama konglomerat yang bergelimang kekayaan. 

Dari balik meja, Rangnick memanifestasikan watak Jerman yang selalu ingin menguasai setiap jengkal tanah yang dipijak. Maka ketika berdiri di atas ranah sepak bola, di situ pula Rangnick menjelma sebagai jenderal dengan tongkat komando di tangan.