Jerman Terakhir versi Loew

Loew seperti datang ke Wembley tanpa membawa rencana cadangan dan skenario berbeda. Akibatnya, Jerman kehilangan taji.
Sepak bola Jerman yang lahir di barak-barak tentara terjungkal disandung Inggris di Stadion Wembley. Nyanyian yang memanggil pulang sepak bola bergema di mana-mana. Tak peduli orang Inggris asli atau bukan, selama ikut menanti kepulangan sepak bola, nyanyian itu yang keluar dari mulut mereka.
Kemenangan 2-0 berkat gol Raheem Sterling dan Harry Kane membukakan pintu perempat final Piala Eropa 2020 untuk Inggris. Bagi Jerman ini adalah tanda berakhirnya era Joachim Loew.
Jerman menggunakan formasi 3-4-3 yang menjadi andalan mereka. Akan tetapi, formasi yang sama belum tentu menjamin performa yang sama. Kalah 0-1 dari Prancis di laga pembuka, Jerman menang 4-2 atas Portugal. Setelahnya mereka malah hanya bisa bermain imbang 2-2 melawan Hongaria.
Sebagian besar yang menaikan laga ini mungkin berharap menyaksikan kehebatan serangan-serangan sayap Jerman. Peran para wingback menjadi begitu vital jika bicara tentang skema tiga bek, begitu pula dengan Jerman.
Loew membentuk Robin Gosens dan Joshua Kimmich sebagai amunisi yang memaksimalkan serangan sayap. Gosens yang memang memiliki posisi natural sebagai wingback diinstruksikan untuk sebisa mungkin berada di area sisi lapangan. Dengan begitu, Jerman memiliki tempat mengalirkan umpan ketika membangun serangan ke sayap kiri.
Kimmich yang ngepos di sisi sebaliknya melakukan hal serupa sehingga Jerman dapat menjaga kelebaran. Langkah itu diambil untuk memaksa lawan meng-cover area yang lebih luas.
Melawan tim yang menggilai serangan seperti Jerman, kebanyakan tim akan bermain dengan blok pertahanan rapat. Apes bagi tim-tim tersebut, sistem tiga bek Loew justru efektif melawan tim dengan pola seperti itu.
Ruang akan terbuka karena lawan terpancing untuk mengacak-acak serangan yang di salah satu sisi lapangan. Dengan begitu, Jerman bisa memanfaatkan ruang terbuka dan mengalihkan serangan ke sisi sebaliknya dengan cepat.
Ketika dalam fase menyerang dan sudah menyentuh area sepertiga akhir Jerman membutuhkan pemain yang bisa masuk ke kotak penalti dengan cepat, Gosens dapat diandalkan. Itulah sebabnya, Gosens diminta untuk tetap bermain melebar. Entah lewat umpan silang atau tembakan, Gosens diharapkan jadi kejutan yang membikin lawan kelimpungan.
Kimmich lain lagi. Dalam fase yang sama, ia beroperasi di half space sehingga Jerman memiliki lebih banyak opsi umpan. Loew membutuhkan pengumpan ulung dalam sistem permainannya. Diberkatilah Kimmich karena ia punya kapabilitas menjalankan tugas ini.
Dari posisi tersebut, Kimmich bisa mengirim umpan terobosan atau umpan silang berkualitas. Kimmich cenderung memilih area sedekat mungkin dengan kotak penalti untuk mengirim umpan silang.
Gol terakhir Jerman ke gawang Portugal pun menjadi penutup epik penampilan dua wingback. Berkat kombinasi Thomas Mueller dan Kai Havertz, Kimmich menerima bola di pinggir kotak penalti. Ia mengirim umpan silang yang disambut Gosens dengan sundulan dan berakhir dengan gol kemenangan Jerman.
Namun, yang terjadi dalam laga melawan Inggris ternyata tidak seperti rencana taktik itu. Statistik pertandingan babak pertama memperlihatkan Inggris dan Jerman bermain sama kuat. Keduanya sama-sama membuat 3 percobaan tembakan dengan penguasaan bola yang tidak berbeda jauh. Jika Inggris 53%, Jerman 47%.
Sebelum turun minum Inggris membuat 88 umpan sukses dan 3 umpan kunci. Sementara Jerman menciptakan 86 umpan sukses dan 2 umpan kunci. Itu belum ditambah dengan performa lini pertahanan Jerman yang sempat membuat Inggris kerepotan.
Jerman memulai pertandingan dengan duet lini tengah Toni Kroos dan Leon Goretzka yang tampil hebat sepanjang babak pertama. Kroos memiliki kualitas umpan yang mumpuni dan terampil memanfaatkan pressing Inggris. Goretzka tampil brilian dengan tekel dan keunggulan duel udara. Permainan keduanya membuat duet Kalvin Phillips dan Declan Rice kesulitan pada babak pertama.
Namun, permainan Inggris berkembang. Saat Inggris menguasai bola, dua penyerang Jerman, Mueller dan Werner memberikan tekanan sedangkan Havertz memiliki dua pilihan: Membantu meng-cover pivot atau bertahan di sisi kanan. Itu berarti, duet Phillips dan Rice jadi kalah jumlah (2 vs 3). Itulah sebabnya, Inggris cukup kesulitan untuk menyerang dari tengah.
WhoScored mencatat, serangan dari tengah hanya mencapai 23%. Situasi ini memaksa Inggris untuk bermain lebih lebar. Harry Maguire yang andal dalam urusan dribel memulai serangan dari sisi kiri.
Harvetz biasanya akan merespons untuk memutus aliran bola Maguire. Meski demikan, Havertz tidak selalu berhasil. Terkadang Maguire sanggup mengalirkan bola ke lini tengah atau bahkan kepada Sterling yang ikut turun menjemput bola. Dengan begitu Inggris justru unggul jumlah di lini tengah.
Pada babak kedua, serangan Inggris tambah efektif karena Kyle Walker ikut bergerak menyisir sayap kanan untuk menjangkau pemain yang posisinya lebih tinggi. Ketimbang sisi kiri, membangun serangan dri kanan memang lebih masuk bagi Inggris karena Jerman tidak memililiki gelandang seperti Havertz di sisi ini.
Ketika para gelandang mulai naik dalam fase menyerang, Jerman membentuk skema lima bek untuk menjaga para pemain Inggris. Di sini, Jerman seperti salah perhitungan karena penjagaan satu lawan satu di garis terdepan justru membuat Walker tambah menjadi-jadi dengan free role-nya. Misalnya saat Trippier membawa bola, Walker akan melakukan overlap sehingga menciptkan 2 vs 1 saat berhadapan dengan Gosens.
Situasi itu memungkinkan Trippier untuk melepas crossing. Itu belum ditambah dengan kecenderungan Antonio Ruediger yang turun menekan Bukayo Saka (babak pertama) dan Sterling (babak kedua). Di satu sisi, manuver ini membuat Jerman tidak kalah jumlah di lini kedua. Masalahnya, aksi Ruediger ini juga membuat Jerman kekurangan orang di area pertahanan.
Skema defensif Jerman ternyata bisa menjadi senjata makan tuan. Contohnya adalah gol Sterling. Ketika Kane menguasai bola di sepertiga akhir, sekitar lima orang pemain Jerman langsung mengerumuninya.
Aksi itu justru memberi ruang kepada Jack Grealish dan Luke Shaw di tepi, serta Sterling yang tiba-tiba sudah menemukan ruang di kotak penalti. Sterling mematikan pemain Jerman dengan mundur selangkah, menjaga diri tetap onside, lalu menerima umpan Shaw dan membobol gawang Jerman.
Persoalan lain yang membuat Jerman kepayahan adalah mereka hanya punya satu Tony Kroos. Dalam kemenangan 4-2 atas Portugal, Kroos menjadi tokoh utama dengan membuat 62 umpan akurat.
Sepanjang Piala Eropa 2020, Kroos memang berperan sebagai inisiator serangan Jerman. Southgate menginstruksikan Rice dan Phillips untuk memberi pengawalan ketat kepada Kroos. Saat Kroos buntu, Jerman limbung. Meski bergerak bebas, Havertz jadi tak mendapat banyak dukungan dan suplai saat menyerang.
Masalah Jerman bertambah karena para penyerang tidak benar-benar klinis saat melawan Inggris. Mueller memang menciptakan peluang emas, tetapi gagal berbuah gol. Sementara, Werner tampil mengecewakan. Meski cepat dan berbahaya saat serangan balik, pergerakan dengan bolanya sangat monoton sehingga tak cukup mengancam di sepanjang laga.
***
Tersingkir dari Piala Eropa 2020 merupakan hasil buruk bagi Jerman setelah kekalahan di Piala Dunia 2018. Loew seperti datang ke Wembley tanpa membawa rencana cadangan dan skenario berbeda. Jerman kehilangan taji. Permainan mereka mudah dibaca dan dimatikan. Celakanya, Jerman kehabisan akal untuk bangkit dan menyelamatkan diri dari kekalahan.