Juventus Ala Agnelli

Ilustrasi: Arif Utama

Agnelli terbiasa melihat yang tak dilihat awam. Dulu orang-orang melihat calciopoli, tetapi ia melihatnya sebagai titimangsa baru bagi Juventus. Jika orang-orang melihat ESL sebagai keserakahan, mungkin Agnelli melihat yang lain.

Ketika dunia mengenal Juventus sebagai Si Nyonya Tua, Andrea Agnelli membentuk Juventus sebagai sosok yang paling didamba di seantero Italia: The Girlfriend of Italy.

Sejak menjabat sebagai Presiden Juventus pada 2010, entah berapa kali Agnelli mendengus kesal di ruang kerjanya, yang kata beberapa jurnalis, terlalu sederhana dibandingkan milik petinggi klub lain.

Dari dalam ruangan itu ia membaca tumpukan surat kabar lokal, menyerap sebanyak mungkin detail yang terjadi di lapangan, mencermati seluruh angka yang tercantum di kertas kerja seolah-olah segala yang bernapas terancam punah diterjang meteor jika perhitungannya meleset, lalu memisahkan dokumen-dokumen yang ditandatangani dan tak mau ditandatanganinya.

Dari ruang kerja itulah Agnelli menggerakkan dan mengontrol Juventus. Dari ruangan itu pulalah ia memuntahkan segala sumpah-serapahnya untuk sepak bola Italia.

*****

Agnelli memang baru menempati ruangan itu pada 2010. Namun, ia sudah terbiasa ke stadion sejak berusia 5 tahun. Keluarga Agnelli memimpin Juventus bahkan sebelum dunia membayangkan bahwa perang global akan terjadi untuk kedua kalinya. 

Adalah kakek buyut Agnelli, Edoardo Agnelli II, yang memulai tampuk kekuasaan itu di Turin pada 1923. Edoardo II adalah anak laki-laki Giovanni Agnelli Sr, Senator Italia dan pendiri Fiat, putra politisi dan pengusaha Turin, Edoardo Agnelli I.

Edoardo II menikah dengan Virginia Bourbon del Monte yang merupakan bagian dari keluarga ningrat Tuscan-Umbrian. Darah para penguasa, itulah yang mengalir dalam tubuh Juventus.

Cerita Juventus dimulai pada 1897. Beberapa siswa SMA Liceo Classico D'Azeglio nongkrong di pusat kota dan mengobrol tentang sebuah ide untuk membentuk tim sepak bola. Juventus, kata dalam bahasa Latin yang berarti pemuda, itulah nama yang mereka pilih.

Gianni Agnelli dan para pemain Juventus. Foto: Wikipedia

Siapa yang menyangka klub yang bermula dari keinginan bersenang-senang remaja puber itu menjejak ke Serie A pada 1900? Empat tahun berselang, Juventus mendapat suntikan dana dari pebisnis Turin, Marco Ajmone-Marsan.

Ketika Edoardo II masuk ke Juventus pada 1923, Italia sedang memulihkan diri dari Perang Dunia I yang meninggalkan bekas yang tak hilang dalam sekali usap. Tak ada satu orang pun di negeri itu yang menyadari sampai kapan luka itu membekas di tanah mereka.

Tongkat estafet kepemimpinan Edoardo II di Juventus diserahkan kepada anaknya, Giovanni ‘Gianni’ Agnelli II. Ia mengendalikan Juventus pada kurun 1947 sampai 1954, lalu digantikan oleh Umberto Agnelli yang memerintah pada 1955-1962.

*****

Agnelli tidak datang saat Juventus sedang baik-baik saja. Si Nyonya Tua menahan sakit akibat lebam dan borok skandal calciopoli yang belum sembuh benar.

Skandal tersebut tak hanya merampas scudetto, tetapi juga menjebloskan mereka ke Serie B. Juventus memang hanya membutuhkan waktu semusim untuk kembali ke Serie A. Namun, persoalan sepak bola tidak hanya bicara tentang peringkat tertinggi dan pencetak gol terbanyak.

Kepercayaan publik dan bisnis ikut tergerus. Mereka menuding sejarah panjang Juventus bersama Keluarga Agnelli sebagai pangkal skandal yang mencoreng wajah sepak bola Italia itu.

Mereka yang membenci Juventus menuduh klub menggunakan koneksi para petinggi untuk mengunci kemenangan sebelum berlaga. Di negara yang karib dengan teori konspirasi, tuduhan ini masuk akal, apalagi Juventus disokong oleh Royal Family.

Tuduhan itu tidak bertepuk sebelah tangan karena pada 2006, Lucano Moggi yang menjabat sebagai Manajer Umum Juventus, menghabiskan sebagian besar jam kerjanya dengan mengatur wasit mana yang bertugas memimpin laga Juventus. 

Juventus terperosok, lalu terbelah dua: Mereka yang meninggalkan dan menetap meski turun ke Serie B.



Rangkaian pukulan itu tidak hanya meremukkan hati para pemain dan suporter. Mantan pemain yang sedang menjabat sebagai eksekutif klub, Gianluca Pessotto, duduk di jendela lantai atas sambil memegang rosario, lalu menjatuhkan diri. Untunglah ia tertolong.

Carut-marut tak langsung tuntas begitu Juventus kembali ke Serie A. Mereka menutup musim 2009/10 di peringkat ketujuh. Bagi tim yang telah dicekoki prinsip kewajiban tim bukan cuma menang, tetapi merengkuh semua trofi, finis di posisi tujuh adalah mala.

Turbulensi di Juventus membuat Agnelli menjejakkan lagi langkahnya di sana. Sejak Umberto memutuskan pensiun, jabatan Presiden Juventus tak dipegang oleh anggota keluarga Agnelli. 

*****
Agnelli menyebut Juventus sebagai kambing hitam bobroknya sistem sepak bola Italia. Katanya, Moggi bukan satu-satunya orang yang berkomunikasi intens dengan para wasit. Kemerosotan ini ironis karena sepak bola Italia bersusah-payah agar tak ketinggalan zaman.

Agnelli mengingat betul masa-masa ketika sepak bola sama menyenangkannya dengan cuaca Italia. Bagi Agnelli, sepak bola Italia adalah kenangan manis yang bercampur aduk dengan ingatannya tentang gesture tangan yang menghidupkan pembicaraan, cappucino, skuter warna-warni yang lalu-lalang, lembaran merah muda Gazzetta dello Sport di meja-meja kafe yang menghadap ke jalan, senyum yang merekah saat menyantap brasato al barolo, dan stadion serupa tempat piknik keluarga.

Perubahan datang saat Silvio Berlusconi memimpin AC Milan pada 1986. Ia membawa kekuatan politik dan kekayaannya ke lapangan hijau. 

Sepak bola Italia tersentak, sadar bahwa di hadapan negara-negara Eropa lainnya mereka tak ubahnya relik menyedihkan yang sebentar lagi habis dimakan zaman. Jika ada satu hal tak masuk dalam perhitungan Berlusconi, itu adalah stadion sepak bola.

Agnelli tak mau mengulang kealpaan yang sama. Ia ingin Juventus menjadi klub pertama di Italia yang memiliki stadion sendiri. 

Ambisi ini bukan untuk gaya-gayaan. Klub-klub Italia cenderung kesulitan memaksimalkan pendapatan matchday karena tidak memiliki stadion sendiri. Itu berarti, uang masuk harus dibagi untuk membayar sewa. Tanpa stadion, klub bisa kesulitan bekerja sama dengan investor berkelas karena tak punya aset tetap.

Baca juga: Football, Bloody Hell

Pada September 2011, Juventus pindah ke Juventus Stadium. Pada hari itu pula, Juventus resmi menjadi satu-satunya tim Italia yang memiliki stadion sendiri.

Juventus lebih dulu mengambil alih kepemilikan Delle Alpi pada 2003. Akan tetapi, izin membangun stadion baru turun pada Februari 2008. 

Juventus Stadium memiliki berbagai potensi untuk memaksimalkan pendapatan, seperti pusat perbelanjaan, museum, dan corporate box. Yang terpenting dari semua elemen itu adalah para suporter bersedia membeli tiket karena sudah tak ada lagi lintasan atletik yang menjauhkan mereka dari para pemain.

Simon Kuper dalam tulisannya di Financial Times menjelaskan dengan jenaka apa-apa saja yang dilihatnya di ruang ganti para pemain. “Stadion ini bahkan menyediakan hair dryer siap pakai untuk para pemain. Kalian tahu betapa krusialnya pengering rambut bagi para pemain?”

Membangun stadion tidak memberikan keuntungan instan. Pada musim perdana kepemimpinan Agnelli, Juventus menelan kerugian 95,4 juta euro. Akan tetapi, angka itu membaik pada musim berikutnya, kerugian berkurang menjadi 48,7 juta euro.

Pembangunan stadion baru meningkatkan pendapatan dari berbagai lini, bahkan pada tahun pertamanya. Pendapatan matchday bertambah 20,3 juta euro, pendapatan sponsor naik 10,2 juta euro, serta pendapatan hak siar menanjak 1,9 juta euro. Itu belum ditambah dengan pengurangan biaya registrasi pemain yang membuat Juventus bisa berhemat 9,9 juta euro.

Mereka yang awalnya mencibir, kini mulai menelan ludah dan bercucuran keringat dingin.

*****

“Ada banyak iklan yang ditulis dalam bahasa Mandarin yang dipasang di stadion-stadion Inggris. Klub-klub Italia yang mengakses perusahaan-perusahaan multinasional hanya mendapatkan bujet lokal mereka di Italia. Yang seharusnya kita bicarakan adalah menembus kantor pusat mereka,” jelas Agnelli kepada Simon Kuper dalam wawancara bersama Financial Times.

Keluhan Agnelli itu tidak hanya bicara tentang uang yang masuk ke perusahaan. Itu adalah gambaran jarak antara Juventus--serta klub Italia lainnya--dengan klub-klub raksasa di Eropa.

Untuk memangkas jarak itu Agnelli berani mengambil langkah yang tak populer. Ia menunjuk Marotta dan menyerahkan urusan tim kepadanya. Dengan kepala dan tangan yang sama dinginnya, Marotta menyingkirkan para pemain yang dianggapnya tak lagi kompeten. Setelah membuka pintu bagi Andrea Pirlo yang dibuang Milan, Marotta mempersilakan Sang Tuan Juventus, Alessandro Del Piero, angkat kaki dari Turin.

Sebelum Juventus memasuki rumah barunya, Agnelli mengganti pelatih interim Alberto Zaccheroni dan direktur olahraga Alessio Secco. Dua jabatan itu diisi oleh dengan manajer Sampdoria, Luigi Delneri, dan direktur olahraga Giuseppe Marotta.

Namun, Delneri gagal meningkatkan peruntungan Juventus dan dipecat. Mantan pemain dan favorit penggemar, Antonio Conte, ditunjuk sebagai pengganti Delneri setelah bersinar bersama Sienna. 

Dominasi ternyata bukan isapan jempol bagi klub yang pernah tergusur ke Serie B akibat skandal pengaturan laga. La Vecchia Signora merengkuh sembilan scudetto beruntun sejak 2011/12 sampai 2019/20. Itu belum ditambah dengan trofi Coppa Italia. 

Musim tanpa kekalahan, 102 poin, empat gelar juara Coppa Italia setelah puasa 20 tahun, dua final Liga Champions dalam empat tahun, sembilan scudetto beruntun, kenaikan pendapatan 200%, rangkaian transformasi rumit sebagai pijakan ajek bagi superstar Paul Pogba dan Cristiano Ronaldo: Itu adalah cara Agnelli membawa Juventus ke era baru.

Ketika Juventus mengganti logo pada 2017, publik mencibir Agnelli sebagai orang yang tak peduli dengan sejarah. Akan tetapi, mungkin mereka lupa bahwa ia sudah ada di sana bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki ke stadion Juventus. 

Agnelli bukan pujangga yang akan mengabadikan kenangan dengan cara mendayu-dayu. Ia adalah pebisnis, putra pebisnis dan politisi. Agnelli merawat sejarah dengan menjaga Juventus agar tak menjadi cerita masa lalu belaka. 

Perubahan logo itu adalah cara untuk membuat Juventus lebih diterima dan populer di era sekarang. Ia tak mau Juventus menjadi Juventus yang dikenal orang-orang dulu, klub singgah para pemain hebat. Ia mau Juventus yang dirawatnya itu menjadi tujuan para pemain bintang. Ia mau Juventus setara dengan raksasa Eropa.

*****
"Kami mungkin naif karena tidak menyadari ada ular yang menyelinap di antara kami," Presiden UEFA, Alexander Ceferin, geram dengan European Super League, ulah pemberontakan 12 anak bandel.

Wacana ESL menguar, Ceferin dan UEFA menginjak pedal gas. Ancaman hukuman bagi pemain dan klub tak cukup. UEFA meresmikan format baru Liga Champions yang akan digunakan mulai 2024. 

Pada akhirnya tidak ada yang bertepuk tangan. Di antara mereka yang mengerutkan kening, tak ada yang tahu siapa yang pantas dicap sebagai orang baik dan jahat. Di hadapan mereka kini semua orang sama abu-abunya, sama membingungkannya, sama berbahayanya.

Agnelli tahu persis berapa banyak uang yang hangus karena pandemi. Ke-12 pemberontak itu kehilangan 1,2 miliar euro sebelum penjualan pemain di bursa transfer terakhir. Hitung-hitungan tersebut, tak dapat disangkal, memicu kudeta yang usianya tak lebih dari 2 hari itu. 

Akan tetapi, Agnelli terbiasa melihat apa-apa yang tak dilihat awam. Jika dulu ia melihat calciopoli sebagai titimangsa baru yang membuat jenama Juventus melesat karena identik dengan kebangkitan dari titik nadir, kini ia melihat tangan-tangan tak kasatmata yang mengatur permainan dan menyergap dalam senyap. 

Barangkali pemberontakan Agnelli adalah upaya untuk menghentikan tangan-tangan tak kelihatan itu.