Juventus dan Allegri Memang Sehati

Massimiliano Allegri saat memimpin sesi latihan Juventus. Foto: @juventus.

Allegri dan Juventus bukan kawan baru. Mereka sudah akrab sejak 2014. Pandangan mereka soal sepak bola pun sama: Kemenangan adalah hal terpenting.

Juventus bukan tempat nyaman bagi juru taktik yang tidak mengagungkan kemenangan. Identitas klub yang tersusun dari kata-kata legendanya, Giampiero Boniperti, bahwa "menang bukan sekadar penting, tetapi satu-satunya yang paling penting" harus mengakar di benak pelatih --orang yang paling bertanggung jawab atas hasil laga.

Jika gagal meraih satu dari apa-apa yang sudah ditetapkan, silakan angkat kaki. Andrea Pirlo tentu paham betul soal dogma tersebut.

Wajah Juventus di bawah kepelatihan Pirlo lebih segar. Permainan 'Si Nyonya Tua' sangat cair. Skema yang diterapkan pada setiap laga pun kerap berganti. Pirlo tidak saklek pada satu pakem karena ia lebih percaya role (peran) ketimbang posisi. Untuk mewujudkan prinsip tersebut, ia membutuhkan fleksibilitas dan pergerakan pemain.

Catatan di atas kertas soal posisi pemain suka Pirlo kesampingkan. Saat melawan Sampdoria pada laga pertama Serie A, misalnya, Aaron Ramsey yang berposisi di lini tengah sebelah kiri mendapat instruksi menjadi pemain nomor 10. Gelandang Wales itu rajin turun untuk meminta bola, mengeksploitasi ruang antar-lini, dan menempel garis pertahanan lawan ketika para penyerang Juventus turun.

Pirlo membebankan tugas mencetak gol pada Cristiano Ronaldo. Mau dari sisi mana serangan dibangun, saat sudah mendekati gawang lawan, bola akan diarahkan kepada eks pemain Real Madrid tersebut.

Itu terbukti dari rata-rata tembakan Ronaldo yang mencapai 5,1 kali per 90 menit di Serie A. Dari jumlah tersebut, Ronaldo mengoleksi 29 gol sekaligus keluar sebagai top skor Serie A 2020/2021.

Bandingkan dengan Alvaro Morata yang menjadi pencetak gol terbanyak kedua Juventus di Serie A dengan catatan 11 gol. Mengacu WhoScored, striker Spanyol itu melakukan 1,8 tembakan per laga. Hanya Paulo Dybala yang mampu mendekati catatan shots per game Ronaldo. Itu pun "cuma" 2,6 tendangan per pertandingan.

Gaya bermain dan keputusan-keputusan Pirlo awalnya dapat pemakluman. Toh, badai cedera memang menjadi persoalan. Apalagi di tengah pandemi, pemain inti bisa tiba-tiba absen lantaran terpapar COVID-19.

Namun, pemakluman ada kedaluwarsanya. Pembenaran dan pembelaan tidak akan hidup panjang. Pirlo gagal menjawabnya dengan trofi prestisius. Ia memang menutup musim 2020/2021 dengan trofi Coppa Italia dan Piala Super Italia. Namun, ia tak sanggup mempersembahkan scudetto bagi Juventus. Di Liga Champions, Juventus cuma melaju sampai babak 16 besar usai takluk dari Porto.

Kegagalan tersebut, mengutip Corriere della Sera, bukan hanya disebabkan oleh cedera dan absennya para pemain pilar, tetapi juga karena pemain sulit mencerna taktik dan konsep yang diterapkan Pirlo.

Komunikasi Pirlo dengan pemain juga disinyalir menjadi masalah utama. Pelatih berkebangsaan Italia itu jarang mengajak pemainnya berbicara soal taktik yang ada di kepalanya. Akibatnya, Juventus dilanda inkonsistensi.

Juventus tidak mau lagi memberi pemakluman. Sudah cukup waktu dan kesempatan untuk Pirlo. The Old Lady pun memanggil kembali Massimiliano Allegri untuk mengembalikan kejayaan Juventus di Italia atau bahkan Eropa.

Allegri dan Juventus bukan kawan baru. Mereka sudah akrab sejak 2014. Saat itu, Allegri datang sebagai pengganti Antonio Conte yang pergi saat pramusim. Meski kedatangannya disambut dengan lemparan telur, Allegri mengakhiri musim perdana sebagai pelatih Juventus dengan trofi Serie A dan Coppa Italia.

Pria 54 tahun itu mempersembahkan 11 trofi di tiga kompetisi berbeda selama lima musim mengarsiteki Juventus. Rinciannya, lima scudetto, empat Coppa Italia, dan dua gelar Supercoppa Italia. Hanya trofi Liga Champions yang gagal ia persembahkan meski Juventus melaju dua kali ke babak final.

Di luar pencapaian, keyakinan Allegri soal sepak bola sejalan dengan identitas Juventus. Bahwa kemenangan adalah satu-satunya hal paling penting. Semonoton apa pun gaya bermain, jika kamu memenanginya, itu sudah cukup. Tidak perlu bermain indah dengan melimpahnya penguasaan bola dan catatan umpan.

Allegri bukan pelatih yang senang membicarakan taktik. Pernah suatu waktu Allegri cabut dari sesi wawancara dengan Sky Sport karena malas meladeni olok-olok analis Lele Adani tentang statistik penguasaan bola dan gaya bermain Juventus yang terlalu fokus kepada Ronaldo.

Paolo Bandini dari The Athletic menulis, Allegri memegang teguh slogan "sepak bola bukanlah aritmatika." Selain itu, kata Bandini, Allegri pernah menganalogikan permainan bola basket untuk menggambarkan gaya bermain tim asuhannya.

“Anda memiliki 24 detik dengan bola, Anda membuat skema dan pada akhirnya, ketika tersisa lima detik dan skema tidak berhasil, kepada siapa mereka memberikan bola? Pemain terbaik."

Pada Desember 2020, dilansir ESPN, Allegri menyatakan bahwa sepak bola tidak semata-mata soal taktik, tetapi seni yang diperagakan oleh seniman, yakni pemain kelas dunia.

Untuk mengeluarkan potensi terbaik dari pemain kelas dunia sekaliber Ronaldo, kata Allegri, pelatih harus memberi kebebasan kepada mereka dalam melakukan apa saja yang mereka inginkan di lapangan tanpa membebaninya dengan taktik.

"Di Italia, taktik, skema, semuanya omong kosong. Sepak bola adalah seni dan para senimannya pemain kelas dunia," ucap Allegri. "Anda tak harus mengajari mereka apa pun, Anda hanya perlu mengagumi mereka dan menempatkan mereka dalam kondisi terbaik untuk melakukan semuanya dengan baik di lapangan."

Allegri adalah pelatih yang cerdik. Ia tidak ragu mengubah pakem Juventus di setiap musimnya. Musim 2014/15, mengacu WhoScored, Allegri menerapkan pakem 3-5-2 sebanyak 15 laga dengan catatan 11 kemenangan, tiga imbang, sekali kalah, 24 gol, dan lima kebobolan. Pada musim yang sama, ia memakai formasi 4-3-2-1 dalam 12 laga.

Kedua formasi itu rutin diterapkan Allegri hingga musim 2015/16. Pada musim 2016/17, ia mulai memasang formasi 4-2-3-1 dan 4-3-3. Skema empat bek pun terus dipakai Allegri sampai musim 2018/2019.

Menurut Bandini, fleksibilitas Allegri hanya untuk dua tujuan. Pertama, memaksimalkan pemain bintang Juventus, macam Pogba, Tevez, dan Ronaldo. Kedua, meraih kemenangan.

Juventus asuhan Allegri tidak bermain agresif. Juventus lebih sabar dan fokus pada penguasaan bola. Build-up yang digunakan lebih lambat dengan umpan-umpan pendek. Jika sudah unggul, Allegri akan menumpuk pemain di lini belakang.

Keberadaan Allegri tidak hanya memicu optimisme Juventus untuk meraih kejayaan, tetapi juga kembali pada permainan yang pragmatis. Juventus akan menjadi tim yang memprioritaskan hasil ketimbang cara bermain. Dengan cara tersebut, Juventus mampu meraih puluhan trofi. Bukankah delapan scudetto beruntun pada 2011-2019 buah permainan pragmatis ala Conte dan Allegri?

Juventus akan memusatkan serangan kepada Ronaldo pada musim 2021/22, seperti yang dilakukan Allegri pada musim 2018/19. Saat itu, Allegri menjadikan Ronaldo sebagai pengakhir serangan. Tendangan-tendangan dominan berada di kaki eks pemain Real Madrid tersebut. Mengacu WhoScored, Ronaldo mencatat 21 gol dan 5,7 tendangan per laga.

Allegri pun sudah mengontak dan memberi wejangan kepada Ronaldo sebelum memulai kompetisi.

"Saya berharap banyak darinya dalam hal tanggung jawab. Dia dalam kondisi baik dan fit. Ada momen berbeda dalam satu musim, ketika kami akan bermain satu pertandingan setiap tiga hari dan saya harus merotasi tim untuk melibatkan semua pemain," kata Allegri sebagaimana mengutip Football Italia.

Allegri sudah cukup yakin dengan skuad yang ada. Ia pernah berkata bahwa skuad Juventus saat ini adalah skuad yang luar biasa. Rekrutan pada musim 2019/20 dan 2020/21, seperti Federico Chiesa, dinilai Allegri dapat memberikan perbedaan.

Musim lalu, Chiesa mampu menjadi winger komplet. Ia tidak hanya berperan sebagai penyaji peluang, tetapi juga pencetak gol. 8 gol dan 8 asis di Serie A menjadi bukti sahih. Kemampuan olah bola Chiesa pun terbilang oke dengan catatan 1,6 dribbles per 90 menit. Atribut yang dimiliki Chiesa akan menjadi solusi manakala Ronaldo buntu.

Selain menyamakan visi dengan pemain, Allegri harus membangun mentalitas juara skuadnya dengan sungguh-sungguh. Sebab, mentalitas itu juga yang membuat Juventus gagal merengkuh trofi Serie A.

Untuk memperkuat kedalaman skuat, Juventus dikabarkan sedang berusaha merekrut Manuel Locatelli dan Kaion Jorge. Kedalaman skuat ini akan menjadi modal penting untuk mewujudkan target yang belum pernah Allegri realisasikan: Trofi Liga Champions.