Kail Phil Foden

Foto: Twitter @philfoden.

Pendar Phil Foden sudah terlihat sejak dia masih belasan tahun. Kini, saat sudah menginjak kepala dua, Foden semakin bersinar. Manchester City beruntung memilikinya.

Masa remaja adalah masa di mana kamu dihadapkan pada beberapa pilihan yang akan menentukan masa depanmu.

Kafka Tamura dalam novel "Kafka on The Sore", pada usia 15 tahun, memilih kabur meninggalkan rumah untuk menemukan jati diri. Kamu, mungkin, pada usia belasan tahun memilih belajar dengan tekun demi masuk sekolah atau universitas bagus agar mudah jadi pekerjaan. Ada juga yang menghabiskan usia belasan dengan mencicipi segala kenakalan hingga puas dengan harapan tak mengulangi hal itu lagi saat usia dewasa tiba.

Bagi Phil Foden, usia remaja adalah usia di mana dia harus memilih antara bermain sepak bola dan memancing. Sejak kecil, Foden sudah keranjingan dua hal tersebut. Jika tak sedang bermain sepak bola, Foden pasti memancing. Jika tak memancing, pemuda kelahiran Stockport itu pasti bermain sepak bola.

Untuk urusan sepak bola, bakat Foden sudah terendus sejak dia berusia empat tahun. Pada usia yang sama, dia sudah masuk akademi Manchester City, klub favoritnya. Sudah sejak kecil dia mencuri perhatian. Beberapa orang di Akademi City tak ragu menyebut bahwa Foden paling menonjol di antara rekan-rekannya yang lain.

Bahkan salah satu petinggi Akademi City, Jim Cassel, dalam wawancaranya di The Athletic, menyebut Foden seperti Lionel Messi di antara rekan-rekan setimnya. Foden disebut cepat, punya kaki kiri yang bagus, punya keseimbangan yang oke, dan memiliki umpan yang luar biasa. Padahal, kala itu, Foden masih bermain di tim U-9.

Pada masa kecil, bakatnya sudah terendus seantero Manchester dan karenanya Foden juga sempat jadi rebutan. Saat usianya belum genap 10, Manchester United sempat mencoba mengajaknya bergabung, tapi Foden jelas menolak. Tak ada tempat untuk klub Manchester lain selain City di hatinya. Foden adalah fan City sejak kecil dan yang menarik, itu berbeda dari sang ayah yang merupakan pendukung United.

Ketika usianya bertambah, Foden akhirnya mulai memutuskan lebih banyak menghabiskan waktu bermain bola. Bakatnya sebagai pemancing memang luar biasa, terlebih karena dia disokong sang ayah. Namun, bakatnya sebagai pesepak bola juga lebih luar biasa lagi. Itu dibuktikan dengan masuk Timnas Inggris level junior di usia belasan tahun.

Puncak masa remajanya kemudian hadir pada tahun 2017. Pada usia 17 tahun dia mampu membawa Timnas Inggris menjadi runner-up Piala Eropa U-17. Setelah itu, pencapaian yang lebih besar ia dapatkan: Membawa Timnas Inggris menjadi kampiun Piala Dunia U-17. 

Lebih hebatnya lagi, pada ajang Piala Dunia itu, Foden jadi pemain terbaik. Saat itu sorotan publik Inggris dan dunia sudah mulai mengarah kepadanya.

Momen lain yang tak kalah penting dalam waktu berdekatan ketika itu adalah keberhasilannya mencatatkan debut di Liga Champions (dan saat itu menjadi pemain termuda Inggris yang jadi starter di ajang tersebut).

Lantas, pada musim 2017/18, dia menjadi pemain termuda yang berhasil meraih medali kampiun Premier League bersama City. Masa remaja Foden, dalam urusan karier, berjalan begitu cepat.

***

Laga melawan Liverpool pada akhir pekan lalu membuktikan betapa cepatnya Foden tumbuh sebagai seorang pesepak bola. Pada laga tersebut, pemain yang punya panggilan Ronnie itu berhasil menciptakan satu gol dan satu assist untuk membawa pulang gelar man of the match. Penampilannya pada babak kedua amat memukau.

Pada awal pertandingan, Foden bermain sebagai pemain depan tengah dalam formasi 4-3-3 yang diterapkan Pep Guardiola. Boleh dibilang false nine, meski kata Michael Cox, dalam tulisannya di The Athletic, Foden bermain lebih 'falser nine' daripada seorang false nine

Sayangnya, dalam pola tersebut, Foden kudu berduel dengan Fabinho dan Jordan Henderson, dua bek tengah Liverpool. Foden pun mudah dijinakkan dan dia juga tak punya banyak ruang untuk bergerak.

Pada babak kedua, ketika Guardiola mengubah pola menjadi 4-2-3-1, permainan Foden secara ofensif mulai berkembang. Ini karena konsentrasi dua bek tengah Liverpool terbagi dengan kehadiran Bernardo Silva yang diplot sebagai gelandang serang tengah. City main dengan false nine kembar. Hasilnya, mereka pun bisa menciptakan gol.

Gol pertama yang diciptakan Ilkay Guendogan itu tak lepas dari kejelian Foden memaksimalkan minimnya penjagaan dari pemain belakang Liverpool. Tak seperti pada babak pertama saat dia berada dalam himpitan dua bek tengah, saat gol pertama tercipta Foden hanya dikawal Fabinho--itu pun tidak terlalu ketat. Jadilah dia bisa merangsek masuk ke kotak penalti hingga bola muntah hasil tendangannya yang ditepis Alisson bisa dimanfaatkan Gundogan menjadi gol.

Awal pergerakan Foden di gol pertama City. Foto: Youtube Man. City
Momen saat Foden melepaskan tembakan. Foto: Youtube Man. City

Peran Foden kemudian berubah lagi setelah Gabriel Jesus masuk. Kali ini dia digeser sebagai gelandang serang kiri. Pada posisi itu, pemain kelahiran 28 Mei 2000 itu mampu bermain sama baiknya. Hasilnya, hanya dalam kurun waktu 10 menit, Foden berhasil menciptakan satu gol dan satu assist. Dua-duanya membuktikan kelas Foden sebagai pemain, meski dia baru berusia 20 tahun.

Pada proses assist, dia adalah pemain yang mengintersep bola sepakan Alisson yang memang lemah itu. Lalu, berkat kecepatan dan kecerdikannya bergerak, dia mampu lepas dari kawalan Henderson untuk menciptakan assist buat, lagi-lagi, Guendogan.

Foden memanfaatkan kecepatan untuk melewati Henderson. Foto: Youtube Man. City
Momen saat Foden bisa mendapat ruang untuk ciptakan assist. Foto: Youtube Man. City

Proses golnya pun sama. Foden berhasil memanfaatkan ruang di depan Andrew Robertson Robertson untuk menusuk ke dalam kotak penalti Liverpool dan melepaskan sepakan kencang yang sama sekali tak bisa dihalau oleh Alisson. Dia membuat lini belakang Liverpool tak berkutik pada laga itu.

Foden jeli melihat ruang di depan Robertson. Foto: Youtube Man. City
Foden saat melepaskan tembakan. Foto: Youtube Man. City

Musim ini, Foden memang bukan pilihan utama Guardiola. Dia baru mencatatkan 17 penampilan (dengan hanya 11 kali starter) di ajang Premier League dari total 22 pertandingan yang dicatatkan City. Namun, dari jumlah laga itu, Foden mampu berkontribusi atas delapan gol City dengan jabaran lima gol dan tiga assist.

Foden memang sosok yang efektif dan punya kontribusi cukup apik jika dimainkan. Musim ini dia mencatatkan 2,46 tembakan per 90 menit dan 2,02 umpan kunci per 90 menit. Dua catatan itu, setidaknya, masuk daftar empat besar terbaik City. Tak hanya itu, tembakan dan umpan yang dicatatkan Foden pun bagus secara kualitas.

Dia mencatatkan 0,34 expected goal (xG) per 90 menit musim ini. Angka itu lebih baik dari gelandang serang City lainnya seperti Riyad Mahrez, Ferran Torres, atau Bernardo Silva. Foden juga punya catatan 0,31 expected assist (xA) per 90 menit yang mana itu lebih baik dari pemain seperti Sterling, Silva, Torres, atau Guendogan.

Foden bisa menjadi senjata rahasia Guardiola musim ini dan, dengan kemampuan bisa bermain di banyak posisi, rasanya dia akan selalu bisa mengejutkan lawan-lawan City. Dia punya visi yang bagus; tahu kapan harus melakukan dribel dan kapan harus melepaskan umpan.

Di antara gelandang serang dan penyerang City, Foden adalah pemain dengan catatan kehilangan bola per pertandingan paling sedikit musim ini. Ayah satu anak ini hanya kehilangan bola 0,6 kali per pertandingan. Dibanding Sterling (2,8 kali) atau De Bruyne (1,2 kali) catatan Foden jelas mentereng.

***

Foden sudah kepala 2 dan itu artinya dia bukan seorang remaja lagi. Saat remaja, dia memutuskan mengurangi waktu memancing untuk tekun bermain sepak bola agar mampu jadi pemain hebat. Saat ini, di antara pemain-pemain seusianya, dia sudah terhitung hebat.

Foto: Manchester City

Di lapangan pun dia sebenarnya juga sedang memancing; memancing pemain belakan lawan melakukan kesalahan agar dia mendapatkan sesuatu yang dituju: Gol dan assist. Bagi Foden, itu sama baiknya dengan mendapatkan ikan di laut. Yang jadi kail adalah kemampuannya yang semakin komplet.