Kaki-kaki Lorenzo Insigne

Foto: @azzurri.

Tempat Insigne berdiri adalah jalur utama serangan Italia dan kaki-kakinya menjadi nyawa buat mereka.

“Aku melihat Youri Tielemans di depanku, dia sudah mendapat kartu kuning, jadi aku bisa berlari ke arahnya. Aku kemudian melihat celah itu dan melakukannya.” 

Ini bukan gol biasa. Ini gol penting yang mengantar Italia melaju ke semifinal Euro 2020. Dengan cantik pula Lorenzo Insigne melakukannya. Bola tendangan kaki kanannya menghunjam gawang Belgia dalam-dalam. Thibaut Courtois tak berdaya meski Insigne melepaskannya di luar kotak 18 yards.

Seperti yang ia bilang, segalanya sudah diperhitungkan. Tanpa adangan berarti dari Tielemans, Insigne bisa leluasa mencari ruang tembak. Toby Alderweireld dan Thomas Vermaelen malah memilih menunggu alih-alih berusaha mengganggu. Sempurna.

Orang-orang bilang apa yang dilakukannya ini sebatas hafalan. Ada benarnya, sebab Insigne memang nyaris selalu menunaikannya di setiap pertandingan. Menyisir tepi, melakukan cutting inside, lalu melepaskan tendangan ke tiang jauh. Sebelas-dua belas dengan trik Arjen Robben. Ricardo Quaresma juga punya pola gerakan serupa—yang kemudian diakhiri dengan Trivela khasnya.

Hafalan bukan berarti borok. Justru para penghafal ini tahu betul bagaimana cara memaksimalkan apa yang dipunya. Kecepatan dan badan kecil Insigne memudahkannya untuk berjingkrak kemudian bermanuver ke half-space.

Bila segalanya berjalan sesuai rencana, Insigne selalu unggul sepersekian detik sehingga menyulitkan pemain pengawal. Baru setelahnya ia melontarkan tendangan. Insigne punya kaki yang sama kuatnya. Akurasinya juga sudah terakreditasi A. Kalau tidak, mana mungkin ia menjadi eksekutor tendangan bebas di Napoli sekaligus Timnas Italia.

***

Semuanya diawali dari Giuseppe Santoro. Ia berjudi mendatangkan pemuda mungil berusia 15 tahun dari Olimpia Sant'Arpino. Apa yang Santoro lakukan berbeda dengan para pencari bakat di Italia pada saat itu. Kebanyakan dari mereka menginginkan pemain yang bisa bertumbuh hingga lebih dari 1,8 meter.

Insigne jauh dari sana. Tinggi badannya saat itu bahkan tak lebih dari 160 sentimeter. Posturnya yang kelewat pendek membuat dirinya disisihkan oleh para pencari bakat. Itu juga yang menjadi alasan ia gagal lulus tes masuk Inter Milan dan Torino. "Mereka lebih menyukai pemain yang tingginya 6 kaki 2 inci meski tak tahu bagaimana melakukan keepie-uppie," kenang Insigne.

Namun, justru segala kekurangan itu yang mempertemukan Insigne dengan Napoli. Lagipula Partenopei bukan pilihan buruk. Mereka adalah tim Naples yang merupakan tempat asal Insigne. Kedua, Napoli sudah mulai settle di Serie A setelah nyaris sedekade berkubang di Seri B dan C.

Dari Napoli, Insigne kemudian mengenal Zdenek Zeman. Tepatnya saat ia direntalkan ke Foggia pada musim 2010/11. Zeman bukanlah seorang penyabar dan barangkali bukan guru yang baik. Namun, ia tahu bagaimana caranya bermain ofensif.

Pada 1989 Zeman pernah mengejutkan Italia dengan sepak bola ultraofensif-nya. Bermodalkan pemain-pemain muda macam Giuseppe Signori, Francesco Baiano, Dan Petrescu, dan Igor Kolyvanov, Foggia dibawanya promosi ke Serie A pada musim 1991/92. Saking fenomenalnya, era kepelatihan Zeman di Foggia itu dikenal dengan Zemanlandia.

Meski Foggia-nya yang sekarang tak lagi sama, Zeman masih mengusung ideologi serupa. Ia meminta pemainnya untuk sesegera mungkin mendapatkan kembali bola setelah dikuasai oleh lawan. Pada pakemnya, tiga penyerang memiliki kewajiban untuk berada di dalam kotak penalti saat dalam mode ofensif.

Menjadi masuk akal kalau Insigne kemudian menyarangkan nyaris 20 gol di Lega Pro Prima Divisione (Serie C1) edisi 2010/11. Itu juga yang mendasari Zeman untuk kembali membawanya saat membesut Pescara semusim berselang. Kala itu Insigne tergabung bersama tonggak masa depan Italia lainnya, Ciro Immobile dan Marco Verratti.

Napoli kemudian memulangkan Insigne jelang musim 2012/13. Tak perlu ditanya alasannya. Insigne menjadi aktor utama di balik kesuksesan Pescara menjadi kampiun Serie B. Ia juga dianugerahi titel pemain terbaik Serie B bersama Immobile dan Verratti. Selama 2 musim peminjamannya, Insigne berhasil mengumpulkan 46 gol di lintas ajang.

Pemain dan pelatih ibarat botol dengan tutupnya. Bila tak sinkron, botol tak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Air bisa tumpah ke mana-mana.

Insigne beruntung pernah bekerja sama degan Maurizio Sarri hingga Carlo Ancelotti. Sama seperti Zeman, keduanya tahu betul cara memfungsikan sang pemain. Di bawah Sarri, Insigne bermain sebagai penyerang sayap kiri yang berkolaborasi dengan Marek Hamsik dan Faouzi Ghoulam atau Mario Rui. Hasilnya tokcer. Selama tiga musim rezim Sarri, Insigne berhasil membuahkan 38 gol dan 30 assist di Serie A.

Masa jabatan Ancelotti memang lebih singkat dibanding Sarri. Meski begitu, ia punya pengaruh penting dalam memodifikasi peran Insigne. Alih-alih memberinya pos di kiri, Ancelotti justru memasangnya sebagai penyerang tengah. Meskipun pada praktiknya dia bermain lebih ke dalam ketimbang striker lainnya, Arkadiusz Milik.

Penempatan Insigne di area sentral ini mengingatkan publik Italia kepada para trequartista legendaris macam Gianni Rivera, Sandro Mazzola, dan Roberto Baggio. Mereka yang dengan ciamik mengampu sebagai kreator serangan sekaligus piawai mencetak gol dari lini kedua. Gamblangnya, trequartista mampu menyelesaikan peluang itu sendiri tanpa mengesampingkan peran sebagai pemrakarsa peluang.

Sepanjang musim 2018/19 itu, Insigne berhasil mengumpulkan 10 gol dan 6 assist. Well, jumlah yang lumayan dengan peran barunya itu.


Bila Zeman, Sarri, dan Ancelotti adalah teladan sempurna buat Insigne, Gian Piero Ventura ada di kubu yang berbeda. Ia gagal mewadahi Insigne dengan betul. Tengok saja bagaimana kegagalan Italia merebut tiket ke Rusia tiga tahun silam. Buat Gli Azzurri, absen mentas di Piala Dunia adalah aib yang sukar ditutupi.

Ventura kelewat pragmatis. Ia terlalu malas mengubah trio lini tengah Italia, enggan terhadap penggunaan wing-back ketika menyerang, dan menggunakan dua penyerang setipe di lini depan. Keputusannya mengotak-atik posisi Insigne menjadi tak ada gunanya.

Kegagalan Ventura memaksimalkan Insigne adalah salah satu dari sekian banyak problem yang ia buat. Pengusiran Graziano Pelle serta keputusan menyisihkan Sebastian Giovinco menunjukkan redahnya kualitas dirinya dalam mengambil keputusan.

Ventura sembrono ketika memilih taktik, termasuk soal bagaimana ia memilih formasi, memutuskan siapa yang akan bermain, sampai melakukan pergantian. Ia pernah memasukkan Bryan Cristante di tengah permainan saat Italia bersua Makedonia. Menurunkan gelandang tengah jelas bukan langkah masuk akal untuk tim yang sedang memburu kemenangan. Italia pun tertahan 1-1.

Laga melawan Swedia empat tahun lalu menjadi yang paling fenomenal. Dalam situasi serupa, Ventura justru berniat memasukkan Daniele De Rossi. Ya, jangan kaget kalau De Rossi kemudian mencak-mencak di pinggir lapangan. Kejadian yang sebenarnya tidak lebih memalukan dari kegagalan Italia malam itu.

***

Di Euro kali ini Insigne mendapatkan momentumnya. Ia tak pernah mendapatkan kesempatan sebaik ini. Di bawah Roberto Mancini Italia menjadi tim yang berkali lipat lebih baik dari era Ventura. Ia tidak hanya memperbaiki bobroknya pertahanan, tapi juga mempertajam lini depan.

Mancini hampir tak pernah mengubah format dasar 4-3-3 sejak pertama kali ditunjuk, tepatnya dalam 33 pertandingan. Inilah yang membuat para pemainnya punya banyak waktu untuk menyerap keinginannya dengan sempurna. Ditambah lagi dengan kebebasan yang ia berikan saat mereka memegang bola. Dari situ Insigne bisa lebih leluasa memainkan perannya: Sebagai penyelesai peluang sekaligus pemrakarsa. Mestinya tak sulit karena itu merupakan pekerjaan tetapnya di Napoli.


Sejauh ini Insigne telah mengumpulkan 2 gol, terbanyak bersama tiga pemain Italia lainnya. Tentu kontribusinya lebih dari itu, dari umpan-umpannya dan pergerakan tanpa bolanya. Sebesar 42% serangan mereka berasal dari sisinya. Ya, tempat Insigne berdiri merupakan jalur utama serangan Italia dan kaki-kakinya adalah nyawa buat mereka.