Kaki-Kaki Sepak Bola Perempuan

Ilustrasi: Arif Utama.

Keberhasilan Timnas Perempuan Indonesia merengkuh tiket Piala Asia 2022 adalah perjalanan panjang dengan berbagai tantangan.

Rudy Eka Priyambada tahu persis kekuatan Timnas Perempuan Indonesia yang dilatihnya. Katanya, perempuan-perempuan ini sangat cerdas secara taktik, bahkan bukan tidak mungkin lebih cerdas daripada tim-tim yang pernah ia latih.

“Daya ingat mereka terhadap taktik itu tinggi. Kan ada pepatah lama, perempuan itu selalu ingat kesalahan laki-laki. Ya, kenapa tidak kita gunakan saja daya ingat itu? Mereka tidak hanya ingat taktik, tetapi juga kesalahan sendiri. Dari situ, transfer taktik bisa jadi lebih baik,” papar Coach Rudy kepada The Flanker.

Butuh waktu 32 tahun bagi Indonesia untuk bisa kembali berlaga di Piala Asia Perempuan. Kepastian itu didapat usai mengalahkan Timnas Perempuan Singapura 1-0 pada laga kedua babak kualifikasi Grup C, (27/9).

Awal mengikuti gelaran babak kualifikasi Piala Asia Wanita 2022, Timnas Perempuan menempati pot keempat alias pot non-unggulan sebelum pengundian grup. Mereka bahkan dikatakan hanya memiliki kans kecil untuk bisa lolos ke putaran final. Skuad Garuda Pertiwi masuk grup yang cukup berat bersama Korea Utara, Singapura, dan Irak. Akan tetapi, Korea Utara dan Irak menyatakan mundur dari kualifikasi sehingga Singapura menjadi satu-satunya lawan Indonesia.

Terlepas dari absennya Korea Utara dan Irak, Indonesia pada akhirnya mencatatkan sejarah baru. Bahwa setelah 32 tahun mati suri, akhirnya mereka bisa kembali berlaga di Piala Asia Perempuan. Salah satu kunci utama keberhasilan ini, menurut Coach Rudy, adalah pemilihan pemain yang tepat.

Siapa pun yang ada di sana adalah orang-orang yang dibutuhkan Timnas untuk berlaga di Piala Asia. Tim ini bukan one man show, dalam artian, keberhasilan merengkuh tiket ke Piala Asia bukan hanya karena satu atau dua orang pemain.

Pertanyaan yang muncul: Bagaimana proses pembentukan pemain? Toh, sepak bola perempuan bukan olahraga yang populer di Indonesia. Pembinaan dan kompetisi bahkan tidak semasif sepak bola laki-laki.

Coach Rudy menjelaskan bahwa ada bank data Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia. Ketua Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia, Papat Yunisal, memaparkan bahwa membuat bank data untuk membentuk Timnas Perempuan adalah perjalanan panjang. Ini dimulai dari kompetisi dan festival yang digelar di level grass root. 

Pembinaan dan kompetisi sepak bola perempuan memang kalah populer dibandingkan sepak bola laki-laki, bahkan kedua proses tersebut tidak segemerlap hasil yang didapat oleh Timnas Perempuan di Piala Asia. Salah satu kendalanya adalah masih banyak masyarakat, pemain, bahkan orang tua ingin hasilnya instan.

“Kalau ada seleksi Timnas, yang mendaftar berbondong-bondong, padahal semuanya harus diawali dari grass root. Untuk grass root ini, kami adakan event, boleh festival juga, setiap tahun tanggal 8 Maret, bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia. Ini sudah berjalan sekitar 5 tahun ke belakang. Jadi kami merekrut dari anak SD SMP,"  jelas Papat.

Ajang seperti Pertiwi Cup juga berandil besar dalam pembentukan bank data karena kompetisi ini digelar dalam level regional. “Pertiwi Cup ini kan tidak ujug-ujug nasional, ada regional juga. Siapa yang sudah memutar di provinsi, boleh tampil di nasional. Cari dan seleksi dari situ. Kalau Papua, Bangka Belitung 'kan selalu eksis. Biasanya yang terbaik dikirim ke nasional. Kalau harapan saya, memang tidak perlu yang juara, tetapi yang terbaik saja yang dikirim ke nasional. Bukan tidak mungkin lho, ada pemain bagus yang nyelip-nyelip di tim yang tidak juara. Selain Pertiwi, ada Piala Nusantara yang dulu digelar di Jepara.”

Seluruh ajang tersebut pada dasarnya merupakan cikal bakal Timnas Perempuan yang akan berlaga di Piala Asia 2022. Yang harus digarisbawahi, Timnas Perempuan tidak dibagi menjadi kategori umum. Ini pun terlihat dalam gelaran. Setidaknya, dalam satu tim yang berlaga ada pemain senior, U-18, dan U-16. Ini penting karena kondisi yang masih serba-terbatas. Jika tidak demikian, sampai kapan harus menunggu kompetisi? Selain itu, pendataan masih menjadi persoalan yang harus diatasi.

“Kami juga harus jemput bola. Kenapa? Misalnya, di Papua. Yang bisa main bola bagus banyak, tetapi yang terdaftar di Asprov cuma 2. Makanya kalau ada pertanyaan, kenapa tidak dikasih tahu soal pemilihan Timnas, jawabannya karena PSSI ini selalu berkesinambungan dengan Asprov dulu. Pertiwi Cup ini 'kan antarprovinsi, ya. Namun, kalau datanya tidak banyak, jadi mereka menunjuk misalnya, Persib Putri untuk Jabar.” 

Pandemi COVID menjadi tantangan baru bagi perjalanan Timnas Perempuan karena seluruh ajang, termasuk liga dan Pertiwi Cup ditiadakan. Di sinilah pentingnya bank data yang sudah dikumpulkan.

“Pas COVID kan tidak bisa menggelar liga dan Pertiwi. TC saja dibubarkan. Di sinilah perlunya bank data. Mereka dikumpulkan dulu. Dari situ, diseleksi yang ada, yang masuk dalam bank data, apakah mereka masih layak untuk bermain atau tidak. Untuk awal Timnas, kami memanggil hampir 100 orang, tapi tentu harus beberapa tahap, terlebih pelatih yang sekarang baru.”

Ketua Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia, Papat Yunisal

Salah satu keistimewaan Rudy Eka Priyambada sebagai pelatih ada dalam perkara regulasi. Syarat yang harus dipenuhi pelatih Timnas Putri adalah memiliki lisensi kepelatihan AFC Pro dan harus merupakan Warga Negara Indonesia (WNI). Jadi, tidak ada peluang untuk pelatih asing.

Meski demikian, Coach Rudy tetap ditandemkan dengan pelatih yang memang sudah mengenal medan Timnas Perempuan, Yopie Riwoe. Keberadaan Coach Yopie sangat diperlukan untuk membantu Coach Rudy menentukan keputusan taktis terbaik, termasuk pemilihan pemain. Bagaimanapun prinsip bahwa tim ini bukan one man show harus diterapkan, termasuk di sektor kepelatihan. Karena aturan terkait lisensi itulah, pemilihan pelatih Timnas Putri kali ini dilakukan secara terbuka.

Yang menjadi elemen penting bagi keberhasilan Timnas Perempuan merengkuh tiket Piala Asia 2022 bukan hanya dari pemain dan tim kepelatihan, tetapi seluruh staf yang ikut ambil bagian. Dalam wawancaranya, Papat dan Coach Rudy menjelaskan bahwa analis, tim fisioterapi, ahli gizi, hingga kitman, semua berperan penting. Hasilnya, Timnas Perempuan tampil prima, fokus, dan maksimal.

“Kalau kalian menonton pertandingan lawan Singapura, mungkin bakal mengira, kok, mereka bermain membosankan, sih? Passing sana, passing sini. Umpan-umpan pendek terus. Namun, itu sebenarnya memang sesuai dengan keputusan taktik kami. Berhadapan dengan Singapura, cara terbaik bukan bermain direct, tetapi harus main sabar untuk membangun serangan. Dari situ, kami berhasil menemukan celah dan mencetak gol,” papar Coach Rudy.

Mari Bicara tentang Tantangan Sepak Bola Perempuan

Coach Rudy paham betul bahwa sepak bola perempuan bukan olahraga yang populer di Indonesia. Bahkan pemberitaan baru berdatangan ketika Timnas Perempuan berhasil mencatatkan sejarah dengan menggamit tiket Piala Asia. 

Namun, Coach Rudy tidak peduli-peduli amat. Baginya, bekerja dalam senyap justru memberikan keuntungan. Mengurangi tekanan adalah salah satunya. Dari sini, tim bisa berlatih dan bertanding dengan lebih fokus. “Biarkan saja. Kalau diam-diam terus juara atau tembus Piala Dunia 'kan jadi surprise yang menyenangkan, kan?”

Tantangan bagi sepak bola perempuan di Indonesia lebih dari sekadar masalah teknis dan popularitas. Bila ditelisik, ini juga menyangkut stigma yang berakar di dalam masyarakat. Stigma pertama bahwa sepak bola adalah olahraga laki-laki. Para perempuan yang berkecimpung dalam ranah sepak bola akan kehilangan keperempuanannya.

Ketika banyak pihak menuding media sosial sebagai salah satu musuh berbahaya bagi atlet sepak bola, Papat menganggap keberadaan media sosial sangat menguntungkan. Dengan penggunaan media sosial, keberadaan pemain Timnas Perempuan jauh lebih terlihat. Publik mulai peka bahwa Indonesia juga memiliki perempuan-perempuan hebat di lapangan hijau.

Penggunaan media sosial ini juga dianggap sebagai salah satu faktor penting yang mulai memudarkan stigma bahwa perempuan yang bersepak bola akan kehilangan keperempuanannya.

“Dulu tidak ada medsos, sekarang ada. Lewat medsos itu, orang-orang bisa melihat: Hei, kamu itu tetap bisa bersikap, bertingkah sebagai perempuan walau bermain sepak bola. Dulu persiapan ke latihan cuma seragam sama sepatu bola. Kalau sekarang, semua lengkap. Mulai dari sunblock, make up, hairspray, semua pemain pakai itu,"  papar Papat.

Ini bukan buat gaya-gayaan, bukan supaya pemain bisa dikenal dari penampilannya saja. Namun, itu semua bisa dipakai untuk membungkam segala macam stigma tadi. Perempuan tetap perempuan, apa pun keputusan yang diambilnya, termasuk keputusan untuk menjadi pemain sepak bola.

Beragamnya motivasi dinilai Papat sebagai hal yang membedakan sepak bola perempuan sekarang. Ingin merengkuh gelar juara, sudah pasti menjadi motivasi utama. Namun, sepak bola perempuan di era modern juga membuka banyak kesempatan bagi para atletnya untuk hidup lebih baik, salah satunya adalah dari faktor pendidikan. Kini ada sejumlah perguruan tinggi yang membuka pintunya bagi para pesepak bola perempuan. Karier sebagai pesepak bola terpenuhi, pendidikan mumpuni juga terpenuhi.

Stigma kedua yang dihadapi oleh pesepak bola perempuan adalah selesainya kehidupan setelah pensiun. Persoalan ini sebenarnya dapat dipecahkan dengan siasat yang benar untuk mengantisipasi masa pensiun. Karena itulah Papat dan Coach Rudy tidak menghalangi para pemain untuk aktif di media sosial selama itu tidak mengganggu performa mereka sebagai atlet.

“Saya tidak bisa dan tidak akan melarang para pemain untuk aktif menggunakan media sosial. Mereka juga bisa personal branding, bisa endorsement, itu semua rezeki mereka. Yang bisa saya lakukan adalah mengatur. Jangan sampai media sosial justru menjadi batu sandungan. Selama TC, misalnya, mereka hanya boleh posting pada akhir pekan,” jelas Coach Rudy.

Papat juga menegaskan pentingnya pendidikan bagi para pesepak bola perempuan. Jangan sampai hidup mereka jadi terlunta-lunta begitu karier sepak bola usai. Ia belajar dari pengalamannya dan pengalaman sejumlah rekannya. Tidak sedikit dari mereka yang kesulitan karena tidak memiliki bekal yang memadai untuk menghadapi masa pensiun.

Lagi pula, personal branding dan pendidikan bukan hanya bicara soal keuntungan finansial yang akan didapatkan, tetapi juga soal membangun legacy. Bagaimana mereka bisa mengambil spotlight, membuat orang-orang melihat dan mengingat karier emas mereka, serta memiliki keyakinan bahwa sepak bola bukan olahraga yang akan membuat masa depan mereka suram. Jika stigma kehidupan yang suram setelah pensiun dapat dipatahkan, bukan tidak mungkin sepak bola perempuan akan menjadi olahraga populer di Indonesia.

Tantangan lain yang mesti dihadapi sepak bola perempuan Indonesia adalah budaya. Sebagian daerah masih beranggapan bahwa berkarier, apalagi menjadi pesepak bola, bukan jalan yang bisa ditempuh oleh perempuan. Meski demikian, mustahil untuk menunggu seluruh masalah eksternal ini selesai. Yang harus dilakukan pertama kali adalah mengubah citra sepak bola perempuan secara keseluruhan.

Papat Yunisal dan Souraiya Farina Al-Haddar

"Sejak 2017, yang kami lakukan adalah mengubah image sepak bola perempuan. Bahwa sepak bola perempuan itu tidak terbelakang, tidak suram, tidak begitu-begitu saja, tetapi keren. Orang yang memilih karier di sepak bola perempuan bisa memiliki hidup yang keren. Mengubah image itu penting untuk mengubah sepak bola perempuan secara keseluruhan," jelas Head of International and Domestic Relation PSSI, Souraiya Farina Al-Haddar.

"Bukan cuma dari sisi eksternal, tetapi juga internal PSSI. Anggota PSSI, kan, banyak. Dari situ kami memastikan supaya mereka juga aware dengan sepak bola perempuan dan menjadikan sepak bola perempuan sebagai program yang diunggulkan."  

Yang dilakukan Jepang terhadap tenis bisa menjadi contoh mengapa popularitas sangat penting. Sejak 2012, Asosiasi Tenis Jepang (JTA) bekerja merombak ranah tenis. Salah satu programnya adalah mempromosikan tenis sebagai olahraga jangka panjang, olahraga kompetitif, dan olahraga yang menarik untuk ditonton.

Itu artinya, Jepang juga membentuk masyarakat yang suka bermain dan menonton tenis, selain mencetak para atlet dan mengejar gelar juara. Seiring dengan meningkatnya kegemaran akan tenis, fasilitas dan metode kepelatihan pun bertambah. 

Jika fasilitas dan metode kepelatihan sepak bola perempuan bertambah, pembinaan pun bisa berjalan dengan lebih baik. Pembinaan adalah faktor penting, bukan hanya agar sepak bola perempuan tidak mandek, tetapi juga agar pintu untuk berlaga di kompetisi internasional terbuka.

"Sepak bola perempuan berbeda dengan sepak bola laki-laki untuk regulasinya. Sepak bola laki-laki sistem kompetisinya sudah jalan, sedangkan perempuan belum sempurna. Jadi AFC akan menawarkan kalau ada kompetisi, siapa yang berminat, dia akan bermain. Tahun ini bikin project, namanya masih project, AFC Cup-nya perempuan," jelas Farina.

"Jadi klub-klub by invitation main di tingkat Asia-nya. Sayangnya karena tahun ini pandemi, klub Asia Tenggara belum bisa. Tahun berikutnya, kami berharap bisa mengajukan kepada AFC agar mengundang klub-klub kita bermain karena klub-klub sepak bola perempuan di Indonesia ini mulai bermunculan. Jadi kami berharap kita juga bisa bertanding di level Asia,"  lanjut Farina.

Faktor peringkat sebenarnya juga berpengaruh untuk memutuskan siapa yang akan diundang berlaga. Itu artinya, klub-klub di negara dengan peringkat tinggilah yang diprioritaskan. Untuk saat ini, Indonesia masih ada di peringkat 96 dan ada beberapa negara ASEAN yang peringkatnya di atas Indonesia. Namun, faktor kedua yang dipertimbangkan AFC adalah negara yang pembinaan sepak bola perempuannya aktif.

****

Segala tantangan tersebut membuktikan bahwa perempuan-perempuan di lapangan sepak bola Indonesia menapak jalan panjang. Mereka melangkah tanpa gembar-gembor nama besar dan elu-elu. Namun, terkadang perjalanan memang lebih baik dilakukan dalam sunyi. Hingga akhirnya yang lain terdiam, mendengar perempuan-perempuan ini berteriak lantang di atas puncak gunung prestasi.