Kaki Kijang Thierry Henry

Patung Thierry Henry di luar Emirates. Foto: Wikimedia Commons.

Saya memuji Thierry Henry karena kakinya dengan lincah berjingkrak-jingkrak seperti kijang di lapangan. Nyatanya, otaknya lebih lincah lagi.

Saya akan mengingat Thierry Henry sebagai orang yang menyebalkan.

Orang-orang boleh menyebut dia sebagai raja, legenda, atau sekadar pria yang luar biasa. Namun, buat saya dia adalah orang yang menyebalkan. Titik.

Henry, seperti teman-teman dalam sekelompoknya—para pemain Arsenal—, adalah rombongan yang sebaiknya dimaki saja. Saya mendukung Manchester United dan rasa-rasanya hidup bakal lebih mudah kalau tidak ada mereka.

Sepanjang ingatan saya, Henry adalah musuh yang memuakkan. Tiap kali bermain di Highbury yang luas lapangannya tak seberapa itu, ada perasaan bahwa dia akan menciptakan gol kapan pun dia memegang bola.

Karena lapangan yang luasnya tak seberapa itu, Henry dengan mudahnya melangkah beberapa jengkal, tahap demi tahap, sampai akhirnya sampai ke depan kotak penalti lawan. Selebihnya, saya memilih tutup mata saja.

Kaki-kaki Henry adalah kaki-kaki seekor kijang. Lurus, jenjang, dan liat bukan main. Ia berjingkrak-jingkrak dengan lincahnya seperti hendak menghindari laras panjang seorang pemburu.

Ia dan Patrick Vieira adalah bedebah. Mereka punya kaki yang sama liat dan lincahnya. Oleh karena itu, untuk menggaet kaki atau menjatuhkan mereka pun susahnya bukan main. Tidak heran Arsenal jadi musuh yang sengitnya minta ampun.

Namun, Henry memperlihatkan kepada saya bahwa sebaik-baiknya sebuah kebencian adalah sebaik-baiknya pujian. Ketika saya berharap ia tidak pernah bermain melawan United sesungguhnya saya sedang mengakui bahwa orang ini adalah bedebah yang mengagumkan.

***

Thierry Henry di Highbury. Foto: Twitter @Stuart_PhotoAFC.

Saya kemudian berusaha mengecek seberapa bagus catatan Henry ketika berhadapan dengan United. Hasilnya, memang tidak luar biasa, tetapi tidak jelek juga.

Dua puluh tiga pertandingan ia habiskan dalam berbagai ajang untuk membela Arsenal melawan United. Dari 23 pertandingan itu, enam kali ia menang, 8 kali bermain imbang, dan 9 kali kalah.

Catatan golnya dan assist-nya? Sembilan gol dan 3 assist. Delapan dari sembilan gol itu ia cetak pada ajang Premier League. Satu lainnya di Community Shield. Catatan ini membuat saya lega karena ingatan saya tidak sedang bermain-main atau menenung trik kepada saya. Dia memang bisa seberbahaya itu kalau menghadapi United.

Bahwa dia juga punya kaki-kaki lincah bak kijang yang memungkinkannya menggiring bola lalu menempatkan bola ke pojok gawang—yang biasanya sulit sekali dijangkau kiper lawan—itu juga bukan khayalan belaka. Henry memang pesulap. Bedanya, dia memainkan trik dengan kaki-kakinya.

Para pesulap biasanya mengandalkan kecepatan tangan untuk mengelabui penonton dan membuat triknya menjadi sempurna. Henry, sementara itu, tidak sekadar menggunakan kecepatan, tetapi juga ketepatan (timing).

Baginya, sekadar mengandalkan kaki dan insting untuk mengelabui lawan adalah sebuah kepandiran. Sepak bola, menurut Henry, juga harus dikalkulasikan.

Jika mantan rekan satu timnya di Arsenal, Dennis Bergkamp, berujar bahwa di belakang tiap operan ada sebuah pemikiran, Henry beranggapan bahwa sepak bola tidak ubahnya sebuah adegan: Satu dan yang lainnya saling berkaitan dan menciptakan reaksi berantai. Oleh karena itu, segala sesuatunya mesti dipikirkan masak-masak.

Orang-orang sering mengira bahwa Henry bangga akan kecepatan dan kepiawaiannya dalam menggiring bola. Namun, bukan itu yang menurutnya jadi kemampuan utama yang paling ia bangga-banggakan.

Untuk memahami soal kemampuan itu, kita perlu mengingat dulu bahwa ada empat orang yang membuat Henry bertekad menjadi pemain sepak bola sebaik-baiknya. Yang pertama adalah George Weah, yang kedua adalah Romario, yang ketiga adalah Marco van Basten, dan yang keempat adalah Ronaldo.

Weah, Romario, dan Ronaldo menginspirasi Henry karena alasan yang sama: Mereka bisa mengambil bola dari area mana pun di lapangan, menggiringnya, lalu mencetak gol.

Menurut Henry, ia terinspirasi untuk melakukan dribel menusuk dari sayap untuk kemudian mencetak gol dari Weah. Sementara dari Romario dan Ronaldo, ia belajar bagaimana seorang 'nomor 9' tidak mesti berdiam di dalam kotak penalti.

“Biasanya, orang-orang bilang kepada para ‘nomor 9’ untuk tidak bergerak jauh-jauh dari kotak penalti, jangan bergerak ke sayap, jangan turun ke lini kedua. Lalu, saya melihat George Weah. Saya juga melihat Ronaldo, dan sebelumnya saya lebih dulu melihat Romario. Mereka selalu bisa membawa bola sendiri dan mencetak gol sendiri,” kata Henry.

Namun, yang bikin pandangan Henry akan sepak bola menjadi sempurna adalah Van Basten.

Jika Weah, Romario, dan Ronaldo mempertontonkan kepada Henry muda bahwa teknik bisa membuatmu menaklukkan lapangan, Van Basten menunjukkan bagaimana pemahaman menyeluruh bisa membuatmu mengorkestrasi sebuah sequence di lapangan sesuai maumu.

Menurut Henry, ada satu adegan pada Piala Eropa 1992 yang membuatnya mengagumi Van Basten dan itu pun bukan karena si Angsa dari Utrecht itu mencetak gol. Yang Henry lihat adalah bagaimana Van Basten mengorkestrasi gol Bergkamp tanpa menyentuh bola sekalipun.

“Aron Winter mendapatkan bola di pinggir, dan Van Basten bergerak ke arah tiang dekat untuk menarik bek yang mengawalnya,” kata Henry. “Kalau ia tak melakukan gerakan itu, gol tidak akan terjadi.”

Lewat siaran ulang, Henry melihat sesuatu yang bisa saja terlewat kalau tidak diperhatikan dengan seksama. Tepat ketika bergerak ke tiang dekat sembari menarik bek yang mengawalnya, Van Basten menunjuk ke arah belakangnya.

Ketika menunjuk itu, Van Basten memaksudkan Winter untuk mengirim bola kepada Bergkamp yang bergerak di belakangnya. Ketika Bergkamp akhirnya mencetak gol, lampu bohlam di kepala Henry menyala.

Semenjak hari itu, ia memandang sepak bola dengan cara berbeda. Kaki-kaki kijangnya hanyalah alat, tetapi yang menggerakkannya adalah akal. Bagi Henry, mulai saat itu sepak bola adalah perkara ruang, waktu, dan pemikiran.

Semuanya menjadi paripurna manakala ia pindah ke Premier League untuk memperkuat Arsenal-nya Arsene Wenger, pria yang memberikannya debut di AS Monaco pada usia 17 tahun.

“Semuanya betul-betul mengubah saya ketika bermain di Premier League, baik secara profesional dan personal,” kata Henry. “Di sana, saya menjadi pria dewasa.”

Henry dan Wenger. Foto: Alan Walter.

***

Ada anggapan bahwa Henry adalah penyerang yang komplet. Ia tidak sekadar bisa mencetak gol, tetapi juga mengkreasikan peluang. Kalau kita sering melihat atribut seperti itu pada penyerang-penyerang modern yang kini banyak berkeliaran di lapangan, Henry boleh jadi adalah salah satu prototipe-nya.

Kemampuan Henry itu kabarnya membuat Ruud van Nistelrooy, salah satu pembunuh paling dingin yang pernah dimiliki United dan Premier League, minder. Van Nistelrooy adalah predator di kotak penalti, tetapi Henry adalah sosok yang lebih komplet.

Keputusan Premier League untuk memasukkan Henry sebagai salah satu dari dua inductee pertama dalam Premier League Hall of Fame rasa-rasanya, meskipun bisa diperdebatkan, bukan pilihan yang buruk juga.

Inductee lainnya adalah Alan Shearer, pencetak gol terbanyak dalam sejarah Premier League (260 gol). Keduanya adalah sosok yang bertolak belakang. Jika Henry adalah prototipe striker modern, Shearer adalah nomor sembilan klasik.

Pada masa jayanya Shearer acap mengandalkan fisik, kemauan kuat, tendangan bertenaga, penempatan posisi yang bagus untuk menyelesaikan umpan yang disodorkan padanya, dan kemampuan berduel di udara.

Satu hal yang membuat kiprah Shearer di Premier League layak mendapatkan pujian adalah panjangnya masa kariernya. Padahal, ia berulang kali babak belur dihajar cedera. Mengembalikan performa terbaik pasca-cedera bukanlah urusan gampang.

Pada akhirnya, baik Henry maupun Shearer berhasil. Mereka menjadi legenda dengan caranya masing-masing.