Kapten Davide

Foto: Instagram @davidecalabria2

Hal-hal yang membentuk Calabria menjadi Calabria yang sekarang juga berasal dari alasan yang membuat sepak bola jadi menakutkan: Cedera, kesalahan individu, bangku cadangan, rumor, dan ancaman terbuang dari tim.

Dia adalah kapten, Davide Calabria adalah kapten di kapal bernama AC Milan.

Kematian Abraham Lincoln menggerakkan tangan Walt Whitman untuk menulis sajak yang kelak dikenang sebagai karya terbesarnya. Hatinya tercabik-cabik karena Lincoln mati ditembak John Wilkes Booth pada 15 April 1865. Kesedihan yang teramat sangat melahirkan elegi berjudul 'O Captain! My Captain!'. 

Sajak itu ibarat Kitab Ratapan tempat ia menumpahkan segala kesedihannya. Namun, Whitman tak hanya meratap. Sajak itu juga menuturkan bahwa kematian sang kapten tak membuat perjuangan berhenti. Mereka yang bertarung malah merengkuh kemenangan. Dengan ikrar kemenangan itulah Whitman membuka eleginya.

Zaman yang bertumbuh tak membuat sajak itu mati dimakan usia. Berkat film 'Dead Poets Society', 'O Captain! My Captain!' kembali terdengar, bahkan dalam nuansa yang lebih pop. Fragmen yang menunjukkan Todd Anderson berdiri di atas meja sambil meneriakkan 'O Captain! My Captain!' menjadi ikonik. Fragmen itu adalah simbol perlawanan terhadap didikan kolot, watak bebal yang enggan menerima kemerdekaan dan pembaruan. 

Anderson berdiri ketika guru favorit mereka, John Keating, yang diperankan oleh mendiang Robin Williams, mengambil barang-barang pribadinya pada hari terakhirnya di sekolah elite, Welton Academy. Ia dipecat karena dianggap sebagai biang kerok segala kekacauan yang terjadi di sekolah itu.

Anderson tak berdiri sendirian, kawan-kawannya melakukan tindakan yang sama di hadapan guru pengganti dan Keating dalam adegan itu. Bagi Anderson dan kawan-kawannya, Keating adalah serupa Lincoln: Pahlawan. 

Ia membawa mereka pada kemerdekaan dari kekangan tak masuk akal, dari tuntutan yang membuat para murid tak boleh menentukan jalan hidupnya sendiri. Pendidikan dalam cerita tersebut digambarkan sebagai kungkungan. Ironis, karena seharusnya sekolah membuat siapa pun yang ada di dalamnya berani menatap dan merancang masa depannya sendiri.

***

Februari 2018, sekitar 153 tahun setelah Whitman melahirkan 'O Captain! My Captain!', Calabria mencetak gol perdananya sebagai pesepak bola profesional. Ia mengingat betul apa yang terjadi di Olimpico Roma saat itu. Dengan tendangan chip-nya, ia meruntuhkan pengalawan Alisson Becker di depan gawang. Dengan golnya di hadapan Francesco Totti yang menonton di tribune kehormatan, Calabria mengalahkan fantasi.

Calabria memulai sepak bolanya bersama tim lokal, Virtus Adrense. Calabria dua kali mengikuti uji coba untuk bermain bersama akademi Milan. Bakatnya terendus oleh Rossoneri dan ia tiba di sana saat berusia 10 tahun, pada 2006. 

Di dalam kepala anak muda yang menggilai sepak bola, lapangan adalah tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu. Di situlah ia akan mencapai puncak kesuksean. Kemenangan, gelar juara, dan kejayaan seolah-olah mengulurkan tangan, tanda bahwa mereka berjanji akan menjadi karib Calabria.

Sepak bola adalah alasan utama mengapa Tuhan melepaskan berkat dan pengurapan-Nya ke kedua kaki anak muda seperti Calabria. Persetan dengan gelar wonderkid yang mungkin tidak pernah melekat padanya. Yang terpenting bagi Calabria saat itu, Milan menawarkan tempat untuknya. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. Dilirik para pencari bakat sama dengan pengakuan bahwa ada yang spesial dalam dirinya dan Milan membutuhkan keistimewaan itu untuk tetap hidup di masa depan.


Sejak 2002 hingga 2009, sebagian besar anak bertumbuh dengan mengagumi AC Milan versi Carlo Ancelotti. Ini adalah era baru yang menandakan bahwa Milan bukan hanya tim yang mengagungkan cerita masa lampau, Grande Milan. Era tersebut dimulai ketika Silvio Berlusconi kembali mengucurkan dana segar demi merekrut Alessandro Nesta, Rui Costa, Filippo Inzaghi, serta yang membuat banyak Milanisti kegirangan, Clarence Seedorf dan Andrea Pirlo. Berlusconi menyempurnakan transformasi ini dengan mendatangkan Ancelotti untuk memimpin taktik Milan.

Keberhasilan Milan selama periode ini berasal dari kejelian Ancelotti untuk membangun timnya dengan memanfaatkan kualitas individu dan fleksibilitas para pemainnya. Kekalahan tragis di Istanbul pun tak mampu memadamkan Milan. Petir di siang bolong itu membuat Ancelotti mengubah Milan menjadi lebih konservatif dengan menambah gelandang bertahan, Massimo Ambrosini, bersama Gennaro Gattuso dan menempatkan Kaka lebih maju setelah Andriy Shevchenko pergi ke Chelsea pada musim panas 2006. 

Masing-masing satu gelar juara Serie A, Coppa Italia, Super Coppa Italiana, dan Piala Dunia Antarklub, serta dua trofi Liga Champions dan UEFA Super Cup adalah buah yang dipetik Milan bersama Ancelotti. Milan dengan supremasinya itulah yang dikagumi Calabria saat muda. Di klub dengan kekuatan demikianlah Calabria berharap bisa tumbuh menjadi pemain hebat.

Namun, Calabria tidak benar-benar menemukan Milan yang dikenalnya. Bergabung dengan tim senior pada 2015, Calabria menyaksikan Milan babak-belur. Tidak perlu jauh-jauh memikirkan Liga Champions karena untuk berlaga di Serie A saja Milan kepayahan. Pada musim perdana Calabria, Milan mengakhiri kompetisi di posisi tujuh.

Milan berubah menjadi tempat asing bagi Calabria. Bahkan pada 2017/18, Milan berpikir untuk mendatangkan Andrea Conti dari Atalanta. Tentu saja transfer pemain tidak pernah menjadi urusan Calabria dan seharusnya ia senang karena timnya mendatangkan pemain menjanjikan. 

Masalahnya, rencana transfer Conti diikuti dengan isu untuk 'menyingkirkan' Calabria. Konon, saat itu mereka membujuk Calabria supaya bersedia dipinjamkan ke tim yang peringkatnya rendah di Serie A. Iming-imingnya klasik, agar Calabria memiliki menit bermain yang lebih tinggi dan pengalaman yang lebih matang. Calabria menolak. Ia memilih untuk tinggal di Milan walau bangku cadangan menjadi hantu gentayangan yang mengusik hari-harinya.

Palu nasib menjatuhkan vonis berbeda bagi hidup Calabria. Conti justru dihantam cedera pada September 2017 dan bertambah parah pada Maret 2018 sehingga tidak mampu menyelesaikan musim 2017/18. Apa boleh buat, Milan tak punya pilihan. Calabria lantas ditugaskan menjadi fullback kanan demi mengisi kekosongan. Posisi itu tidak natural untuk Calabria karena awalnya ia diposisikan sebagai gelandang. Namun, Calabria pun tak punya pilihan yang lebih baik selain menyanggupi.

Calabria tidak lantas menggapai masa-masa keemasannya. Conti pulih dari cedera pada Desember 2018 dan itu berarti, bangku cadangan kembali menyeringai dengan wajah seramnya. Sudah begitu, penampilan Calabria acap mendapat kritik. Yang terutama adalah kemampuan ofensifnya. Sebagai fullback, Calabria bukannya malu atau takut untuk bergerak ke depan. Namun, begitu sampai di sepertiga akhir area serangan, pemosisian dan tembakannya kerap berbuah kesalahan. 

Pengalaman memang tak melulu bermurah hati, tetapi ia adalah guru yang baik. Sejak gol perdananya ke gawang Roma, performa Calabria mulai membaik. Bahkan dalam laga Liga Europa 2018 melawan Olympiakos, Calabria menjadi pemain vital dalam skema serangan dan pertahanan Milan.

Musim 2019/20 adalah turbulensi lain dalam perjalanan Calabria sebagai pesepak bola. Karena cedera yang cukup sering, beredar rumor bahwa Calabria akan dipinjamkan ke Cagliari. Maka ketika sepak bola terhenti akibat pandemi, Calabria berusaha untuk bangkit, melepaskan diri dari cengkeraman cedera dan menemukan permainan terbaiknya. Segala upaya Calabria terbayar. Di bawah asuhan Stefano Pioli setelah lockdown, Calabria tak hanya tampil menjanjikan, tetapi juga prima dan stabil.

Mengutip statistik FBref, Calabria turun arena 45 kali dalam kompetisi liga dan Eropa pada musim 2020/21 dan 2021/22. Dalam konteks yang sama, ia berkontribusi dalam 63 shot-creating actions, serta rerata 2,38 umpan progresif dan 7,74 pressure per 90 menit. 

Bicara soal pressure, Calabria menjadi yang terbaik di kompetisi liga 2020/21 di antara seluruh pemain Milan. Jumlah pressure-nya yang mencapai 523 memang kalah 12 poin dari Franck Kessie sebagai yang terbanyak. Namun, Calabria menjadi pemain dengan jumlah persentase pressure tersukses terbesar (33,1%, Kessie 31,4%). 

Dari situ dapat disimpulkan bahwa Calabria adalah pemain vital dalam sistem defensif sebuah tim. Selain bertahan, pressure seorang pemain penting untuk melancarkan serangan balik, terlebih Calabria juga cukup berani untuk masuk hingga ke area serangan timnya. Tidak heran jika pada musim tersebut Pioli juga berulang kali menugaskannya menjadi gelandang bertahan.

Sumber: Sofascore

Pada musim ini pun, Calabria menjadi pemain Milan ketiga yang paling sering menyentuh bola dengan total 429 sentuhan, hanya kalah dari Fikayo Tomori dan Sandro Tonali. Melihat heatmaps, ia juga tak melulu berkutat di area defensif atau pun lini tengah, tetapi juga sayap kanan penyerangan Milan. Ini menggambarkan keserbisaan dan kedisiplinannya. 

Keserbabisaan dan kedisiplinan jarang berkawan dekat karena ada banyak pemain yang serbabisa, tetapi kurang disiplin. Akan tetapi, Calabria adalah paradoks. Ia disiplin untuk memvariasikan gaya permainannya dari pertandingan ke pertandingan.

Melawan tim yang lebih tangguh, dia bertahan di setengah lapangannya sendiri dan menghadapi ancaman apa pun dengan keterampilan bertahannya yang solid. Melawan tim yang ketangguhannya lebih rendah, dia akan rajin berlari demi mengejar dan menciptakan ruang bagi para penggagas dan penyelesai akhir serangan. 

Bahkan Calabria juga beberapa kali menjadi muara bagi serangan Milan. Contoh teranyar adalah golnya ke gawang Bologna. Atas ketangguhan, kedisiplinan, dan kemampuannya, tak berlebihan jika ban kapten kedua melingkar di lengan Calabria.



Hal-hal yang membentuk Calabria menjadi Calabria yang sekarang adalah alasan yang membuat sepak bola jadi menakutkan. Cedera, kesalahan individu, bangku cadangan, rumor, ancaman terbuang dari tim adalah setumpuk masalah yang dihadapinya selama berseragam Milan. Alih-alih memandang masa suram sebagai jarak yang semakin dekat dengan ketidakberdayaan dan liang lahat, ia memilih untuk menyambutnya dengan terhormat: Turun ke arena, memainkan sepak bola terbaiknya di atas lapangan.

Calabria memang belum tiada, ia belum mengangkat kakinya dari Milan, tempat yang selalu ingin dijaganya baik-baik sejak 2006. Namun, melihat segala daya upaya dan kegigihannya untuk menyingkirkan cerita muram dari diri dan timnya, bukan tidak mungkin ketika saatnya tiba--ketika ia mesti meninggalkan Milan--kepergiannya akan menyisakan lubang yang sulit diisi. Lalu mereka yang mengenggankan kepergiannya akan berdiri seraya berteriak: "O Captain! My Captain!"