Karena Gerry Marsden, Liverpool Tidak Pernah Lagi Berjalan Sendirian

Foto: Rossi Finza Noor.

'You’ll Never Walk Alone' tidak lahir dalam sukacita. Ia adalah anak kandung penolakan yang menempuh perjalanan panjang untuk menemukan penerimaan.

Pada suatu waktu kita melawan Goliat, di waktu lain kita berjalan dalam kekelaman. Kita bertanya-tanya bersama siapa kita bertarung, kita menerka-nerka dengan siapa kita melangkah.

Hidup dan mati sama-sama menjauh. Dalam penghabisan yang tak selesai-selesai, maut mengejek dan menutup pintu. 

Bahkan dalam kematian pun kita tak punya tempat. Lalu kita berjalan dalam lembah yang penuh dengan entah: Entah sampai kapan, entah mau ke mana, entah untuk apa.

****

'You’ll Never Walk Alone' tidak lahir dalam sukacita. Ia adalah anak kandung penolakan yang menempuh perjalanan panjang untuk menemukan penerimaan.

Apa boleh buat, Budapest menyambut abad 20 sebagai tanah yang gembira. Di sana tidak ada duka, kemelaratan, apalagi pengasingan. Semuanya tertawa dan menyambut pagi seperti bocah lugu yang melompat-lompat menyerbu hadiah di kaki pohon Natal.

Pangkal 'You’ll Never Walk Alone' adalah hasrat seniman Hongaria, Ferenc Molnar. Dia yang bukan pesepak bola tak mengira drama gubahannya, 'Liliom', bakal berkelindan dengan Liverpool.

Potret Ferenc Molnar pada 1941, foto: Wikipedia

Yang Molnar tahu, orang-orang Budapest menolak 'Liliom' karena ceritanya dianggap tidak relevan dengan kehidupan mereka. 'Liliom' yang lahir pada 1909 berkisah tentang seorang kelas pekerja yang mencuri untuk menafkahi anak perempuannya. 

Mereka tidak bisa menerima bahwa ada dunia sesuram itu. Publik menolak, kritikus mengutuk. Molnar seperti kena tulah, ditikam dan diusir magalah[*].

Penolakan masif itu membuat orang-orang mengira Molnar sudah tamat. Namun, Molnar malah menjelajah Eropa demi mementaskan 'Liliom' di Wina, Warsawa, Praha, dan Berlin. 

Perjalanannya tak sia-sia. Orang-orang menerima 'Liliom' dan Molnar akhirnya percaya bahwa perantauan tak selalu jadi perkara buruk.

Untuk pertama kalinya pada 1939, 'Liliom' dipentaskan di London. Molnar sukses besar. Orang-orang London menyambut 'Liliom' sebagai kawan senasib yang memahami pekik dan carut-marut mereka di hadapan perang.

Berbarengan kesuksesan itu, baku-hantam di Perang Dunia mencelikkan mata orang-orang di Budapest. Mereka melihat sendiri bahwa ternyata dunia bisa sesuram kisah 'Liliom'. 

Begitu Perang Dunia II usai, Budapest ditinggalkan para seniman yang tadinya berbondong-bondong ke sana. Kini mereka--termasuk Molnar--menjadikan Amerika sebagai Kanaan baru.

Hari yang suram kembali melingkupi Molnar selama di New York. Selama 12 tahun tinggal di kamar 835 Hotel New York Plaza, Molnar menghabiskan hari-harinya sendirian dalam cengkeraman depresi karena mendengar kawan-kawannya dihabisi ambisi Nazi. 

Untuk bertahan hidup, Molnar menjual hak cipta karya-karyanya sehingga bisa diadaptasi dalam bahasa Inggris. 'Liliom' tidak luput. Duet seniman, Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein, ingin mementaskannya di Broadway. Dalam adaptasi musikalnya, 'Liliom' berubah nama menjadi 'Carousel'. 

Poster perdana drama musikal Carouse, foto: Wikipedia

Rodgers menciptakan musiknya, sedangkan Hammerstein menulis lirik yang akan digunakan untuk 'Carousel'. Di sana, 'You’ll Never Walk Alone' lahir.

Lagu itu dinyanyikan oleh Louise Bigelow, ketika ayahnya yang merupakan protagonis 'Carousel', Billy Bigelow, tewas dalam perampokan yang gagal. Gubahan ini muncul kembali di penutup cerita yang mempertontonkan fragmen Billy naik ke surga di hari wisuda Louise.

Kisah perdana 'Liliom' sebenarnya ditutup dengan adegan Billy yang masuk neraka setelah memukul Louise dan meninggalkannya dalam kesengsaraan. Rodgers dan Hammerstein tidak bisa menerima akhir demikian. 

Bagi mereka, penderitaan dan melankolia itu memang ada. Namun, saat manusia kelelahan melawan bencana, penyakit, dan perang, harapan datang sebagai utusan Tuhan yang menolong, menghibur, dan melerai. 

Pesan itu ingin disampaikan Rodgers dan Hammerstein dari panggung Broadway. Inilah alasan mereka memberikan epilog baru dan lagu 'You’ll Never Walk Alone' untuk 'Carousel'.

Drama yang pertama kali dipentaskan pada 19 April 1945 itu memeluk banyak orang yang kelelahan digempur perang. Untuk sejenak, ingatan akan kehilangan dan kepayahan dikubur. 

'You’ll Never Walk Alone' ternyata bisa menggerakkan banyak musisi Amerika. Mulai dari Elvis Presley, Johnny Cash, Frank Sinatra, Roy Hamilton, Doris Day, Andy Williams, hingga Judy Garland bergantian menyanyikan lagu itu. 

Sekali lagi Molnar melihat bahwa dalam waktu-waktu paling muram pun dia tidak pernah berjalan sendirian. 

****

Liverpool berkawan karib dengan musik sejak 1960-an. The Beatles menyemarakkan hari-hari orang di Merseyside, begitu pula dengan Cilla Black. Akan tetapi, bukan The Beatles atau Black yang memperkenalkan 'You’ll Never Walk Alone' kepada Liverpool. Adalah Gerry and The Pacemakers yang mengambil peran itu.

Gerry and The Pacemakers dibentuk pada 1959. Anggota awalnya adalah Gerry Marsden, Fred Marsden, Les Chadwick, dan Arthur McMahon. Pada 1961, McMahon digantikan oleh Les Maguire. Gerry yang pernah menonton Carousel versi televisi jatuh cinta pada 'You’ll Never Walk Alone'. Lantas lagu itu masuk dapur rekaman pada 1963.

'You’ll Never Walk Alone' lebih dari sekadar musik yang bertahan di puncak tangga lagu Inggris selama empat pekan. Ia bukan cuma tujuh baris lirik yang dinyanyikan ulang sekumpulan anak muda Merseyside yang tergila-gila pada musik.

Lagu itu adalah kawan ketika musim dingin panjang membuat Anfield ditutupi udara pekat dan kesunyian yang tak terbantahkan. Di waktu tak sedap itu, orang-orang Liverpool berjalan dengan bahu dibungkukkan, bersiap menerima kekalahan yang entah dari mana lagi.

***

Ketika Bill Shankly datang pertama kali ke Anfield pada Desember 1959, Liverpool enggan berjalan ke mana-mana. Direksi peduli setan dengan klub, para suporter pun hanya bersorak dalam irama formalitas saat mendukung tim berlaga di setiap pertandingan. Bagi mereka, tidak tersingkir dari Liga Inggris sudah lebih dari cukup.

Namun, Shankly adalah orang pertama yang mengobrak-abrik ruang direksi Liverpool yang penuh dengan orang yang puas untuk hidup biasa-biasa saja. Di tangan Shankly, Liverpool adalah Lazarus yang bangkit dari kematiannya. 

Shankly menggembleng seluruh orang di klub dengan ketegasan yang meletup-letup. Bahkan orang yang bertugas merawat rumput stadion pun tak luput dari tuntutan untuk selalu menjadi yang terbaik. Liverpool tak langsung menjadi juara. Shankly membutuhkan waktu sedikitnya lima tahun untuk membawa pulang medali juara ke Anfield.

Dalam kepemimpinan Shankly itulah orang-orang Merseyside mengenal Gerry and The Pacemakers. Konon, Gerry sengaja menyediakan waktu untuk menemui Shankly dan memberikan album perdana bandnya. Shankly menerima dengan semringah, lantas menancapkan telinganya lekat-lekat pada 'You’ll Never Walk Alone'.

Menjelang laga final Piala FA 1964/65, Shankly meminta Radio BBC yang mewawancarainya untuk memutar 'You’ll Never Walk Alone'. Duel puncak yang berlangsung pada 1 Mei 1965 itu mempertemukan Liverpool dengan Leeds United. 

Pada pertandingan itu pulalah untuk pertama kalinya suporter Liverpool menyanyikan 'You’ll Never Walk Alone' kepada para pemain. 

Imbang 1-1 pada menit ke-100, Ian St John mencetak gol penentu kemenangan The Reds pada menit 117. Sejak hari itu 'You’ll Never Walk Alone' menjadi kawan yang selalu ada bagi Liverpool.

Mendengar lagu itu di stadion serupa dengan menyaksikan pemain ke-12 pemanasan di pinggir lapangan. Nyanyian itu membuat para suporter tidak seperti orang-orang yang duduk dan berdiri di tribune penonton. Mereka ikut bertanding, menjadi senjata pemungkas yang membalikkan keadaan dan mengantar Liverpool pada kemenangan. 

Liverpool tidak merengkuh tiket final Liga Champions 2018/19 dalam kondisi baik-baik saja. Pasukan Juergen Klopp melangkah ke Anfield sambil memanggul kekalahan 0-3 dari Barcelona pada leg pertama. Itu belum ditambah dengan Roberto Firmino dan Mohamed Salah yang cedera sehingga tidak dapat tampil sejak awal laga. 

Kisah itu ditutup dengan kemenangan Liverpool. Salah yang berdiri mendukung kawan-kawannya dengan mengenakan kaus bertuliskan “Never Give Up” berlari ke tengah lapangan, merangkul siapa pun yang dilihatnya. 

Di hadapan para suporter dan Lioenel Messi yang tertunduk lesu di Anfield, Klopp dan pasukannya berdiri, saling memeluk pundak dan ikut larut dalam nyanyian sakral The Kop.


'You'll Never Walk Alone' serupa lagu penyembahan yang dinyanyikan terus-menerus saat Liverpool berlaga melawan AC Milan pada final Liga Champions 2004/05. Ia adalah baju zirah bagi para penggawa yang mati-matian menghindar dari kekalahan.

Tertinggal 0-3, keajaiban muncul begitu Steven Gerrard mencetak gol pada menit 54. Liverpool terpacu dan mencetak dua gol lagi yang membuat waktu normal berakhir imbang 3-3. 

Siapa pun bisa menjadi juara lewat adu penalti. Namun, mereka yang masuk ke pertempuran baru sebagai orang yang lolos dari kematian hampir selalu sanggup melakukan apa-apa yang tak terbayangkan.

Pada waktu-waktu paling genting, saat kemenangan dan kekalahan saling berpagut, 'You’ll Never Walk Alone' membidani kelahiran salah satu kisah paling ganjil di atas lapangan bola: Keajaiban Istanbul.


“Saat kau berjalan melalui badai, tegakkan kepalamu. Jangan takut akan gelap. Di akhir badai ada langit keemasan dan lagu yang indah.”

Lirik itu tidak hanya bicara tentang persoalan di atas lapangan. 'You’ll Never Walk Alone' bukan hanya bicara tentang komitmen para suporter untuk selalu menopang kaki para pemain Liverpool.

Hari buruk di Merseyside bukan hanya bicara tentang kekalahan dan kegagalan menimang gelar juara. Bahkan saat tragedi menghantam, saat Anfield berduka karena kehilangan 96 orang yang mereka cintai, 'You’ll Never Walk Alone' menjadi lagu pertama yang menancap dalam kepala mereka yang berkalang duka. 

Pun demikian saat Inggris digempur pandemi. Pada Maret 2020, Klopp menerima rekaman video yang menunjukkan sekelompok petugas kesehatan Inggris menyanyikan 'You’ll Never Walk Alone'. 

Hari buruk belum berlalu, badai enggan menunjukkan tanda-tanda mereda. Namun, setidaknya mereka tidak berjalan sendirian.

***

Pada 3 Januari 2021, Gerry Marsden meninggal dunia setelah bertarung melawan infeksi jantung. Gerry dan kawan-kawannya mungkin bukan raksasa di ranah musik di mana pun. Lagu-lagu mereka juga tak akan sanggup menyelesaikan masalah klub.

Namun, yang diperlukan orang-orang Liverpool bukan itu. Mereka membutuhkan kawan untuk bertarung bersama melawan Goliat dan teman yang tak lari saat kabar buruk datang merambat.

Gerry adalah orang pertama yang berkata kepada Liverpool bahwa mereka--dan kita--tidak pernah berjalan sendirian bahkan dalam badai yang paling biadab sekalipun.

===

[*] magalah, per definisi KBBI, adalah pengawal istana yang bersenjata tombak.