Karena Pochettino dan PSG Bisa Saling Melengkapi

Foto: Twitter @PSG_English.

Bersama Thomas Tuchel, PSG memang superior, tetapi bukannya tanpa kelemahan. Mauricio Pochettino lantas didatangkan untuk menyempurnakan Les Parisiens. Bisakah?

Paris Saint-Germain resmi memutus kontrak Thomas Tuchel pada akhir tahun 2020. Meski sukses membawa PSG ke final Liga Champions musim kemarin, tak mengherankan, sih, pelatih asal Jerman itu akhirnya didepak.

Musim ini, kalau mau jujur, bukanlah musim yang bergelimang kesenangan buat PSG. Mereka terseok-seok di pentas Ligue 1. Dalam 17 penampilan, Les Parisiens sudah kalah empat kali dan dua kali bermain imbang.

PSG kini berada di posisi ketiga klasemen dengan torehan 35 angka. Kylian Mbappe dan kolega terpaut satu angka dari Olympique Lyon dan Lille yang ada di posisi satu dan dua --keduanya mengoleksi poin yang sama, yakni 36.

PSG juga sempat terseok-seok di pentas Liga Champions. Bahkan, finalis musim lalu itu kalah dua kali dari tiga matchday awal. Untungnya, PSG bangkit dan mampu lolos ke babak 16 besar sebagai juara Grup H.

Selain faktor penampilan yang kurang menggigit musim ini, Tuchel dipecat karena konflik dengan manajemen. Menurut BILD, Tuchel diberhentikan karena bermasalah dengan Direktur Klub PSG, Leonardo Araujo. Kabarnya, Tuchel tidak mendapat kebebasan dalam melakukan transfer pemain.

Problem lainnya, Tuchel merasa tak mendapatkan apresiasi yang layak. Padahal, keberhasilan tampil di final Liga Champions terbilang layak untuk setidaknya mendapatkan tepuk tangan. Pasalnya, PSG sudah berulang kali mencoba menaklukkan Eropa dan baru pada era Tuchel-lah mereka nyaris berhasil melakukannya.

"Kami tinggal satu laga lagi untuk menjuarai Liga Champions. Namun, saya tidak pernah merasa kami mendapat apresiasi yang pantas kami dapatkan," ujar Tuchel seperti dilansir Sport1.

PSG tak lama-lama membiarkan kursi kepelatihannya kosong. Pada Sabtu (2/1/2021), PSG mengumumkan Mauricio Pochettino sebagai pelatih baru mereka. Pria asal Argentina itu dikontrak selama satu setengah musim dengan opsi tambahan satu musim.

Yang jadi pertanyaan, apa yang bisa Mauricio Pochettino berikan untuk PSG? Toh, gelar dalam karier kepelatihan saja ia belum punya. Kalau jadi runner up Liga Champions --prestasi terbaik dalam karier kepelatihan Pochettino-- Tuchel juga sudah berhasil melakukannya.


***

Karier kepelatihan Pochettino bermula saat ia berusia 36 tahun. Saat itu, Espanyol menjadi klub pertama yang ia besut.

Januari 2009, Espanyol sedang berada dalam kubangan masalah yang rumit. Penampilan medioker membuat tetangga Barcelona itu berkutat di zona degradasi.

Di tengah ancaman degradasi tersebut, manajemen mengambil keputusan berani. Mereka menunjuk Pochettino yang belum punya pengalaman banyak sebagai pelatih.

Beban ada di pundak Pochettino untuk menyelamatkan mantan timnya itu terdegradasi ke Segunda Division. Namun, pria asal Argentina tersebut bisa menanggungnya. Terbukti, ia sukses membawa Espanyol finis di posisi ke-10 pada musim 2008/09.

Salah satu aspek kesuksesan Pochettino adalah kepercayaannya kepada para pemain muda. Ia menganggap, para pemain muda itu energik dan segar, juga lebih mudah dibentuk ketimbang pemain yang memang sudah jadi. Semuanya lantas ia topang dengan kemampuannya untuk mengatur detail-detail terkecil dalam pertandingan. Semua ini kemudian menjadi ciri khas dari kepelatihan Pochettino saat itu.

Jangan lupakan juga bahwa Pochettino sempat membawa Espanyol mengalahkan Barcelona era Pep Guardiola di Camp Nou. Kemenangan atas Barca tersebut merupakan yang pertama buat Espanyol dalam 27 tahun.

Kegemaran Pochettino kepada pemain muda sudah mulai ia terapkan di PSG. Menurut laporan RMC, Pochettino sudah memanggil lima pemain muda untuk berlatih bersama tim senior PSG.

Kelima pemain tersebut adalah Edouard Michut, Kenny Nagera, Xavi Simons, El Chadaille Bitshiabu, dan Soumaula Coulibaly. Bukan tak mungkin salah satu dari kelima pemain itu akan mendapatkan kepercayaan Pochettino untuk bermain di tim utama.

Pemahaman akan detail dalam pertandingan dan kemampuan mengembangkan pemain muda itulah yang menjadi pembeda dari Tuchel dan Pochettino.

"Seperti yang Anda ketahui, klub ini selalu memiliki tempat khusus di hati saya. Saya memiliki kenangan indah, terutama tentang atmosfer di Parc des Princes. Hari ini saya kembali ke klub dengan banyak ambisi dan kerendahan hati, dan saya ingin bekerja dengan beberapa pemain paling berbakat di dunia," ucap Pochettino, tak lama setelah resmi menjabat, di situs resmi PSG.

***

Bersama Tuchel, PSG merupakan klub yang superior. Dalam dua setengah musim, Tuchel bisa memberikan dua gelar Ligue 1 untuk PSG dan membawa mereka menjadi runner-up Liga Champions. Namun, PSG masih memiliki banyak celah. Salah satunya adalah variasi serangan.

PSG era Tuchel sangat terlihat sekali mengandalkan skill individu untuk membuat peluang. Wajar, lini depan mereka memang punya nama-nama besar seperti Neymar, Kylian Mbappe, dan Angel Di Maria. Kemampuan ketiganya untuk melewati lawan dan membuat gol tidak perlu diragukan lagi.

Namun, ketika pemain lawan berhasil meminimalisir pergerakan mereka, PSG menjadi buntu. Final Liga Champions melawan Bayern Muenchen menjadi contohnya. Saat itu, PSG kesulitan membongkar tembok pertahanan Bayern. Sialnya, Tuchel seakan tak punya amunisi cadangan untuk bisa memenangi pertandingan itu.

Di era Tuchel, PSG juga tak punya sosok yang bisa menjadi pengatur serangan. Les Parisiens terbiasa menggunakan sisi tepi untuk membongkar pertahanan lawan.

Dengan pola 4-2-3-1 yang biasa Pochettino mainkan, situasi ini bisa berubah. Pochettino gemar memainkan pemain bertipe playmaker untuk bisa menjadi pengatur serangan-serangan timnya.

Menurut RMC, Pochettino sudah mulai menularkan cara bermainnya dalam sesi latihan PSG. Pochettino juga mencoba Marco Verratti bermain di posisi nomor 10 dalam pola 4-2-3-1.

Selain itu, Pochettino juga dikabarkan mengincar Christian Eriksen untuk menyempurnakan strateginya. Gelandang asal Denmark itu tersia-siakan di Inter karena (ternyata) gaya mainnya tak sesuai dengan skema yang diinginkan Antonio Conte dan La Beneamata. Kebetulan juga, Eriksen adalah playmaker andalan Pochettino saat menangani Tottenham Hotspur.

Keberadaan seorang playmaker bisa membuat serangan-serangan PSG lebih bervariasi. Apalagi, kalau PSG memiliki playmaker yang cakap dalam melepaskan through-pass (umpan terobosan). Mengingat, pemain-pemain depan mereka punya kecepatan dan penempatan posisi yang oke, umpan terobosan bisa menjadi salah satu opsi untuk membongkar pertahanan dari tengah.

***

Sepanjang kariernya sebagai pelatih, Pochettino belum pernah satu kali pun menjuarai liga atau memenangi sebuah turnamen. Mengingat dominasi PSG di Liga Prancis dan turnamen domestik, Pochettino semestinya mendapatkan jalan yang relatif mudah --meski bukannya tanpa halangan sama sekali.

Namun, ujian sesungguhnya adalah bagaimana memuaskan hasrat para bos PSG untuk menundukkan Eropa. Pochettino memang pernah menjajal final Liga Champions, tetapi ia pun bernasib sama seperti PSG-nya Tuchel: Takluk.

Jika sukses, bolehlah kita sebut bahwa Pochettino dan PSG memang saling melengkapi.