Karut-marut Prancis

Foto: Euro2020.

Dari luar, Prancis memang terlihat berkilau. Namun, kalau mau ditelaah lebih dalam, kondisi mereka sungguh karut-marut. Itulah kenapa Kylian Mbappe cs. tak bisa menjadi yang terbaik di Piala Eropa 2020.

Brian Phillips, dalam tulisannya di The Ringer, menyebut bahwa menonton Prancis seperti melihat cahaya yang berhasil meloloskan diri dari lubang hitam.

Anda akan melihat Prancis terperangkap di lini pertahanan mereka sendiri, dikerubungi lawan, dan dalam sekejap mereka bisa membuat bola berada di kaki Kylian Mbappe untuk melancarkan serangan balik. Kilat. Itu kuncinya.

Dalam dua turnamen besar terakhir, sih, pendekatan itu moncer. Bagaimana tidak, di Piala Eropa 2016 mereka bisa mencapai final dan pada Piala Dunia 2018 Les Bleus keluar jadi juara. Namun, pendekatan ini tak tak punya akhir manis di Piala Eropa 2020.

Awalnya, saat menghadapi Jerman, semua berjalan mulus sekali buat Prancis. Mereka cuma memiliki penguasaan bola sebesar 38% sepanjang pertandingan dan berhasil menang 1-0. Peluang-peluang yang dihasilkan juga berasal dari serangan balik. Tipikal Prancis sekali.

Namun, pertandingan-pertandingan berikutnya tak pernah sama lagi. Prancis tak bisa jadi tim yang lebih inferior dalam penguasaan bola dan mereka tak pernah menang lagi. Itulah yang jadi masalah. Itu juga yang jadi alasan mengapa langkah mereka cuma mentok sampai babak 16 besar saja.

Deschamps Tak Punya Plan B

Prancis, di bawah arahan Didier Deschamps, adalah tim yang punya serangan balik cepat. Mereka bukan tim yang suka mendominasi permainan dengan angka penguasaan bola tinggi. Itulah mengapa di Piala Eropa 2020 ini, Prancis hanya jadi tim dengan rerata penguasaan bola tertinggi kedelapan dengan angka 52,3% per gim.

Itu juga yang jadi alasan kenapa Prancis tak masuk lima besar tim dengan sentuhan terbanyak di sepertiga akhir area lawan. Prancis tak perlu banyak umpan, tak perlu banyak sentuhan. Tak menguasai bola lama-lama juga tidak apa-apa. Pokoknya, ide utama Prancis adalah bermain pragmatis dan menghukum lawan via serangan balik kilat.

Ketika diberi penguasaan bola, Prancis tak pernah punya plan yang jelas dalam menyerang. Deschamps terlihat seperti menyerahkan semuanya pada para pemain. Oke, pemain-pemain Prancis memang brilian secara individu, tapi ketika individu buntu, tak ada lagi yang menyelamatkan.

Pada babak tambahan vs Swiss di 16 besar lalu jadi buktinya. Ketika Karim Benzema sudah ditarik keluar dan Kylian Mbappe, Antoine Griezmann, serta Paul Pogba mulai buntu, Prancis tak mampu berbuat banyak. 30 menit tak ada gol yang diciptakan dan akhirnya mereka kalah via babak adu penalti.

Statistik shot-creation actions (aksi ofensif yang menghasilkan tembakan) juga menunjukkan bahwa Prancis banyak menghasilkan tembakan dari aksi dribel para pemainnya. Tercatat ada tujuh dribel sukses yang akhirnya menghasilkan sebuah tembakan. Catatan itu, di Piala Eropa 2020 sejauh ini, adalah yang paling banyak ketiga.

Prancis di turnamen ini juga cuma bisa melepaskan 44 kunci, jumlah yang lebih sedikit ketimbang tim seperti Swiss atau Denmark. Buruknya lagi, dari 44 umpan kunci itu, hanya dua yang akhirnya menghasilkan assist. Jumlah assist Prancis adalah salah satu yang paling buruk di turnamen.

Prancis tak bisa seperti Italia, Spanyol, atau bahkan Denmark yang mampu menciptakan banyak peluang via rangkaian umpan-umpan pendek yang terstruktur. Padahal, secara skuad, Prancis tak kalah mentereng. Untuk soal ini, kita bisa menyalahkan Deschamps.

Pilihan Pemain Buruk

Ketika seluruh peserta Piala Eropa 2020 mengumumkan skuad finalnya, banyak pandit yang yakin bahwa Prancis adalah tim dengan skuad yang paling bagus dan lengkap. Sang Juara Dunia punya pemain-pemain kelas satu yang berpengalaman dan sudah diakui kapabilitasnya. Mental pun sudah teruji.

Ini kemudian diperkuat dengan pemanggilan Benzema, striker terbaik yang mereka miliki. Ditambah lagi, pemain pelapisnya pun tak jelak. Rasanya, skuad Prancis lengkap dan karena itu mereka jadi favorit juara. Namun, untuk apa punya banyak pemain bagus kalau Anda tak punya pelatih yang bisa memaksimalkannya? Nah, inilah yang dialami Prancis.

Deschamps mungkin sudah punya susunan 11 pemain terbaiknya. Susunan itu ia turunkan di laga vs Jerman. Namun, ketika masalah datang, seperti cederanya Lucas Hernandez, pelatih berusia 52 tahun itu kebingungan. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa pelapis Hernandez, Lucas Digne, cedera juga.

Deschamps makin kebingungan dan kebingungan itu mengantarkan keputusan buruk. Ia menggunakan pola tiga bek di laga 16 besar vs Swiss. Well, sebelum membahas buruknya pola itu, kita mesti tahu bahwa Deschamps masih punya opsi di posisi full-back kiri dalam diri Leo Dubois.

Anda mungkin tahunya pemain Lyon itu berposisi di kanan, tapi ia juga pernah (dalam kuantitas lumayan) main di sisi kiri. Lagi pula banyak tim di Piala Eropa 2020 yang menggunakan pemain berkaki terkuat kanan untuk mengisi pos full-back kiri. Dan itu tak buruk. Deschamps juga bisa mencobanya.

Pada akhirnya Deschamps memilih menggunakan pola tiga bek dan menggunakan Adrien Rabiot sebagai wing-back kiri. Di pos bek tengah, untuk menemani Raphael Varane dan Presnel Kimpembe, Deschamps menunjuk Clement Lenglet. Apakah Anda menemukan kejanggalan di sini? Jika iya, kita sama.

Pertama, alih-alih menugaskan Rabiot di posisi yang bukan posisi naturalnya, ia bisa menggunakan Thomas Lemar atau Moussa Sissoko. Yang kedua, alih-alih memilih Lenglet yang musim kemarin menunjukkan kepayahan bersama Barcelona, ia bisa memasang Jules Kounde atau Kurt Zouma. Kenapa? Karena keduanya punya kecepatan dan itu bisa membuat Varane bermain di tengah.

Pilihan tak diambil dan dengan pilihannya sendiri, Deschamps melihat bagaimana anak asuhnya kesulitan mengalirkan bola ketika lini tengah mendapatkan pressing dari para pemain Swiss. Pada akhirnya ia kembali membuat Prancis bermain dengan shape empat bek saat build-up dan kemudian, saat babak kedua tiba, ia menarik keluar Lenglet.

Strategi yang ia pilih di awal mubazir. Pemilihan pemain tak berguna. Pergantian-pergantian yang ia lakukan di babak kedua (juga di babak kedua laga-laga sebelumnya) tak ada yang berimpak banyak buat tim. Prancis tetap buntu dan akhirnya di situ-situ saja.

Kondisi Tim Chaos

Tak ada yang lebih menyebalkan dari mengurusi banyak megabintang dalam satu tim yang sama. Manajemen Timnas Inggris di era-era lalu pasti paham soal ini, bagaimana mereka melihat banyak friksi dan mendengar banyak protes dari para pemain ketika turnamen besar tiba.

Manajemen Timnas Prancis pun begitu. Punya banyak megabintang, itu berarti banyak protes yang akan didapatkan. Itu artinya juga akan banyak friksi yang muncul. Belum lagi tekanan dari keluarga pemain. Ditambah sorotan yang amat besar dari para media. Lengkap penderitaan.

Pertama, soal protes. Seperti yang diungkapkan The Athletic, para pemain Prancis melayangkan protes terkait hotel tempat mereka menginap saat menjalani dua laga fase grup melawan Hongaria dan Portugal. Dua laga itu dimainkan di Budapest dan Prancis menginap di Hotel Marriot yang letaknya di tengah kota.

Di hotel yang kamar termurahnya memiliki harga 3 juta rupiah itu, para pemain Prancis tak kerasan. Mereka merasa fasilitas kurang mewah, lokasinya terlalu berada di pusat kota, dan jendela di kamar tak bisa dibuka dengan lebar. Selain itu, di hotel mereka tak punya banyak kesempatan untuk berkumpul bersama.

Awalnya manajemen akan memindahkan tim ke sebuah komplek hotel mewah di kawasan Galdony, 80 kilometer ke arah selatan Budapest. Namun, tak jadi. Pemain pun berang dan dikabarkan L'Equipe, Pogba sampai berbicara langsung kepada Deschamps agar mencari akomodasi lain. Keinginan itu tak terwujud sampai mereka pindah ke Bukares, tempat berlangsungnya babak 16 besar.

Soal friksi antarpemain, kita tahu bagaimana sebelum turnamen dimulai muncul pertengkaran antara Mbappe dan Giroud. Kendati sudah dibantah dan Mbappe mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan, banyak yang meyakini bahwa situasi masih memanas hingga turnamen berlangsung.

Belum lagi antara Benzema dan Giroud. Komentar Benzema soal Formula 1 dan go-kart membuat hubungan keduanya tak pada titik baik-baik saja. Dan seperti yang diungkapkan salah satu sumber The Athletic, salah satu konsekuensi dari pemanggilan Benzema kembali adalah kurang harmonisnya ruang ganti. Terutama antara pemain Real Madrid itu dan Giroud.

Untuk soal tekanan keluarga, mungkin yang biasanya bikin masalah buat tim di sebuah turnamen besar adalah pasangan para pemain. Namun, di Prancis, situasinya berbeda. Sumber masalah datang dari orang tua para pemain, khususnya ibu Rabiot, Veronique.

Ia jadi sosok yang luar biasa cerewet. Veronique gemar berkomentar pedas dan memberikan kritik buat Deschamps dan tim. Dan ini pada akhirnya membuat ia ribut dengan keluarga pemain lain. Seperti, misalnya, apa yang terjadi pada saat Prancis kalah dari Swiss.

Veronique pertama mengkritik Pogba. Di tribune stadion, ia bilang bahwa Pogba adalah biang keladi dari gol ketiga Swiss yang hadir di pengujung babak kedua. Gol itu, kebetulan, memang tercipta setelah Pogba kehilangan bola. Lantas kritikan Veronique pun membuatnya ribut dengan keluarga dan para teman Pogba yang juga hadir di pertandingan.

Kedua, Veronique terang-terangan berkata bahwa Mbappe arogan dan terlalu banyak dilindungi media. Masalahnya, perkataan itu ia sampaikan langsung di depan muka ayah Mbappe. Jadilah juga muncul friksi di antara kedua belah pihak.

Friksi antarkeluarga pemain ini pada akhirnya juga berimbas kepada kondisi tim. Apalagi situasi ini bukan sekali dua kali terjadi. Ditambah lagi, keluarga pemain juga mudah menyampaikan komentar atau ketidaksukaannya kepada media. Jadilah tekanan kepada tim dan para pemain makin bertambah.

***

Dari luar, Prancis memang terlihat berkilau. Mereka kelihatan punya segalanya untuk bisa jadi kampiun Piala Eropa 2020. Itulah mengapa mereka ada di daftar teratas jika kita berbicara prediksi dan peluang juara.

Namun, jika mau ditelaah lebih dalam (terutama setelah melihat penampilan mereka di turnamen), Prancis justru terlihat karut-marut. Strategi tak variatif, pelatih tak bisa memaksimalkan pemain dengan baik, dan kacaunya kondisi non-teknis.

Itu membuat Prancis tak berhasil jadi yang terbaik dan membayar ekspektasi orang-orang.