Kebebasan untuk Granit Xhaka

Foto: Instagram @granitxhaka.

Bersama Mikel Arteta, Granit Xhaka mengaku lebih banyak mendapatkan kebebasan. Dengan begitu, perlahan-lahan permainannya pun membaik.

Arsenal pernah menghadapi berbagai laga krusial. Kendati tak semuanya mereka menangi, semestinya mereka paham bagaimana cara menghadapinya. Tak terkecuali dengan laga melawan Brighton and Hove Albion pada pekan ke-37 Premier League 2018/19.

Mau tak mau, The Gunners harus memenangi laga tersebut untuk mengamankan tiket menuju Liga Champions. Langkah pasukan Unai Emery itu rasanya tak akan sulit. Apalagi, Arsenal sudah unggul ketika laga berlangsung sembilan menit via penalti Pierre-Emerick Aubameyang.

Asa yang tinggi itu seketika memudar saat babak kedua berjalan 15 menit. Dengan cepat, Solly March menggiring bola di sisi kanan pertahanan Arsenal. March bukannya tidak mendapatkan perlawanan, ada Granit Xhaka yang berusaha mengejar pemain Inggris kelahiran Eastbourne tersebut.

Usaha Xhaka sesungguhnya terbilang berani. Namun, kadang kala ada batas tipis antara keberanian dan kebodohan.

Yang jadi masalah pada kejadian itu, Xhaka sudah salah langkah. Maka, untuk betul-betul menghentikan situasi berbahaya tersebut, Xhaka memilih untuk menarik badan March yang sudah berada di kotak penalti.

Anthony Taylor selaku pengadil tak ragu menunjuk titik putih. Glen Murray lantas maju menjadi algojo dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Skor berubah menjadi 1-1 dan bertahan sampai laga rampung.

Arsenal harus mengubur mimpi untuk main di Liga Champions. Sudah dua musim beruntun ‘Meriam London’ tak merasakan tampil di kompetisi tertinggi antarklub Eropa tersebut.

Xhaka menjadi biang keladi. Pasalnya, tak ada urgensi dari perbuatan Xhaka tersebut, toh masih ada bek-bek Arsenal yang siap menghalau pergerakan March.

***

Arsenal membuka musim 2019/20 dengan beberapa keputusan yang mengejutkan. Dari sisi transfer, mereka mendaratkan David Luiz, William Saliba, Kieran Tierney, dan Nicolas Pepe.

Arsenal juga menunjuk kapten baru setelah Laurent Koscielny menerima pinangan Bordeaux. Usai berkonsultasi dengan para pemain, Emery menunjuk Xhaka menjadi kapten tim. Bagi Emery, Xhaka adalah pemain dewasa dan punya pengalaman yang bisa ditularkan kepada rekan-rekannya di atas lapangan.

"Saya sudah bicara dengannya, dan kami memang ingin mengubah persepsi orang tentang dirinya. Saya percaya padanya karena ia adalah pemain yang baik dan profesional. Ia juga adalah pria yang luar biasa," ucap Emery kala itu.

Keputusan Emery keliru. Tren Arsenal yang jelek ditambah stigma negatif fans kepada Xhaka justru membuat penunjukan Xhaka sebagai kapten tim lebih layak untuk menjadi bahan lelucon ketimbang mendapatkan aplaus.

Puncaknya Xhaka berulah pada pertandingan melawan Crystal Palace, 27 Oktober 2019. Pada menit ke-61, Emery menarik keluar Xhaka dan menggantinya dengan Bukayo Saka. Suporter Arsenal yang hadir di Emirates Stadium langsung bersorak sorai gembira melihat papan pergantian pemain.

Xhaka tak terima dengan perlakuan suporter-suporter Arsenal. Pemain asal Swiss itu kesal dan melempar ban kaptennya ke lapangan. Bukannya berlari, Xhaka malah berjalan pelan menuju pinggir lapangan. Padahal, Arsenal tengah memburu gol pada laga tersebut.

Tingkah itu membuat para pendukung Arsenal mencemoohnya. Xhaka membalas dengan makin bertingkah. Sambil mengumpat, ia menaruh tangannya di samping kuping. Xhaka seakan menantang suporter Arsenal yang melontarkan kebencian kepadanya.

Gelandang bernomor punggung 34 itu membuka jersinya dan melenggang menuju ke ruang ganti. Xhaka memilih untuk tidak duduk di bench pada sisa waktu pertandingan.

Akibat ulah itu Xhaka tak masuk skuad pada tiga laga setelahnya. Bukan cuma itu, ban kapten Arsenal juga berpindah dari Xhaka ke Aubameyang.

Xhaka juga acap kali diisukan hengkang. Hertha Berlin dan duo Milan (Inter dan AC Milan) dikabarkan menjadi tim yang paling menginginkan jasa eks gelandang Borussia Moenchengladbach itu. Namun, transfer tak kunjung terlaksana. Sampai sekarang, Xhaka masih menjadi milik Arsenal.

***

Dua fragmen tersebut—tarikan terhadap March dan pertikaian terang-terangan dengan pendukung Arsenal—seolah-olah menjadi titik nadir untuk Xhaka. Tidak ada jalan kembali, tidak ada penebusan.

Pokoknya, Xhaka sudah terlihat seperti pesakitan saja. Saban kali Arsenal bertanding dan dia tampil buruk, sudah tentu linimasa media sosial penuh dengan cacian kepadanya.

Padahal, ini adalah pemain yang katanya merupakan pemain terbaik Swiss—bahkan Xherdan Shaqiri pun tak bisa menyamainya. Penunjukan Xhaka sebagai kapten Arsenal juga menjadi bak testimoni akan kemampuannya; ia memang tidak sekadar punya teknik, tetapi juga bakat kepemimpinan.

Salah satu anekdot paling terkenal dari Xhaka adalah bagaimana orang tuanya lebih memercayai dirinya ketimbang sang kakak, Taulant, untuk memegang kunci rumah. Xhaka dianggap lebih bertanggung jawab dan lebih dewasa ketimbang Taulant.

Namun, kalau yang dianggap sudah dewasa seperti Xhaka saja bisa bertindak bodoh dengan berseteru dengan suporter, kami merasa bahwa ini adalah preseden buruk untuk tingkat kedewasaan Taulant.

Tentu saja, tiap kali manusia bertindak ceroboh ataupun bodoh, uluran untuk menebus diri datang. Selalu ada maaf bagi manusia yang mau mengubah nasibnya. Buat Xhaka, jalan menuju penebusan itu adalah Mikel Arteta.

Ketika para pendukung masih meragukannya, tidak dengan Arteta. Malah, pelatih asal Spanyol itu seperti tidak kehabisan kepercayaan kepada Xhaka. Bahkan, ketika Arsenal terpuruk sekalipun, Arteta masih mau memalingkan muka ke arah Xhaka.

Kepercayaan itu Xhaka bayar lunas. Ketika Arsenal menundukkan Chelsea 3-1 pada musim 2020/21, Xhaka mencetak satu gol lewat sebuah sepakan bebas. Ia ikut berperan memutus tren buruk Arsenal yang urung menang dalam tujuh laga beruntun di Premier League.

Setelahnya, nama Xhaka selalu ada dalam starting line-up Arsenal. Bahkan, saat Arteta melakukan rotasi besar-besaran pada laga melawan Leicester City, Xhaka menjadi nama yang tetap dimainkan bersama David Luiz, Bernd Leno, dan Kieran Tierney.

"Kami sangat senang, dia sudah kembali menemukan performa terbaiknya," ucap Arteta.

***

Sepeninggal Patrick Vieira dan Gilberto Silva, Arsenal tak lagi memiliki gelandang yang terkenal tangguh dan galak. Xhaka, sesungguhnya, memiliki dua hal tersebut. Maka, dengan atribut tersebut, dia semestinya menjadi tulang punggung yang kokoh untuk Arsenal.

Satu lagi kelebihan yang dimiliki Xhaka adalah akurasi operannya yang mumpuni. Akurasi passing Xhaka mencapai 89 persen di pentas Premier League 2020/21. Catatan itu lebih baik dari pemain-pemain yang beroperasi sebagai gelandang tengah lainnya seperti Joao Moutinho (Wolves), Pierre-Emile Hojbjerg (Tottenham Hotspur), dan Jordan Henderson (Liverpool).

Sudahlah relatif akurat ketika memberikan operan, dia juga terbilang jago melepas umpan-umpan panjang. Pada Premier League 2020/21, Xhaka sudah melepaskan 122 long pass dengan akurasi mencapai 70 persen.

Di bawah arahan Arteta, Xhaka memang menjadi sosok sentral lini tengah The Gunners. Ia menjadi pemain yang mengatur arah serangan Arsenal. Lewat kemampuan melepas operan akurat, hal tersebut bisa ia lakukan dengan sangat baik.

Xhaka menjadi penghubung lini belakang dan depan Arsenal. Biasanya, dia menerima bola dari bek atau kiper lalu mulai mendistribusikannya ke lini depan. Tak heran catatan forward passing (operan yang mengarah ke depan) Xhaka mencapai 408.

Perkara kepiawaian melepaskan operan akurat inilah yang membuat Francis Cagigao tertarik padanya. Cagigao bukan orang sembarangan. Ia pernah bekerja selama 24 tahun untuk Arsenal sebagai scout. Dialah yang merekomendasikan Xhaka kepada manajemen.

Kepada The Athletic, satu atribut tambahan yang membuat Cagigao berani merekomendasikan Xhaka adalah kengototannya untuk selalu ingin menguasai bola. Untuk itu, Cagigao menyebut bahwa Xhaka memiliki keberanian.

Sebagai pemain yang ngotot, Xhaka senang jika mendapatkan kebebasan bermain. Hal inilah yang ia dapatkan ketika bermain di bawah arahan Arteta.

Menurut pengakuan si pemain sendiri kepada Art de Roche di The Athletic, role-nya dalam bermain lebih terdefinisikan pada era kepelatihan Arteta. “Inilah yang saya suka. Saya tidak suka bermain dengan punggung saya menghadap area lawan. Saya lebih suka menyaksikan bagaimana pertandingan berjalan di hadapan saya,” kata Xhaka.

Kebebasan itu, menurut Xhaka, ia dapatkan karena Arteta mengubah posisinya menjadi lebih dalam. Dengan begitu, Xhaka mengaku lebih leluasa untuk membaca permainan.

Sebagai penghubung antara lini belakang dan depan, posisi tersebut juga lebih memudahkannya menjalankan tugas. Efeknya pun tidak hanya terlihat dari banyak umpan panjang yang ia lepaskan, tetapi juga dari aksi defensifnya.

Pemain berusia 28 tahun itu membuat rata-rata 1,5 tekel per laganya. Catatan itu menaruh Xhaka pada posisi kedua di skuad Arsenal setelah Thomas Partey.

Pertandingan melawan Leicester pada pekan ke-26 Premier League, menjadi bukti bahwa Xhaka juga piawai melakukan aksi defensif. Ia melakukan tiga tekel dan dua kali intersep. Penggawa bernomor punggung 34 itu juga paling banyak mencatatkan ball recoveries dengan jumlah enam.

Saking sibuknya, Xhaka menjadi pemain yang paling banyak melakukan sentuhan terhadap bola (85 kali). Melihat ini semua, makin krusial saja perannya untuk Arsenal.

Tentu saja, sederet catatan positif tersebut tak serta-merta membuat kritik terhadapnya berkurang. Namun, selayaknya nasib, cuma Xhaka sendiri yang bisa mengubah sorotan negatif terhadapnya menjadi sanjungan. Caranya? Ya, dengan terus tampil apik secara konsisten.