Keberanian Emma Hayes, Keberanian Chelsea Women

Foto: Instagram @chelseafcw.

Sistem yang begitu cair dan luwes yang mengganjar Chelsea dengan kemenangan 3-0 atas Arsenal pada leg kedua final Piala FA itu menggambarkan watak Hayes yang berani sebagai pelatih.

Cerita tentang ibu akan selalu ada dalam sepak bola. Sebagian dari kita pun pernah mengalaminya. Jika pernah mengecap rasanya menjadi anak SSB, kalian akan mengingat bahwa ibu hampir selalu menjadi suporter yang paling gahar. Dukungannya jauh lebih semarak dari tifosi mana pun.

Cerita ibu dalam sepak bola juga sering menyerempet pada perkara-perkara konyol. Semasa bocah, sejauh apa pun kalian bermain sepak bola dengan sembunyi-sembunyi, ibu akan selalu berhasil menemukan lapangan tempat kalian menggiring bola dengan riang dan liar. Saat permainan sedang seru-serunya, yang kerap terdengar adalah teriakan "Pulang!" yang nyaringnya mengalahkan suara peluit yang dibunyikan oleh Pierluigi Collina. 

Saat itu pula kalian tahu bahwa permainan harus segera dihentikan. Jika melawan, urusannya bisa panjang, bisa sampai akhirat. Kalian pikir kaki terhebat adalah milik yang telah menghasilkan tujuh Ballon d'Or itu? Hei, jangan lupa bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu.

Sayangnya, tidak semua klub sepak bola memiliki ibu. Chelsea beruntung karena memiliki seorang ibu. Namanya, Emma Hayes, dan ia adalah ibu yang berani.

Olimpiade London akan selalu dikenang Hayes. Ia dan ayahnya menonton salah satu pertandingan di gelaran tersebut. Hayes berbicara kepada ayahnya, "Hampir semua pemain di tim itu pernah aku latih." Sang ayah lantas bertanya, "Lalu, kenapa sekarang kamu di sini, di kursi penonton, menyaksikan mereka berlaga?"

Hayes didepak dari kursi kepelatihan Chicago Red Stars pada 2010. Pemecatan tersebut menjadi salah satu pukulan terhebat dalam hidupnya. Untungnya, Hayes tidak melulu meringkuk, ia bangkit, lantas bertemu dengan Chelsea di Kota London.

Roman Abramovich adalah taipan dengan ambisi setinggi langit. Dengan gelontoran uang yang seolah tak bisa habis ia berhasrat untuk menjadikan Chelsea sebagai kerajaan baru. Abramovich tak hanya mengucurkan dana untuk merekrut pelatih dan pemain tim utama yang mentereng. Ia loyal saat harus membangun pusat latihan Cobham sehingga tempat itu menjadi salah satu yang terbaik di jagat sepak bola. 

Kabar baiknya, Abramovic tak berhenti sampai di situ. Tim akademi dan tim perempuan juga turut menjadi perhatiannya. "Tim perempuan sangat penting bagi Chelsea. Klub ini tidak hanya terdiri dari tim laki-laki. Chelsea adalah komunitas yang terdiri dari tim perempuan, tim muda, tim akademi, dan dukungan untuk mantan pemain," jelas Abramovich.

Membangun tim perempuan, disebut Abramovich, selalu ada dalam to do list-nya sejak hari pertama. Ia heran bukan kepalang saat melihat ada banyak klub yang tidak mendukung tim perempuan mereka. Bukan sekadar mendukung, tetapi membangun mereka hingga sukses.

"Jika sepak bola perempuan menerima dukungan yang sama besarnya dengan sepak bola laki-laki, olahraga ini pasti akan memberikan keuntungan yang sama besarnya dari kedua sisi," papar Abramovich.

Sampai 2013, Tim Perempuan Chelsea masih berstatus amatir. Namun, pada Mei 2021, mereka berhasil menjejak ke final Liga Champions Perempuan. Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah klub. Terlebih, pada musim yang sama, tim laki-laki yang dipimpin Thomas Tuchel juga berhasil menjadi finalis Liga Champions. 

Tidak seperti pasukan Tuchel, tim perempuan Chelsea gagal menjadi kampiun karena kalah 0-4 dari Barcelona. Abramovich langsung mendatangi ruang ganti Chelsea usai kekalahan tersebut. Dengan sama cepatnya, anak-anak asuh Hayes berjanji untuk bekerja lebih keras untuk membalas kekalahan memalukan di partai final itu.

Sejak berstatus sebagai tim profesional, Chelsea Women telah mengantongi 11 gelar juara. Empat di antaranya merupakan kompetisi liga, termasuk pada musim 2020/21. Pertanyaannya tentu apa yang membuat Hayes sanggup membentuk The Blues menjadi tim mematikan? Bahkan dengan status sebagai finalis Liga Champions Perempuan 2020/21, mereka sah-sah saja untuk disebut sebagai tim terbaik kedua di Eropa.

Hayes bukan pelatih yang takut terhadap regenerasi. Setelah mengamankan gelar ganda pada 2017/18, Chelsea mesti ditinggalkan oleh para pemain bintang mereka. Perubahan besar-besaran tersebut sempat menuai kontroversi karena pada 2018/19, Chelsea gagal memenangi satu gelar juara pun.

Hayes melakukan trial and error transfer pemain. Bagi tim laki-laki, hal ini sudah lumrah. Namun, tidak demikian dengan tim perempuan. Hayes tidak berkalang buntung. Hanya butuh semusim tanpa gelar, Chelsea kembali merengkuh singgasana Women Super League. Bahkan pada 2020/21, terlepas dari kekalahan di final Liga Champions, mereka berhasil memenangi empat gelar juara.

Itu artinya, Hayes adalah orang yang menyingkirkan romantisme. Jika bicara sepak bola, perkara yang paling diutamakannya adalah logika. Memilih siapa yang dibutuhkan, menyingkirkan apa yang perlu disisihkan. Dari situ terbentuklah Chelsea yang sekarang. Kejelian taktik Hayes tercermin dari keberhasilan mereka menjuarai Piala FA Perempuan 2020/21. Lawan mereka di partai puncak bukan tim sembarangan, tetapi Arsenal, yang kini menjadi pemuncak sementara kompetisi liga. 

Ada tiga hal utama yang membuat Chelsea berhasil mengungguli Arsenal. Pertama, Chelsea tidak membiarkan Arsenal berlama-lama menguasai bola. Lia Walti, gelandang Arsenal yang biasanya bertanding dengan tenang layaknya seniman, mesti mati-matian meredam pressing yang dilepaskan Chelsea. Pressing jorjoran Chelsea juga sanggup menutup aliran bola kepada Vivianne Miedema. Itulah sebabnya, siapa pun yang menonton pertandingan tersebut akan menyaksikan Miedema bermain dengan kekurangan pasokan bola. 

Saat berada di sepertiga akhir pertahanan Arsenal, Chelsea secara kolektif memburu pemain lawan yang berusaha menguasai bola. Dari situ, akan ada pemain yang maju untuk merebut bola begitu lawan kehilangan bola. Inilah yang membuat Walti tak berkutik hampir di sepanjang pertandingan. 

Hayes ternyata berhasil membentuk Sophie Ingle menjadi pemburu ulung yang berulang kali mengancam gawang lawan. Gol pertama Chelsea, yang dicetak oleh Fran Kirby pada menit ketiga, terjadi setelah gelandang Arsenal, Frida Maanum, kehilangan bola di depan gawang. Penyebabnya, tentu saja, pressing yang sengit.

Selain Kirby, Chelsea dianugerahi penyerang tajam lainnya, Sam Kerr. Penyerang asal Australia ini memang berulang kali menjadi senjata mematikan untuk The Blues. Dia pula yang mencetak gol kedua dan ketiga Chelsea di laga melawan Arsenal. 

Ketajaman Kerr terbukti dari penampilannya dalam tiga musim bersama Chelsea. Angka golnya selalu lebih banyak dari angka harapan peluang (xG) yang ia catat. Pada kompetisi liga 2020/21, ia mampu mencetak 22 gol dari xG yang cuma 17,7. Ini semakin membuktikan betapa klinisnya Kerr. Sudut sempit dan kerubungan pemain lawan bukan masalah berarti baginya.

Data FBref

Ketika Arsenal menyerang, Chelsea melakukan hal serupa. Mereka sedapat mungkin berusaha agar Arsenal kalah jumlah dalam momen tersebut. Miedema dan Beth Mead memang berulang kali menjadi ancaman. Sayangnya, keduanya seperti bermain tanpa dukungan dari rekan-rekannya. Pemain Arsenal sering terlambat naik untuk membantu melancarkan serangan. Celaka karena kolektivitas Chelsea memampukan mereka menutup jalur bola bagi para penyerang Arsenal.

Faktor kedua adalah struktur serangan. Hayes memulai laga dengan tiga penyerang: Jessie Fleming, Kerr, dan Kirby. Seiring berjalannya laga, sistem tersebut berubah. Fleming dan Kirby mengambil posisi lebih mundur, di belakang Kerr. Itu artinya, Chelsea hanya bermain dengan satu penyerang.

Formasi ini sekilas terlihat akan menimbulkan masalah. Bagaimana mungkin Chelsea dapat produktif mencetak gol melawan Arsenal yang terkenal dengan lini pertahanan tangguhnya? Namun, sistem itu membuat Chelsea memiliki dua pemain yang menghubungkan lapangan tengah dan depan sehingga memiliki banyak alternatif untuk membangun serangan. Jika para pemain Arsenal berusaha untuk me-marking dua gelandang serang Chelsea--Fleming dan Kirby--opsi bola panjang ke Kerr dapat diambil.

Kekuatan ketiga Chelsea adalah sistem pertahanan. Jika awalnya pos bek diisi oleh Jessica Carter, Millie Bright, dan Magdalena Eriksson, pada pertandingan ini Hayes mengubah posisi Bright dan Carter. Dari situ, formasinya berganti menjadi Bright, Carter, dan Eriksson. 

Pada kenyataannya, shape tersebut berubah menjadi empat bek. Erin Cuthbert yang biasanya bermain di pos gelandang diposisikan lebih dalam sehingga sanggup mengambil peran bek kanan. Keputusan untuk menggunakan pseudo empat bek tersebut diambil didasari oleh watak Bright sebagai ball playing defender yang bisa diberi kebebasan penuh untuk berganti-ganti posisi dan mengirimkan bola ke area depan.

Michael Cox lewat tulisannya di The Athletic menyebut bahwa di laga tersebut, Hayes membuktikan bahwa dalam sepak bola modern tidak ada peran atau posisi yang benar-benar alami. Argumen itu masuk akal karena pada kenyataannya, Bright bisa mengambil peran sebagai bek tengah left-sided, bermain sebagai full-back di tengah, dan bahkan pemain sayap di sisi kanan. 

Bright adalah elemen penting dalam permainan Chelsea. Ia adalah seorang pengumpan ulung. Ia mampu membuat 521completed passing dari 625 percobaan di kompetisi liga musim ini. Jumlah itu menjadi yang tertinggi di antara rekan-rekan setimnya.

Sistem yang begitu cair dan luwes yang mengganjar Chelsea dengan kemenangan 3-0 atas Arsenal itu pada akhirnya menggambarkan keberanian Hayes sebagai pelatih. Keberanian itu tak hanya dimanifestasikannya dalam bentuk taktik dan sistem permainan, tetapi juga keberanian Chelsea Women untuk mendobrak stereotip bahwa sepak bola perempuan tidak akan pernah menjadi investasi yang menjanjikan. Keberanian itu yang menjadikan Chelsea mampu mengubur semua cerita kekalahan memalukan dan menggantinya dengan mahkota juara.