Kebersamaan

Foto: Werderbremen_en

Yang Bremen punya hanyalah kebersamaan. Itulah yang membuat mereka menonjol dan bisa mengejutkan, termasuk dalam kemenangan dramatis atas Dortmund.

Yang Bremen punya hanyalah kebersamaan.

Sebagai sebuah wilayah, Bremen penuh keterbatasan. Dibanding Bundesland (negara bagian) lain di Jerman, Bremen sering kali berada di urutan paling buncit. Acap kali

Berbicara tingkat kemiskinan, misalnya, Bremen adalah yang paling buruk di Jerman. Angkanya mencapai 22,7%. Jika menengok angka GDP (gross domestic product), Bremen merupakan Bundesland dengan angka paling rendah. Beberapa riset juga menunjukan bahwa Bremen memiliki kualitas pendidikan paling buruk dibanding Bundesland lainnya.

Karenanya, dengan segala keterbatasan itu, yang Bremen miliki untuk bisa menonjol, hanyalah kebersamaan.

Ketika dinobatkan sebagai Bundesland dengan tingkat vaksinasi Covid-19 terbaik--karena per April 2022 lalu 90% populasinya sudah divaksin penuh, orang-orang Bremen percaya bahwa itu adalah buah dari kebersamaan mereka. Bahwa seluruh orang di Bremen, bersama-sama, peduli untuk menangkal pandemi ini dengan cara vaksinasi.

Embed from Getty Images

Tak peduli latar belakang (karena kebetulan sepertiga warga Bremen adalah imigran), semua melakukan demi kebaikan bersama. Pemerintah wilayah bahkan turun ke bawah, menghampiri berbagai komunitas, untuk mengedukasi, mengimbau, dan mendirikan pusat vaksinasi. "Pendekatan kami adalah menjangkau semua orang," begitu ujar Wali Kota Bremen, Andreas Bovenschulte, kepada The New York Times.

Kebersamaan adalah yang utama. Di Bremen, saya tahu ada sebuah gereja yang menjual barang-barang bekas (pakaian, perkakas rumah tangga, elektronik) berkualitas dengan harga terjangkau supaya mereka yang bekekurangan bisa tetap mendapat kebutuhan sandang dan papan yang layak. Anda bisa menemukan sepatu bermerek Adidas atau baju bermerek Zara sampai Massimo Dutti dengan harga kurang dari lima euro. Pelbagai benda elektronik bermerek juga bisa Anda beli dengan harga kurang dari 20 euro.

Orang-orang kemudian juga sering meninggalkan barang-barang yang tak lagi mereka pakai (dengan kualitas yang masih cukup baik, tentu) di jalan, agar mereka yang membutuhkan bisa mengambil dan menggunakannya. Ini mungkin juga mafhum di wilayah lain di Jerman, tapi saya benar-benar sering melihatnya di Bremen.

Karenanya, ketika melihat bahwa Werder Bremen berhasil menaklukkan Borussia Dortmund akhir pekan kemarin (20/8), saya tahu itu juga buah dari kebersamaan. Sebab, apa lagi yang Werder punya untuk menang sedramatis itu jika bukan rasa kebersamaan di dalam tim mereka?

Secara kualitas pemain, Werder kalah telak. Anda tentu tak bisa membandingkan Christian Gross dengan Julian Brandt, Leonardo Bittencourt dengan Marco Reus, Anthony Jung dengan Raphael Guerreiro, atau Nicklas Friedl dengan Matts Hummels. Sebab, para pemain Dortmund di atas kertas memiliki segalanya.

Itulah mengapa Werder tertinggal 0-2 sampai menit 88 di Signal Iduna Park. Dortmund, lewat pemain-pemainnya, mampu menciptakan gol-gol spektakuler yang bikin mereka unggul. Bremen tak punya itu. Namun, Bremen punya kebersamaan. Ini mungkin terdengar klise, tapi seluruh pemain benar-benar tahu bahwa mereka bisa berbuat sesuatu jika terus berupaya bersama-sama.

Gol-gol yang dicetak Lee Buchanan, Niklas Schmidt, dan Oliver Burke menunjukan itu semua. Buchanan tak akan melepaskan tembakan dengan kaki luarnya jika ia tak percaya ia bisa menipiskan ketertinggalan. Schmidt tau dengan berdiri di dalam kotak penalti Dortmund, bola silang Amos Pieper akan sampai di kepalanya. Burke, sudah sejak di bangku cadangan, tahu bahwa ia akan menciptakan gol lagi.

"Menyaksikan di bangku cadangan bahwa kami menciptakan banyak peluang dan melawan tim papan atas, saya senang untuk tim. Ini adalah comeback yang luar biasa," kata Burke kepada DW. Burke percaya bahwa peluang yang diciptakan rekan-rekannya sepanjang laga akan berbuah gol. Statistik, sejak awal, memang lebih berpihak kepada Bremen. Bagaimana tidak, ketika tertinggal 0-2, Dortmund cuma punya angka expected goals (xG) 0,16 sedangkan Werder punya 0,76.

Di pinggir lapangan, Ole Werner tak pernah tenang. Dengan penuh keyakinan ia berteriak memberikan instruksi kepada para pemain. Ia yakin pemainnya bisa melakukan sesuatu. Ia yakin pula bahwa pemain yang ada di atas lapangan maupun di bangku cadangan sama-sama bisa mendatangkan perubahan. Dan itu benar. Tiga pencetak gol di atas seluruhnya adalah pemain pengganti.

Ketika kemudian wasit Florian Badstuebner meniupkan peluit akhir, para pemain dan staf Werder bergumul di lapangan untuk merayakan kemenangan. Mereka saling rangkul, membentuk lingkaran, dan berputar-putar bersama. Sesudahnya, mereka menghampiri para suporter yang sejak awal laga tak pernah berhenti bersorak dari tribune. Merayakan bersama-sama.

Berbicara soal suporter Werder, di hari itu mereka juga menjalani hari yang berat. Sebelum sampai di Signa Iduna, kereta yang seharusnya mereka tumpangi ke Dortmund bermasalah (well, khas kereta Jerman). Jadilah mereka harus mencari alternatif, berpindah dan berdesakan di dalam bus, sehingga memperpanjang waktu tempuh satu sampai dua jam lebih lama.

Maka saat Werder bisa membayar rasa lelah itu dengan kemenangan dramatis di atas lapangan, haru melihat seluruh mereka dan para suporter merayakannya. Sebab saya tahu betul bagaimana begitu setianya suporter kepada tim ini dan bagaimana tim ini tak akan bisa melaju jauh tanpa para suporternya.

***

Di Weserstadion musim lalu, saat Werder masih bermain di Bundesliga 2, saya ingat betul bagaimana seorang bapak-bapak terbangun dari duduknya di tribune untuk berteriak ke arah tribune berdiri. Saya tak mengerti maksud perkataannya, tapi saya kira ia meminta para ultras yang berada di sana untuk terus bernyanyi, memberikan dukungan kepada tim.

Teriakan bapak itu membangkitkan semangat yang lain, dengan ikut mengarahkan telunjuk mereka ke tribune berdiri. Werder memang sedang kalah, dan akhirnya juga kalah, saat itu. Namun, nyanyian dan tepuk tangan berhasil mereka dapatkan di akhir laga.

Saya tak heran ketika puluhan (atau bahkan ratusan) ribu warga Bremen tumpah ruah di Weserstadion dan berbagai penjuru kota ketika di akhir musim lalu tim ini berhasil promosi ke Bundesliga. Di Bremen, orang-orang seolah menunjukan bahwa kalah atau menang, mereka akan tetap bersama Werder.

Saya mungkin berlebihan. Namun, ketika mengetahui betapa payahnya Werder sebelum ini, betapa terbatasnya Bremen sebagai sebuah wilayah, saya tahu bahwa tak ada lagi yang lebih membanggakan dan menguatkan tempat ini selain kebersamaannya.