Kemelut Jepang dan Korea, Kemelut Asia Timur Raya

Ilustrasi: Arif Utama.

Jepang dan Korea Selatan menyimpan sentimen di sanubari masing-masing. Ini bukan perkara persaingan di lapangan saja, tetapi juga sejarah panjang penjajahan dan pendudukan yang berlangsung sejak era Hideyoshi Toyotomi.

Tepuk sorak menggelegar dari bangku tim Korea Selatan begitu wasit meniup peluit. Taegeuk Warrior sukses menaklukan Jepang 2-0 di Cardiff dan resmi menyabet medali perunggu Olimpiade 2012.

Mereka layak kegirangan atas torehan di Olimpiade 2012. Tuan rumah Britania Raya yang diperkuat oleh Ryan Giggs, Aaron Ramsey, dan Daniel Sturridge, mereka empaskan di perempat final. Walau kemudian keok di semifinal di tangan Brasil, Korsel mencatat sejarah sebagai penggenggam medali perunggu kedua dari Asia, dan sejarah tercatat dengan indah lewat kemenangan atas Jepang.

Pelatih dan pemain bersorak kegirangan. Mereka menghambur ke tengah lapangan. Gelandang serang Korsel, Park Dong-woo, berlari ke arah tribune, merengkuh spanduk putih dari tangan suporter dengan gambar bendera Korea bersandingkan aksara hangul. Dong-woo membentangkan spanduk bertuliskan “Dokdo adalah wilayah kami!” sambil berlari ke arah para suporter Korsel.

Bagi orang-orang Korsel yang larut dalam perayaan, aksi Dong-woo menjadi pemanis pesta. Namun, untuk warga Jepang, Dong-woo menjadi musuh seluruh negara. Sudah membuat kesebelasanya kalah, Dong-woo seperti menyiram minyak ke api yang belakangan membuat hubungan dua tetangga membara.

Sesaat sebelum pertandingan, hubungan diplomatik Korsel dan Jepang memanas. Presiden Korsel, Lee Myung-bak, berkunjung ke pulau kecil di selatan semenanjung Korea yang dipanggil Dokdo. Jepang murka atas sikap Korsel. Bagi Jepang, Pulau Dokdo seharusnya masuk teritori mereka dengan nama Takeshima. Kunjungan Myung-bak langsung diserang balik Perdana Menteri Yoshihiko Toda yang menyebut aksi tetangganya “tak bisa diterima”.

Dokdo sejatinya bukan pulau yang penting-penting amat. Isinya hanya hamparan batu berpenghunikan burung-burung laut. Namun, bagi bangsa yang mementingkan tradisi dan warisan nenek moyang seperti Korea, klaim atas kepemilikan Dokdo tak boleh lepas, meski harus beradu urat syaraf selama 300 tahun.

Sosok Hideyoshi Toyotomi diabadikan dalam sebuah lukisan. Foto: Wikimedia Commons.

Sebagai tetangga yang hanya terpisah selat, Korea dan Jepang tidak pernah akur dalam hal apa pun. Setidaknya, Jepang melakukan 2 kali invasi sejak zaman kerajaan dan sekali menduduki Korea sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang.

Dalam sejarahnya, setiap kali orang Jepang menginjakkan kaki di Semenanjung Korea selalu melahirkan pertumpahan darah yang brutal. Korea adalah korban pertama Jepang atas ambisi pemimpin besar Hideyoshi Toyotomi untuk memperluas wilayah sampai China. Operasi pertama sebanyak 158 ribu samurai dikirim menyeberang untuk mengobrak-abrik Dinasti Joseon. Jepang menang mudah dengan menduduki ibu kota Seoul, bahkan merangsek sampai Pyongyang di bagian utara. Joseon yang mendapat bantuan dari Dinasti Ming China masih tetap berkalang korban tak kurang dari 1 juta jiwa.

Joseon berhasil bebas berkat keajaiban setelah angkatan lautnya yang menjadi pahlawan di akhir peperangan dan memaksa para samurai Jepang mundur. Namun, 9 tahun berselang, armada Jepang kembali menyeberang dan menghasilkan kehancuran yang sama mengerikannya. Beruntung bagi Joseon, mereka terhindar dari kekalahan total karena Toyotomi mangkat.

Sejatinya, malapetaka adalah buntut dari kepongahan Joseon memandang rendah orang Jepang. Dinasti Joseon, sebagai kerajaan yang punya tata negara rapi, merasa punya strata lebih tinggi dari Jepang yang tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil sebagai dampak dari Perang Onin. Orang Joseon jijik dengan kelakuan koloni-koloni Jepang yang menjadi bajak laut yang hanya bisa merampas di sepanjang rute perdagangan.

Namun, mereka yang merasa pongah biasanya tak bisa bersikap dengan tepat. Orang-orang Joseon terbuai dalam tenggakan soju setiap malam. Elit politiknya sibuk dalam pertarungan dua kubu dan gagap dalam mengantisipasi ancaman. Orang Jepang saat itu seperti hanya hidup untuk berperang dan benar-benar siap menghadapi siapa pun. Sang pemimpin besar yang dipanggil Daimyo, Hideyoshi Toyotomi, benar-benar mempersiapkan armadanya. Tak ayal Joseon seketika hancur begitu Toyotomi memerintahkan invasi.

Ketika Jepang kembali datang di awal tahun 1900-an dalam bentuk tuntutan unifikasi, kaum ningrat Dinasti Joseon serta rakyat Korea menolak mentah-mentah meski tahu mereka akan kembali hancur jika terus ngeyel. Untuk melancarkan kepentingannya, Jepang kongkalikong dengan segelintir elit politik Korea. Kedaulatan rakyat Korea diambil paksa, sampai-sampai melancarkan muslihat untuk menyingkirkan Kaisar Gojong yang kemudian tewas keracunan.

Traktat Persatuan Jepang-Korea tahun 1910 memulai periode aneksasi dan mengakhiri Dinasti Joseon. Namun, realitas tak seindah nama traktatnya. Jepang memperlakukan Korea layaknya jajahan. Demi menancapkan pengaruh, Kekaisaran Jepang memusnahkan 200 ribu dokumen warisan Joseon dimusnahkan. Bahasa Jepang diberlakukan, dan orang Korea diharamkan untuk menjalankan tradisi warisan nenek moyang.

Belum lagi 725 ribu warga Korea dipaksa pindah ke Jepang menjadi pekerja paksa di pabrik-pabrik Jepang, serta ratusan ribu perempuan diseret dalam lingkaran setan perbudakan seks di kamp-kamp tentara Jepang. Penderitaan itu berlangsung hingga Jepang kalah Perang Dunia II pada tahun 1945.

Rakyat Korea tak mudah memaafkan luka dari dua kali invasi dan penjajahan keji selama 35 tahun. Setelah Republik Korea Selatan berdiri, pemerintahan Syngman Rhee mendapat desakan domestik untuk menolak relasi dengan Jepang. Letupan Perang Korea membuat Korsel lebih akrab dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Hubungan diplomatik baru mulai pada tahun 1965 atau dua dekade setelah kemerdekaan.

Seiring waktu, rakyat Korsel memandang Jepang sebagai si keparat yang harus membayar segala kesalahan yang diperbuat di masa lampau. Para keturunan korban kerja paksa dan perbudakan seksual mendesak permintaan maaf dan pengadilan dalam berbagai kampanye yang tersiar secara global. Belum lagi, sentimen nasionalisme Korsel yang amat kental, membuat perang dingin tergelar antara Korsel dan Jepang.

Foto: Twitter @LIFJapan.

Baik Korsel maupun Jepang saling beradu dalam membangun citra bangsa masing-masing di percaturan global, dan olahraga jadi medan tempur baru keduanya. Usai Tokyo menjadi tuan rumah Olimpiade 1964, Korsel tak mau ketinggalan dengan mengajukan Seoul untuk Olimpiade 1988. Pada pertengahan 1990an, Jepang berhasrat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2002 dan mengajukan proposal seorang diri. Menjelang detik-detik akhir penutupan pendaftaran dan Jepang punya kans besar untuk terpilih, Korsel maju dengan proposalnya.

Korsel begitu berambisi menikung Jepang dengan mengeluarkan sumber daya terbaik untuk melobi 21 eksekutif FIFA. Diplomat senior, pejabat militer, hingga pengusaha kakap dari Korsel bolak-balik terbang ke Zurich untuk melobi. Momen pengajuan tuan rumah Piala Dunia membuat elit politik Korsel bersatu dan berjanji untuk memodernisasi infrastruktur dalam negeri agar tak kalah dari Jepang yang saat itu beberapa langkah lebih maju.

Lelah dengan seteru dua negara, FIFA menggulirkan ide untuk menjadikan Korsel dan Jepang sebagai tuan rumah bersama. FIFA saat itu meyakini jika sepak bola dan Piala Dunia adalah pertemuan harmonis antar-negara tak peduli seberapa kelam masa lalu di antara mereka.

Namun, FIFA begitu naif. Selama sepak bola dimainkan oleh negara, watak dan intrik kepentingan tak bakal pernah tanggal. Perbincangan untuk membuka kemungkinan tuan rumah bersama antara Korsel dan Jepang sama sekali tak menunjukkan keharmonisan. Masing-masing pihak ngotot ingin dapat exposure lebih banyak. Korsel terus mengungkit perilaku Jepang di masa lalu.

Misalnya, Perdana Menteri Lee Hong-koo mengungkit kisah Olimpiade 1936 ketika atlet maraton Chung Shon-kee dipaksa memakai nama Jepang dan menyanyikan lagu kebangsaan penjajahnya saat naik podium dan menerima medali emas. Kelompok masyarakat sipil Korsel terus mengungkit kekerasan yang tergelar sepanjang penjajahan Jepang, menekan pemerintah agar tak melanjutkan perundingan tuan rumah bersama.

Dengan kesepakatan yang tak sepenuhnya bulat, FIFA memutuskan Piala Dunia 2002 bakal digelar di Korsel dan Jepang. Alih-alih mereda, perdebatan kian sengit dalam membahas teknis penyelenggaraan. Hal-hal terkait pembagian keuntungan sampai kota mana yang bakal menggelar laga pembuka dan final sering memicu keributan kedua delegasi. “Keputusan tuan rumah bersama ini sangat buruk,” keluh Direktur J-League saat itu, Kenji Mori, dikutip dari The New York Times.

Akhirnya, Piala Dunia 2002 menghasilkan nasib berbeda bagi kedua tuan rumah. Setiap Prefektur di Jepang yang mendapat jatah menggelar pertandingan setidaknya mengeluarkan anggaran hampir 1 miliar dolar Amerika Serikat. Investasi itu belum tahu kapan bakal balik modal. Timnas Jepang juga tersingkir di babak kedua, berbeda jauh dengan Ahn Jung-hwan dkk yang membawa Korsel sampai ke semifinal.

Di lapangan sepak bola, Korsel tetap memiliki sentimen dendam terhadap Jepang. Sepak bola memang jauh lebih mendarah daging di Semenanjung Korea yang menjadi pelarian dari nestapa hidup sejak masuk di akhir abad ke-19. Penobatan sepak bola sebagai kebanggaan nasional membuat Korsel mengharamkan kekalahan dari Jepang.

Dalam kualifikasi Piala Dunia 1954, Korsel berada di fase knock-out melawan Jepang untuk lolos ke Swiss. Presiden Syngman Rhee menolak digelarnya laga kandang di Seoul dan membiarkan Timnas Korsel menjalani dua pertandingan di Jepang. Sebelum timnas berangkat, Rhee memberi tekanan pada para pemain dan staf pelatih. “Jika kalian kalah, lebih baik menceburkan diri ke lautan.”

Pelatih Timnas Korsel saat itu, Lee Yoo-hyung, kemudian bersumpah untuk memenuhi permintaan Rhee. Korsel menang 5-1 pada pertandingan pertama dan mampu menahan imbang 2-2 dalam pertandingan yang digelar di Stadion Meiji. Korsel menjadi negara Asia pertama yang lolos ke Piala Dunia dan para talenta terbaik batal diceburkan ke pesisir timur Semenanjung Korea.

Saling sinis juga terjadi sesama suporter. Ketika Jepang tersingkir di kualifikasi Piala Dunia 1994 usai kalah dari Irak dalam pertandingan yang digelar di Doha, publik Korsel bersorak sorai dan menyebutnya “Keajaiban di Doha”. Sedangkan suporter Jepang menyebutnya “Tragedi di Doha” karena dugaan kecurangan yang berkontribusi terhadap gol janggal pemain Irak. Suporter Jepang kerap membawa bendera matahari terbit yang terlihat menyakitkan bagi orang-orang Asia bekas jajahannya.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya berisikan dominasi Korsel atas Jepang. Korsel dianugerahi talenta macam Cha Bum-kun hingga Park Ji-sung. Dari 79 pertemuan antara keduanya, Korsel berhasil memenangi 42 pertandingan, sedangkan Jepang hanya mencatat 14 kemenangan dan 23 hasil imbang. Jepang memang terkesan lebih layak menyandang status sebagai raja benua dengan empat titel Piala Asia ketika memiliki talenta seperti Shinji Kagawa dan Makoto Hasebe. Namun, Korsel tak pernah merasa karena selalu menempel di posisi 4 besar di Piala Asia dan lebih sering menang saat keduanya bertemu.

Sampai kini, bumbu sengit keduanya lagi-lagi tak tanggal. Publik Korsel khawatir jika para pemainnya bakal terinfeksi COVID-19 dalam lawatan nanti. Ada sentimen jika Korsel menangani pandemi jauh lebih baik dari Jepang.

Riwayat konflik kekerasan ratusan tahun hampir mustahil dihapuskan. Selama fans Jepang terus mengibarkan bendera matahari terbit yang dianggap simbol imperialisme oleh bangsa Asia, dan suporter Korsel yang bakal meneriakkan chant “Daehan Minguk” begitu lantang, pertandingan Korsel melawan Jepang adalah drama.