Kemenangan dan Ketidakpastian

Foto: FC St. Pauli

St. Pauli akhirnya menang lagi. Akhir pekan kemarin mereka mengalahkan Arminia Bielefeld 2-1. Dan ini laporan saya dari laga tersebut.

Makin banyak saya menonton pertandingan sepak bola level dua, makin saya sadar bahwa yang membedakan pemain kelas satu dengan pemain-pemain yang berada di level bawah hanyalah satu: Pengambilan keputusan.

Perkara skill atau atribut, itu relatif. Saya bisa dengan mudah mengambil contoh para pemain St. Pauli, misalnya. Tim ini memang main di divisi dua dan sudah lama sekali tak mencicipi gelaran Bundesliga. Akan tetapi, secara skuad, St. Pauli dipenuhi oleh pemain-pemain dengan skill dan kualitas di atas rata-rata (divisi dua).

Marcel Hartel begitu brilian dengan bola di kakinya. Leart Paqarada pun sama, dan ia memiliki umpan-umpan yang, sebagaimana disebutkan Jackson Irvine kepada saya, merupakan umpan kelas dunia. Irvine sendiri memiliki pemahaman yang sangat baik dalam membaca laga dan dengan determinasinya ia menjadi gelandang yang komplet dalam hal bertahan dan menyerang.

Di depan, Dapo Afolayan adalah pemain sayap yang sangat baik dalam duel satu lawan satu. Luka Daschner adalah pemain depan dengan link-up play yang baik. Di belakang Nikola Vasilj adalah kiper modern yang komplet. Eric Smith, mengutip rekan saya di tribune media Tim Ecksteen, adalah “build-up player” terbaik di 2. Bundesliga, dan Jakov Medic begitu solid dan agresif dalam duel. Pun dengan Manolis Saliakas yang saya rasa juga memiliki skill di atas rata-rata sebagai wing-back.

Para pemain St. Pauli ini, jika dilihat secara individu, saya rasa sangat layak bermain di divisi utama, di Bundesliga (Paqarada, salah satu kapten tim, bahkan sudah memutuskan pindah ke Koeln pada musim depan). Saya pun khawatir nama-nama lain akan mendapat tawaran yang sama.

Lantas jika ada yang bertanya mengapa St. Pauli, dengan kumpulan pemain yang bagus dan punya kualitas divisi utama, masih kesulitan meraih tiket promosi ke Bundesliga? Jawabannya sudah saya tulis pada paragraf pertama: Pengambilan keputusan.

Di sebuah hari, mudah menemukan bagaimana Paqarada melepas umpan terobosan manis ke depan dan Hartel berlari menyambutnya untuk menyelesaikan dengan manis, seperti yang mereka lakukan pada gol pertama di laga vs Arminia Bielefeld, Sabtu (29/4) kemarin. Pada hari yang sama, Daschner bisa begitu buas menyambar bola kemelut di depan gawang lawan.

Pada momen-momen lain, pemain acap salah langkah: Terlalu cepat melepas umpan, terlalu pelan melepas tembakan, terlalu memaksakan untuk melepaskan duel, terlalu mudah menekan lawan ketika tak ada rekan yang siap mengover ruang. Hal-hal ini, yang akhirnya, acap membuat poin hilang. Hal-hal ini yang terjadi di laga vs Braunschweig, di laga derbi vs HSV.

Saya mengerti, sepak bola memang tak selamanya berjalan sesuai jalur. Pemain bermain bagus, pemain bisa berada dalam momen-momen terburuk mereka. Kemenangan akan berakhir, kekalahan bakal datang. Namun, upaya untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan itu yang jelas kudu ditingkatkan.

Buat siapa pun yang mengikuti St. Pauli musim ini, ketidakpastian itu adalah teman karib. Paruh pertama musim, St. Pauli begitu mendamba kemenangan. Paruh kedua, ketika yang pasti adalah kemenangan usai 10 laga disapu bersih tanpa jeda, dua kekalahan beruntun datang. Sampai kemudian, tiga poin kembali datang dari laga vs Arminia. 2-1 skornya.

“Kami berbicara soal kekecewaan setelah kalah pekan lalu. Namun, kami percaya masih ada 15 poin (untuk dimenangkan), dan kami sudah mendapatkan tiga. Masih ada 12 poin lagi. Jika kamu pernah berada dalam tren kemenangan, kamu akan percaya semua bisa terjadi,” ujar Irvine selepas laga kepada saya.

Ia benar. Kemungkinan untuk menyapu bersih 12 poin di empat laga sisa amat besar. Memang lawan yang dihadapi adalah tim-tim papan atas macam Darmstadt atau Fortuna Düsseldorf, tapi seperti yang sudah saya tulis di atas: St. Pauli punya kualitas untuk menjadi salah satu yang terbaik di 2. Bundesliga.

Yang terpenting, lagi-lagi, adalah soal pengambilan keputusan. Jika pasukan Fabian Hürzeler mampu memperbaiki hitung-hitungan soal kapan menembak, kapan menekan lawan, kapan melepas umpan, kapan bergerak ke half-space, mereka akan baik-baik saja dan bisa mengatasi siapa pun lawannya. Jarak enam poin ke zona play-off promosi akan terasa amat dekat.

***

Di Hamburg, ketidakpastian memang serupa teman karib. Siapa, atau apa, pun bisa datang dan pergi: The Beatles, kejayaan HSV, rentetan kemenangan St. Pauli, cuaca cerah, kapal-kapal yang berlabuh, orang-orang yang kau temui di Sternschanze atau Reeperbahn dalam pesta-pesta yang riuh. Dan ketidakpastian itu, salah satunya, bisa datang karena keputusan yang kau ambil.

Namun, hidup yang berada di tengah ketidakpastian bukanlah hidup yang buruk. Terkadang situasi itu memberi kita pelajaran: Bahwa setiap kau merasa bahwa hidup tengah berpihak padamu, kau harus selalu merayakannya. Sebab, kita semua tak pernah tau apa yang akan hilang di hari esok.

Selepas laga vs Arminia, selepas tiga poin usai dua kekalahan beruntun, Jackson Irvine naik ke atas tribune selatan Millerntor. Ia bergabung dengan para capo, untuk memberi komando kepada seluruh Ultras St. Pauli. Mereka lantas menari dan bernyanyi bersama. Pemain yang lain turut serta dari bawah, dari atas lapangan. Ini waktunya untuk berpesta.

Beberapa menit setelahnya, saya memanggil Irvine di mixed zone, ia menjawab beberapa pertanyaan saya. “Tiga poin di kandang, sangat menyenangkan,” katanya di tengah obrolan kami. Saya mengangguk, tanda sepakat. Siang itu bukan siang terbaik yang pernah saya rasakan di Millerntor, tapi atmosfernya terasa sebagai salah satu yang paling menyenangkan.

Lagi pula, siang itu adalah satu dari dua siang terakhir di Millerntor musim ini (satu laga kandang St. Pauli lainnya akan dimainkan malam hari). Jadi, sebelum akhir pekan yang panjang tenggelam dalam ketidakpastian, rayakanlah.