Kenapa Isu Kesehatan Jiwa di Sepak Bola Tidak Sering Dibicarakan?
Oktober diperingati sebagai bulan kesehatan jiwa. Ini adalah waktu yang tepat untuk semakin mawas dengan kesehatan jiwa, untuk tak abai dengan gangguan jiwa, termasuk di ranah sepak bola dan di antara kita yang menggilai sepak bola.
Hingga kini tidak ada jawaban pasti yang sanggup menutup pertanyaan kenapa pembicaraan tentang kesehatan jiwa di dunia sepak bola jarang terdengar. Sebenarnya, ukuran jarang, sering, atau wajar juga tidak pasti. Barangkali persoalannya bukan sejarang atau sesering apa isu tentang kesehatan jiwa dibicarakan, tetapi mau atau tidaknya kita mendengar ketika ada yang membicarakannya.
Meski demikian, ada dua jawaban yang bisa ditawarkan untuk pertanyaan di atas. Jawaban pertama: Masa-masa dengan gangguan mental atau kejiwaan adalah periode yang membingungkan. Sangat membingungkan.
Sepak bola adalah olahraga yang sangat memuja kepastian. Kemenangan dan kekalahan memiliki ukuran yang saklek. Jika sebuah tim mencetak lebih banyak gol, dia yang menjadi pemenang. Sebaliknya, jika jumlah gol sebuah tim lebih sedikit, dialah yang meninggalkan arena pertandingan dengan membawa kekalahan.
Siapa yang terhebat dan terbesar di Eropa ditentukan dengan banyaknya trofi Liga Champions. Siapa yang sehat atau sakit secara finansial ditentukan oleh posisi mereka di Deloitte Football Money League.
Orang-orang yang bekerja di ranah sepak bola adalah orang-orang memburu kepastian. Data, statistik, dan analisis berkembang pesat. Tujuannya cuma satu, yaitu untuk menjelaskan apa-apa yang tidak pasti di lapangan bola. Bahkan, ekspektasi--hal yang sebenarnya belum terjadi--pun memiliki perhitungannya sendiri: Expected goal, expected assist, dan expected lainnya. Pergerakan para pemain yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang diterjemahkan ke dalam heatmaps dan chalkboard.
Maka ketika berhadapan dengan hal yang membingungkan dan jauh dari kepastian, seorang pemain atau siapa pun yang berkecimpung dalam sepak bola akan memburu kejelasan dengan kekuatannya sendiri.
Masalahnya, gangguan kejiwaan itu sangat membingungkan. Disebut membingungkan karena pada sejumlah kasus, kita merasa bahwa gejala-gejala yang kita alami hanyalah bagian dari diri kita. Kita merasa "ya, aku memang seperti ini". Di sisi lain, kita juga tidak yakin benar kapan hal-hal tersebut mulai kita rasakan. Belum lagi dengan gejala yang datang dan pergi. Kadang kita merasa baik-baik saja, kadang bangkit dari tempat tidur saja rasanya setengah mati.
Saat gejala-gejala terkait gangguan kejiwaan kita rasakan, yang pertama kita lakukan adalah mencari tahu sendiri. Tentu saja ini bukan masalah. Kita memang perlu mencari tahu. Tindakan ini menjadi masalah jika kita terus mencari tahu sendiri atau mendiamkannya saat kita belum menemukan jawaban yang pasti. Padahal, rangkaian pertanyaan tidak terjawab itu adalah pertanda bahwa kita harus mencari pertolongan.
Beberapa hari sebelum dinyatakan meninggal karena bunuh diri, mendiang Gary Speed tampil di sebuah acara televisi. Mengutip The Guardian, ia berbicara tentang sepak bola dengan antusias di acara tersebut sehingga kematiannya mengagetkan banyak pihak, bahkan sang istri yang merupakan orang terdekatnya.
Gangguan mental atau kejiwaan bisa menjadi rumit karena tak selamanya kondisi tersebut membuat kita tidak sanggup melakukan apa pun. Kita bisa tetap merasa bersemangat saat membicarakan apa yang kita sukai. Kita tetap bisa bersikap profesional bahkan lupa dengan emosi-emosi yang naik turun. Pada satu titik, kita merasa bahwa kita baik-baik saja. Namun, entah bagaimana caranya, kegelapan itu datang menyergap dan mengacaukan segalanya.
Kondisi yang naik turun seperti itu yang membuat periode saat mengalami gangguan kejiwaan jadi terasa aneh. Kalau masih bisa kembali bersemangat saat melakukan hal yang kita sukai meski sebelumnya merasa kepayahan, bukankah itu hal yang wajar? Kalau hal-hal yang kita sukai masih bisa menjadi moodbooster, bukankah seharusnya kita baik-baik saja?
Berbagai asumsi tentang kewajaran itu mengaburkan langkah kita untuk mencari pertolongan. Seharusnya, jika merasa ada yang salah atau mengganggu, segeralah mencari pertolongan. Kalaupun akhirnya tidak ada yang perlu diobati, tidak perlu malu atau merasa berlebihan karena pada dasarnya kita hanya sedang menyelamatkan diri sendiri.
Jawaban kedua adalah karena pada umumnya, orang-orang yang berkecimpung dalam sepak bola begitu mencintai sepak bola. Saking cintanya, ketakutan terbesar mereka adalah tidak mendapatkan tempat dalam sepak bola.
Entah sejak kapan sepak bola berkawan karib dengan kekuatan. Jika lembek, kamu tidak akan punya tempat di atas lapangan sepak bola. Bagaimanapun, sepak bola adalah hal yang berkaitan dengan fisik. Tidak peduli sehebat apa pun seorang pemain, ia akan tetap ditempa dengan latihan fisik. Bahkan sebelum dinyatakan resmi bergabung dengan sebuah tim, seorang pemain harus menjalani tes medis.
Gangguan kejiwaan sering mendatangkan stigma. Yang namanya stigma, ia pintar betul menyisihkanmu dari tempat yang begitu kamu cintai. Para pesepak bola yang takut membicarakan gangguan kejiwaannya takut tersisih dari lapangan bola. Padahal, untuk mendapatkan tempat utama setiap pekan saja susahnya sudah minta ampun.
Kepada Donald McRae untuk The Guardian, Marvin Sordell bercerita tentang perjuangannya melawan depresi. Wajar jika kita merasa asing dengannya karena di sepanjang kariernya, Sordell lebih sering berlaga bersama klub non-Premier League.
Sordell menjelaskan bahwa saking kejamnya, sepak bola membuatnya seperti mati. Sordell memahami hukum alam yang berlaku dalam sepak bola. Bahwa jika kau tidak menjadi yang terbaik, kau tidak akan bermain.
Para pelatih harus memilih siapa-siapa saja yang pantas bermain pada setiap laga. Sordell merasa terbuang karena tak kunjung terpilih. Perasaan tidak berguna dan tersisih memicu segalanya menjadi lebih buruk. Pada Agustus 2013, Sordell pernah mencoba bunuh diri dengan menenggak pil dalam takaran overdosis. Namun, upaya tersebut gagal. Sordell bangun pada keesokan harinya. Katanya, ia kesal minta ampun dan kembali berlatih sehari setelahnya.
Dalam masa-masa muram itu, seorang kenalannya menganjurkan agar Sordell mencari ketenangan pergi ke biara selama beberapa minggu. Sordell menganggap ide itu cukup bagus dan layak dicoba.
Namun, ia sadar bahwa ia tidak bisa melakukan itu karena klub telah mengontraknya dan menggelontorkan uang yang tidak sedikit. Pihak klub entah bagaimana caranya mengetahui niatan Sordell untuk mengasingkan diri sejenak. Mereka lantas berbicara dengan ibu Sordell lewat telepon. Menurut Sordell, pihak klub tidak berkata secara gamblang bahwa mereka melarang. Akan tetapi, mereka berkata bahwa Sordell harus fokus pada sepak bola.
Sordell mencari segala secara untuk membuat diri merasa lebih baik. Hingga pada suatu titik, ia menulis. Ia menulis demi menumpahkan seluruh emosinya. Kepada McRae ia berkata, "Pada akhirnya, setelah membaca tulisan-tulisan saya, istri saya berkata: 'Cukup. Kamu harus segera berobat ke psikiater.' Saya menangis sejadi-jadinya saat berobat ke psikiater. Saya pikir hari itu saya hanya kesal karena tidak dapat bermain sepak bola. Saya hanya marah karena saya tidak mendapatkan tempat di tim."
Nyatanya, tangisan tersebut lebih dari luapan kekesalan dan kemarahan. Lewat tangisan tersebut, selubung demi selubung yang selama ini dipakainya untuk bersembunyi terbuka. Lewat tangisan tersebut Sordell mulai berani menunjukkan siapa dirinya, untuk menunjukkan di mana saja luka-lukanya berada.
Depresi dan berbagai gangguan kejiwaan tidak sesederhana ungkapan: "Ia depresi karena A atau B." Ada banyak hal terjadi yang pada akhirnya menjadi pemicu depresi dan sejumlah gangguan kejiwaan. Kehilangan dan ketakutan akan kehilangan adalah salah satunya; termasuk dalam kasus Sordell atau yang nahas, mendiang Robert Enke.
Seharusnya 2009 menjadi tahun yang hebat bagi Andres Iniesta. Bersama Barcelona, ia merengkuh treble winner: La Liga, Copa del Rey, dan Liga Champions. Dukacita menyelinap, melahap seluruh kegembiraan yang terjadi dalam hidup Iniesta pada tahun itu. Tepat pada 9 Agustus 2009, Carles Puyol mengabarkan bahwa Dani Jarque meninggal dunia akibat gagal jantung. Jarque memang tidak pernah berlaga untuk Barcelona. Namun, kapten Timnas Spanyol tersebut merupakan salah satu sahabat Iniesta.
Kematian itu menjadi salah satu pemicu masalah kejiwaan yang dialami Iniesta. Dalam bukunya, The Artist, ia tidak menyebutnya sebagai depresi seperti yang selama ini disebut orang-orang. "Tidak bisa benar-benar dikatakan sebagai depresi atau penyakit. Namun, kegelisahan; kegelisahan yang membuatmu merasa tidak ada satu pun yang terasa benar."
Hasil tes medis menunjukkan bahwa Iniesta tidak memiliki masalah spesifik. Namun, ia tidak mampu menyelesaikan musim tersebut. Pep Guardiola bersedia menunggu dan mengizinkan Iniesta beristirahat sampai benar-benar pulih. Iniesta menjalani perawatan secara diam-diam. Tidak ada rekan satu timnya yang tahu. Ia berkata tentang kerentanan, berada di ambang batas, kegelisahan, dan korban dari sesuatu yang membuatnya takut. Ia mencari pertolongan, lalu mendapat perawatan.
Hanya Iniesta dan tim medis yang merawatnya yang tahu pasti kapan ia benar-benar dinyatakan pulih. Yang jelas ia mencetak gol yang mengantarkan Spanyol juara Piala Dunia 2010. Ia berbicara tentang Hukum Newton di depan umum ketika jurnalis bertanya tentang golnya tersebut. Namun, Iniesta tidak bercerita bahwa yang dilawannya bukan cuma gravitasi. Bukan tak mungkin, pada menit-menit krusial tersebut ia juga sedang melawan ketakutan, melawan kegelapan yang berusaha meluluhlantakkan jiwanya.
Toh, depresi dan gangguan jiwa lainnya tidak selalu membuatmu tak sanggup melakukan apa pun. Ia tidak selalu membuatmu menangis sendirian di kamar, ia tidak selalu membuatmu tak mampu tertawa di hadapan lelucon-lelucon konyol yang kau bicarakan bersama teman-temanmu. Masa-masa dengan gangguan jiwa atau mental adalah periode yang gelap dan membingungkan. Namun, bukan berarti kau tidak bisa melawannya, bukan berarti kau tidak berhak untuk melepaskan diri dari cengkeramannya.
****
Beberapa hari lalu, seorang kawan baik mengajak saya bertemu. Mumpung harus menginap beberapa hari di Jakarta karena pekerjaan, ia ingin bertemu dengan saya lagi. Saya menolak ajakannya untuk bertemu pagi-pagi pada hari kedua. Saya bilang, saya harus ke psikiater karena sudah jadwalnya untuk berobat. Setelah membaca jawaban singkat saya tentang perawatan psikiatri yang mengharuskan saya mengonsumsi beberapa obat dalam 2 tahun terakhir, dia tidak bertanya lagi dan hanya berkata; "Enggak apa-apa. Itu normal, kok."
Kawan saya ini tidak hanya sedang menormalkan bahwa gangguan jiwa adalah kondisi yang bisa menyerang siapa saja. Lebih dari itu, lewat kalimat singkat "Itu normal, kok" ia sedang berkata bahwa berobat saat sakit adalah hal normal bagi siapa pun.
Saya berharap kita berusaha sedapat-dapatnya untuk memiliki kawan seperti itu, kawan yang memandang bahwa mencari pertolongan saat membutuhkan dan mencari kesembuhan saat sakit adalah hal normal. Lalu, dengan usaha yang sama kuat dengan mencari kawan seperti itu, berusahalah untuk menjadi kawan yang demikian, orang yang menormalkan upaya kawan-kawanmu untuk menyelamatkan diri mereka.
====
Catatan editorial:
1) Silakan mengunjungi tautan ini untuk mengetahui cara menghubungi ahli dan tenaga profesional jika kamu membutuhkan layanan kesehatan mental: Panduan Mencari Layanan Profesional Kesehatan Jiwa | Into The Light Indonesia (intothelightid.org)
2) Hingga kini, hanya BPJS yang bisa meng-cover biaya perawatan dan pengobatan kejiwaan di Indonesia.
3) Jika kebingungan menjelaskan apa yang kamu alami, terutama saat pertama kali mengunjungi psikiater atau psikolog, katakan saja kamu bingung. Biasanya, psikiater atau psikolog akan menuntunmu atau merekomendasikan tes kejiwaan seperti MMPI untuk membantu menegakkan diagnosis sehingga dapat menyusun rencana perawatan yang tepat. Saran kami, jalani pemeriksaan itu.
4) Jika mengalami kesulitan menguraikan kondisimu kepada psikiater atau psikolog, tuliskan saja apa yang kamu rasakan. Kamu bisa membacakan catatan itu, bahkan meminta psikiater atau psikolog membacanya sendiri.
5) Ikuti rencana perawatan dan pengobatan dengan disiplin. Jika kondisimu membutuhkan obat, jangan naikkan, turunkan, dan hentikan penggunaan obat sendiri. Psikiatermu yang akan melakukannya berdasarkan kondisimu. Simpan baik-baik kemasan obat dari apotek yang menyertakan nama psikiater yang meresepkan obat, tanggal perawatan, dan dosis.
6) Jika teman atau keluargamu berbicara tentang gejala gangguan kejiwaan, tanggapi dengan serius. Tawarkan diri untuk menemaninya ke profesional walau umumnya, kamu hanya perlu menemaninya di ruang tunggu. Jika ada yang berkata bahwa dia berpikir untuk melukai diri sendiri atau bahkan mengucapkan (mengirim pesan) hal-hal yang menjurus tindakan bunuh diri, segera hubungi dia. Jangan lupa untuk selalu menyimpan nomor telepon gawat darurat 118 atau 119.