Keputusan Jitu Mancini

Foto: @azzurri

Dari analisis taktik ini kita tahu bahwa keputusan jitu dan berani dari Mancini-lah yang membuat Italia mampu keluar jadi juara.

Kita semua terkejut saat Inggris mencetak gol melalui Luke Shaw. Waktu belum menunjukkan angka dua menit saat gol itu tercipta. Italia, yang diyakini akan memegang kendali laga sejak awal, kebobolan lebih dulu.

Ini pertanda bahwa Gareth Southgate punya siasat yang baik untuk memulai pertandingan. Pelatih Inggris ini tahu bahwa Italia terbiasa memulai laga dengan tempo sedang dan karena itu ia ingin mengejutkan lawannya. Inggris dibuatnya berani menggebrak dan gol Shaw itu adalah bukti.

Akan tetapi, poin gol itu bukan soal keberanian Southgate berani mendobrak saja. Gol itu juga adalah bukti bahwa dengan pola 3-4-3 yang ia terapkan sejak awal, Inggris siap mengontrol pertandingan. Inggris siap mendominasi ruang atas lawannya.

Lewat pola 3-4-3, Southgate membuat Inggris unggul dalam soal memanfaatkan lebar lapangan. Soal width. Kita bisa melihat itu dari terciptanya gol Shaw. Saat Harry Kane melepas umpan, pemain Inggris sudah memenuhi sisi kanan dan kiri lapangan.

Sementara Italia, yang dalam situasi ini sedang diserang balik, mengalami disorganisasi. Sisi kiri pertahanan mereka kosong karena Emerson sedang rapat ke tengah, membentuk shape tiga bek bersama Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini.

Celakanya, ketika Italia sudah berhasil membuat shape empat bek, mereka kalah jumlah di kiri. Kyle Walker telah datang untuk menyokong Kierran Trippier yang sedang memegang bola. Lewat pergerakan tanpa bola yang bagus, Walker mampu menarik pergerakan Emerson. Trippier pun kosong dan ia dengan mudah melepaskan umpan silang.

Italia tambah celaka karena tiang jauh mereka kosong. Giovanni Di Lorenzo, yang harusnya mengisi ruang kosong itu, lebih memilih merapatkan jarak ke tengah, padahal di situasi itu sudah ada 2 pemain di depannya. Ia harusnya lebih aware dengan siapa yang ada di belakangnya, yakni Shaw. Shaw pun kosong dan ia berhasil menuntaskan umpan silang Trippier dengan sempurna.

Skor 1-0 membuat Inggris berada di atas angin. Ide Southgate untuk menggebrak dan unggul lebih dulu sudah terejawantahkan dengan baik. Pada 10-15 menit pertama mereka masih mengajak Italia bermain cepat. Namun, setelah itu, pasukan Tiga Singa praktis hanya tampil lebih menunggu.

Dalam mode menunggu pun, Inggris masih tetap mampu mengontrol jalannya pertandingan. Mereka memang tak unggul soal penguasaan bola, tetapi arah pertandingan berjalan sesuai apa yang mereka inginkan.

Italia dibuat kesulitan mengalirkan bola. Gelandang-gelandang macam Jorginho dan Marco Verratti yang merupakan kunci aliran bola Gli Azzurri dimatikan. Adalah overload dan pressing yang dilakukan oleh para pemain Inggris. Dan itu berhasil membuat aliran bola Italia pampat.

Hasilnya, pada babak pertama, aliran bola Italia acap bermula via umpan-umpan lambung Leonardo Bonucci. Kita tahu Bonucci punya kecakapan untuk itu. Namun, penerima umpan kesulitan mengolah bola dengan baik karena pressing yang terus dilakukan pemain belakang Inggris.

Di babak pertama, dari 434 sentuhan yang dilakukan oleh pemain Italia, hanya 10 yang berada di kotak penalti Inggris. Serangan Italia mudah patah. Federico Chiesa yang diharapkan jadi kunci justru kesulitan. Tak ada satu pun dari 10 sentuhan itu yang berada di sisi kanan, tempat Chiesa berada.

Situasi makin parah buat Italia karena penerapan low-block Inggris juga berhasil. Bayangkan saja, tiga pemain depan Italia acap berada dalam situasi 3 vs 5 atau bahkan 3 vs 7 seperti di gambar ini karena Declan Rice dan Kalvin Phillips juga disiplin turun membantu pertahanan.

Di situasi ini, Inggris jelas unggul. Bukan hanya dari skor, tetapi juga dari soal kontrol atas laga. Mereka berhasil mematikan pemain paling berbahaya Italia, sekaligus meminimalisir sentuhan di dalam kotak penalti. Aliran serangan Italia juga mampu dibuntukan.

Akan tetapi, di sinilah kejelian Roberto Mancini muncul. Sebagai pelatih ia tahu bahwa timnya tengah kesulitan. Permainan tak berkembang. Karenanya, pada menit 55, ia langsung melakukan dua pergantian. Nicolo Barella ditarik keluar digantikan Bryan Cristante, lalu Ciro Immobile diganti Domenico Berardi.

Dua pergantian ini terbukti jitu mengubah Italia. Kehadiran Berardi adalah jawaban atas strategi Southgate memanfaatkan lebar lapangan untuk mengontrol ruang. Sebab, pemain Sassuolo ini adalah sosok yang lebih senang bergerak di flank ketimbang masuk ke half-space seperti Chiesa atau Lorenzo Insigne.

Penempatan posisi Berardi di flank ini bisa membuat Cristante, sosok yang baru masuk juga, mengisi half-space kanan (kiri pertahanan Inggris). Ini membuat Italia punya peluang menghadirkan situasi 4 vs 5 atau bahkan 5 vs 5 jika Emerson Palmieri naik di sisi kiri.

Selain itu, kehadiran Cristante dan diplotnya Insigne sebagai penyerang tengah membuat Italia bisa mengeksploitasi ruang di antara pemain belakang dan gelandang Inggris. Situasi itu akan menimbulkan kebingungan buat Inggris: Siapa yang harus menempel Insigne dan Cristante? Pemain belakang atau tengah?

Kerancuan itu diharapkan menghadirkan disorganisasi di pertahanan Inggris yang memunculkan ruang kosong buat Italia. Tengok saja momen di bawah ini, saat John Stones berusaha "ditarik" keluar dari shape-nya oleh Insigne.

Stones sudah maju, off-shape. Beruntung, Jorginho terlambat melepaskan bola ke Berrardi yang sudah berada di ruang kosong di belakang bek Inggris. Situasi-situasi macam ini acap terjadi setelahnya dan jelas berhasil bikin repot Inggris.

Proses sebelum gol Bonucci juga tercipta karena Italia mampu mengatasi inferioritas mereka. Pergerakan Giorgio Chiellini yang naik jauh ke depan mampu menarik perhatian pemain Inggris sehingga Chiesa bisa dengan bebas melepas umpan silang yang pada akhirnya berbuah sepak pojok. Pergerakan Cristante untuk masuk ke area blindspot Maguire pun amat tepat.

Di sini juga jadi bukti bahwa Italia mampu memaksimalkan situasi apa pun untuk menjadi gol. Ketika dalam situasi open-play mereka kesulitan mendapatkan ruang, maka dalam situasi bola mati seperti inilah mereka harus bisa bikin peluang. Hasilnya tak cuma peluang yang datang, tetapi juga gol.

Southgate sebenarnya sudah berusaha merespons ketertinggalan dengan memasukkan Bukayo Saka pada menit 70. Ia juga mengubah pola dari tiga bek ke empat bek. Namun, itu bukan keputusan yang baik. Kontrol akan pertandingan dan ruang sudah dipegang oleh Italia. Tak ada lagi ruang untuk dieksploitasi pemain Inggris.

Memasukkan Saka, yang membutuhkan banyak ruang untuk menunjukkan kapabilitasnya, jadi terlihat percuma. Sejak masuk sampai pertandingan berakhir, tak ada satu pun dribel sukses yang dilakukan pemain Arsenal itu. Satu-satunya momen yang ia dapat datang di pengujung babak kedua. Namun, ia keburu dibanting Chiellini sebelum sempat melakukan dribel.

Southgate beruntung karena di pengujung babak kedua, Chiesa mengalami cedera dan harus ditarik keluar. Dimensi serangan Italia jadi tak berwarna lagi setelah pemain Juventus ini diganti. Namun, ia tak merespons situasi ini dengan cepat.

Jack Grealish, yang punya kapabilitas untuk main di ruang-ruang sempit, baru dimasukkan pada menit 99. Marcus Rashford dan Jadon Sancho, yang punya aksi individu untuk bisa membuat perbedaan, baru dimasukkan pada menit 120.

Jadilah di babak tambahan Inggris tak berbuat apa-apa. Sementara Italia memang sesekali coba menyerang dan mendapat peluang via Federico Bernardeschi. Namun, hilangnya Chiesa amat berpengaruh untuk serangan mereka. Fokus Mancini kemudian hanya tak lepas kontrol akan pertandingan.

Laga pun dilanjutkan ke babak adu penalti dan baru di sini Southgate melakukan keputusan berani. Ia menunjuk Rashford, Sancho, dan Saka (ketiganya pemain pengganti) sebagai algojo. Keputusan berani itu harus dibayar mahal karena ketiganya gagal menunaikan tugas dan jadi biang keladi kekalahan Inggris.

Southgate mungkin menyesal tidak mengambil keputusan berani lebih dini dan mengambil keputusan dengan hati-hati di babak penalti. Sebab, keputusan berani yang dilakukan sejak dinilah yang membuat Mancini, di sisi lain, menangis senang karena berhasil membawa Italia jadi kampiun Piala Eropa 2020.

Keputusan berani dan jitu Mancini itu tak hanya mengubah jalannya laga, tetapi juga berhasil membawa sepak bola terbang ke Roma.