Keras Hati Thomas Tuchel

Foto: Wikimedia Commons.

Karier kepelatihan Thomas Tuchel beranjak dari satu pertengkaran ke pertengkaran lain. Ia belajar banyak, tetapi juga meninggalkan jejak perselisihan yang tidak sedikit. Kini, ia berada di teritori yang juga sama berbahayanya: Chelsea.

April 2015, Uli Hesse menuliskan sebuah artikel yang isinya memperkenalkan seorang pelatih yang tengah naik daun.

Nama pelatih itu masih asing di telinga banyak orang. Namun, tidak bagi mereka yang betul-betul memerhatikan sepak bola Jerman. Ia disebut-sebut sebagai prototipe yang tidak jauh berbeda dengan Juergen Klopp.

“The Next Juergen Klopp? Thomas Tuchel is Football Hipsters’ Latest Hit”. Lewat tulisan itu, Hesse berhipotesis bahwa kalau Klopp saja sudah diagung-agungkan sebagai pelatih paling nge-hip, tunggu sampai orang-orang melihat Thomas Tuchel, si pelatih yang sedang naik daun itu.

Klopp memang punya karisma. Namun, bukan karisma seperti manajer parlente lengkap dengan setelan rapi dan sikap flamboyan. Ia lebih mirip pamanmu yang suka mentraktir bir atau memberimu sebatang rokok dengan syarat jangan bilang-bilang ibumu.

Pada satu momen, kamu bisa melihatnya berjoget-joget dengan diiringi lagu “Kloppo Du Popstar”. Pada momen lainnya, kamu bisa melihatnya kehilangan kacamata gara-gara terlalu heboh merayakan gol bersama pemain-pemainnya.

Klopp yang kita kenal adalah pria yang bisa menggertakkan gigi dan terlihat seolah-olah bisa menebas ofisial dengan satu pukulan, sementara di lain waktu ia bisa memeluk hangat pemain-pemainnya seperti anak sendiri. Lantas, apakah Tuchel adalah pria yang sama?

Ketika Hesse menulis artikel tersebut, Klopp baru saja memutuskan untuk mundur dari Borussia Dortmund setelah musim 2014/15 beres. Ia merasa sudah tidak bisa lagi membawa Dortmund pada level yang ia inginkan.

Gegenpressing Klopp, sebuah gaya yang membuat namanya (juga Dortmund) mencuat dan diperhitungkan di Eropa, runtuh musim itu. Padahal, gaya itu jugalah—seperti yang disiratkan dalam tajuk artikel Hesse—yang membuat Klopp jadi jagoan para “football hipster”.

Tak lama setelah Klopp mengumumkan bahwa dia bakal mundur, performa Dortmund membaik. Namun, kata-kata sudah kepalang diucap. Apa pun pencapaian Dortmund musim itu, Klopp tetap bakal pergi.

“Kalau tahu bakal seperti ini, lebih baik saya bilang pada awal musim saja sekalian,” kata Klopp dengan kelakar khasnya.

Tak ada trofi buat Dortmund pada ujung musim itu. Klopp hengkang setelah Dortmund kalah dari VfL Wolfsburg pada final DFB-Pokal 2015.

Tuchel, yang langsung ditunjuk petinggi Dortmund beberapa hari setelah Klopp mengumumkan bakal resign, baru saja menjalani masa sabbatical. Satu musim penuh ia beristirahat usai mengundurkan diri dari FSV Mainz 05, Mei 2014.

Sama seperti Klopp, Tuchel merasa bahwa ia tak lagi bisa membawa Mainz maju. Oleh karena itu, ia meminta dibebaskan dari kontraknya sekalipun masih terikat dengan kesebelasan asal Rheinland-Pfalz tersebut.

Tak butuh waktu lama bagi Tuchel untuk mendapatkan peminat. Schalke 04, RB Leipzig, dan VfB Stuttgart mengantre. Malah, sempat juga beredar kabar bahwa dia bakal menjadi penerus Joachim Loew di Timnas Jerman.

Segala ketertarikan tersebut menunjukkan bahwa Tuchel adalah pelatih yang menjanjikan meskipun karier kepelatihannya di level senior relatif belum terlalu panjang. Ketika selesai menukangi Mainz, dia baru tujuh tahun menapaki karier sebagai pelatih tim senior.

Tuchel baru berusia 41 tahun kala itu, trofi pun belum pernah ia menangi. Yang jadi modalnya adalah perkara karisma dan kesenangannya memainkan sepak bola ofensif nan energik. Menurut Hesse, itulah yang membuat Tuchel dan Mainz-nya menjadi terkenal.

Sementara, menurut Raphael Honigstein di The Athletic, yang membuat Tuchel mencuat adalah pola pikir yang mirip seorang ilmuwan. Di balik sosoknya yang tinggi-kurus, yang membuatnya lebih mirip profesor antropologi dan budaya ketimbang pelatih sepak bola, tertanam ide yang jelas.

Tuchel sudah memupuk ide permainan semenjak lama. Tahun 1998, ketika cedera lutut membuat kariernya sebagai pemain tamat lebih cepat, Tuchel mendapatkan uluran tangan dari Ralf Rangnick. Dari situlah jalannya menapaki karier kepelatihan bermula.

Rangnick adalah pelatih Tuchel di SVV Ulm, kesebelasan terakhir yang ia bela sebelum pensiun pada usia 25. Oleh Rangnick, Tuchel diberikan jalan untuk menangani tim junior VfB Stuttgart pada 2000. Di situ, Tuchel tak hanya berperan membawa Stuttgart menjuarai turnamen U-19, tetapi juga mengembangkan pemain-pemain seperti Mario Gomez dan Holger Badstuber.

Ketika masa pengabdiannya di Stuttgart tuntas pada 2005, ia pergi ke Augsburg untuk menjalani tugas yang sama: Menangani para pemain muda. Sedemikian impresifnya kinerja Tuchel hingga akhirnya Augsburg menawarinya posisi untuk menangani Augsburg II pada 2007.

Di tim itu, Tuchel bertemu dengan Julian Nagelsmann yang sekarang merupakan pelatih RB Leipzig. Sama seperti Tuchel, Nagelsmann harus pensiun dini akibat cedera. Akibatnya, Tuchel melakukan apa yang Rangnick dulu lakukan padanya, yakni meminta Nagelsmann fokus saja pada kepelatihan. Nagelsmann lantas bekerja pada Tuchel sebagai seorang scout.

Sekalipun berprestasi dan mampu membangun tim serta staf kepelatihan yang brilian, Tuchel bukan pria lemah lembut. Ini berkebalikan dengan sosoknya yang jangkung-kurus itu. Karena sifatnya yang keras itulah, manajemen Augsburg memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya.

Lantas, dimulailah perjalanan Tuchel bersama Mainz pada 2009. Barangkali kesamaan jalan karier ini yang juga membuat Tuchel dulu acap disanding-sandingkan dengan Klopp. Pada 2001, Klopp memulai karier kepelatihannya dengan menangani Mainz sebelum akhirnya pindah ke Dortmund pada 2008. Tuchel pun pada akhirnya juga sama. Kelak, ia bakal menukangi Dortmund.

Namun, dari cara melatih dan menerapkan gaya main, Tuchel dan Klopp adalah dua sosok yang bertolak belakang. Keduanya boleh jadi sama-sama pria yang keras dan acap meluapkan emosi sesuka hati, tetapi gaya Tuchel tidak sekaku Klopp.

Sementara Klopp dikenal sebagai pelatih yang kerap menerapkan gegenpressing dari waktu ke waktu—dan membuat para pendukung Mainz bersukacita karenanya—Tuchel lebih adaptif. Mainz-nya boleh saja memainkan sepak bola ofensif nan penuh energi, tetapi itu dilakukan tanpa melupakan cara menegasikan permainan lawan.

Inilah mengapa Tuchel tidak pernah dikenal sebagai pelatih yang saklek dengan satu formasi tertentu. Baginya, fleksibilitas—baik itu dalam hal taktik maupun formasi—adalah satu-satunya hal yang pasti. Tuchel adalah pelatih yang tidak alergi menyesuaikan taktik timnya dengan gaya main tim lawan.

Pada masa-masa awalnya di Dortmund, Tuchel diangap sukses melakukan tweak di sana-sini sehingga performa kesebelasan asal Ruhr tersebut. Sayang, tidak ada kejayaan buat Tuchel di Dortmund.

Ragam formasi yang pernah Tuchel terapkan di Dortmund. Foto: The Athletic.

Alih-alih berumur panjang seperti masa kepemimpinan Klopp di Dortmund, Tuchel hanya bertahan dua musim. Tidak ada trofi liga, yang ia persembahkan hanya gelar juara DFB-Pokal 2017. Sikap keras Tuchel pada akhirnya kembali menjegal kariernya.

Tuchel berulang kali menyatakan ketidaksukaan terhadap keputusan CEO Dortmund, Hans-Joachim Watzke, terutama setelah Watzke memutuskan untuk menjual sejumlah pemain penting, mulai dari Mats Hummels, Ilkay Guendogan, dan Henrikh Mkhitaryan.

Ia juga berselisih dengan kepala scout Dortmund, Sven Mislintat, ketika keinginannya mendatangkan Oemer Toprak pada 2016 diblok. Tuchel dan Mislintat terlibat cekcok. Akhirnya Tuchel malah mengusir Mislintat dari lapangan latihan klub.

Hubungannya dengan para pemain senior seperti Neven Subotic dan Roman Weidenfeller juga tidak akur. Tuchel dikabarkan berulang kali berusaha mendepak para pemain tersebut dan kali ini, gantian Watzke yang tidak suka.

Hubungan Tuchel dan Dortmund pun bubar pada 2017. Satu-satunya yang awet hanyalah reputasi Tuchel sebagai pria yang keras kepala dan susah diatur.

Salah seorang mantan pemain Tuchel, Heinz Muller, bersaksi untuk satu-satunya atribut yang acap bikin pusing pelatih dan petinggi klub itu. “Dia seorang diktator,” kata Muller.

***

Tuchel terinspirasi dari Pep Guardiola ketika memutuskan untuk beristirahat setahun dari dunia sepak bola, tak lama setelah meminta kontraknya dengan Mainz disudahi lebih cepat. Guardiola pernah melakukannya pada 2012 usai menukangi Barcelona. Ia beristirahat setahun di New York sebelum menukangi Bayern Muenchen pada 2013.

Bagi Tuchel, Guardiola bukan sekadar kolega sesama pelatih, tetapi juga orang yang ia idolai. Keduanya, kata Honigstein, sama-sama gila taktik. Saking gilanya, Tuchel pernah membuat Mainz bermain dengan enam formasi berbeda dalam satu pertandingan.

Jika Guardiola menepi ke New York dan menghabiskan waktu belajar bahasa Jerman, Tuchel memilih untuk belajar statistik kepada Matthew Benham. Benham merupakan pemilik Brentford, klub yang mendapatkan label “England’s Smartest Club” karena kebiasaan mereka menerapkan moneyball.

Pada lain kesempatan, ia belajar soal diet pemain dan merancang berbagai metode latihan supaya para pemainnya menjalani sesi latihan yang teramat sulit. Tidak jarang para pemainnya lelah dan stres bukan main menjalani sesi latihan tersebut.

Mungkin ini terdengar kurang ajar dan luar biasa zalim, tetapi Tuchel berpendapat bahwa sesi latihan yang begitu berat bisa membuat pertandingan jadi terasa lebih mudah.

Salah satu video yang beredar di media sosial belakangan ini memberi sedikit cuplikan mengenai sesi latihan Tuchel. Dalam video itu, Tuchel—dalam Bahasa Jerman—berteriak-teriak sembari menggunakan pronomina “du” yang artinya dia sedang menghardik satu orang pemain tanpa henti.

“Kamu datang ke sesi latihan dan cuma mau melakukan apa yang kamu mau! Kamu tidak peduli dengan gaya main kita semua. Pokoknya cuma cara mainmu sendiri. Kamu melakukan ini, melakukan itu, ke sana-ke sini, dan tidak jelas juntrungannya. Tidak ada satu pun cara mainmu yang beres!”

Sekarang, serentetan pengalaman, pertengkaran, dan pelajaran yang sudah Tuchel enyam membawanya ke teritori baru yang tidak kalah kejam, ke sebuah klub bernama Chelsea.